Selama ikut Sumi dan Waluyo berjualan, Ranti terlihat banyak diam. Ranti tak bisa berbuat apa-apa. Selain menurut pada permintaan Sumi.
Ranti merasa malu. Karena dari sekian banyak pengunjung warung bakso orang tuanya, rata-rata mereka pekerja kantoran. Dan yang lebih membuat Ranti malu, orang-orang yang menanyakan Ranti justru mereka laki-laki muda. Laki-laki pekerja kantoran yang selama ini menjadi incaran Ranti.
“Ibu ini gimana sih, masa kenalin anak gadisnya pakai acara suruh jualan! Aku kan malu Bu! Kalau gini, cowok kantoran mana ada yang mau dekati anak gadis yang kotor dan bau asap!” Ranti kesal dalam hati.
“Coba kalau aku teh seperti mereka? Bisa kerja di ruang ber-AC, tempatnya bersih, pegangnya juga laptop! Lha ini aku, pegangnya mangkuk sama gelas! Sudah gitu kerjanya di pinggiran jalan raya. Yang banyak debu serta bau asap!” Ranti merasa iri.
“Ranti!”
“Ranti!” Sumi kembali memanggil.
“Kamu melamun? Tolong Ibu antar bakso ke meja yang di ujung! Yang ada laki-laki duduk bertiga! Yang 1 tanpa urat buat laki-laki yang duduk sendiri! Yang 2, pakai urat buat laki-laki yang duduk bersebelahan! Jangan sampai keliru ya Nok!” Sumi berpesan.
“Tapi Bu, Ranti!” Ranti ingin beralasan.
“Sudah gak usah pakai tapi-tapian! Ibu masih melayani banyak pembeli! Bapak lagi buat minuman!” Sumi tegas.
“Duh, ini gimana? Mana cowok-cowok lagi!” Ranti mencoba merapikan kuncir kudanya agar tidak berantakan.
“Ya ampun Ranti, buruan!” Sumi kembali memerintah.
“I... iya Bu!” Ranti mengangkat nampan berisi 3 mangkok bakso ke meja yang ditunjuk ibunya tadi.
“Eh, ada karyawan baru! Mbak pasti putrinya bu Sumi sama pak Waluyo ya?” Tanya salah satu dari ketiga laki-laki.
“Iya Mas! Oh ya, ini buat Mas yang gak pakai urat! Yang 2 lagi buat Mas pakai urat!” Ranti meletakan bakso sesuai petunjuk Sumi tadi.
“Silakan Mas! Saya tak permisi dulu!” Ranti berpamitan.
“Eitz, tunggu Mbak kita belum kenalan! Kenalkan nama gua Anton, ini Dicky, dan ini yang paling pendiam namanya Angga!” Anton mengulurkan tangan kanannya pada Ranti.
“Ehm... Ranti!” Ranti menyambut uluran tangan kanan Anton sembari membalas senyum manis di kedua sudut bibirnya.
“Wah nama yang cantik, secantik orangnya!” Puji Anton pada Ranti.
“Hati-hati Mbak Ranti sama Anton! Nanti kejebak rayuan gombalnya!” Dicky menimpali.
“Apa sih lo! Jangan buka kartu kenapa?” Anton mendorong pelan lengan Dicky.
“Maaf Mbak Ranti, kita memang biasa bercanda!” Anton tidak enak dengan ucapan Dicky.
“Iya gak papa Mas! Kalau begitu saya permisi ke belakang dulu ya Mas, mari!” Ranti berpamitan.
“Iya Mbak Ranti cantik!” Jawab Anton sembari mengulas senyum.
Ranti ke belakang menaruh nampan di meja dekat gerobak bakso Sumi.
“Sudah Nok? Sekarang kamu antar lagi ke meja nomor 2 itu! Yang ada 4 perempuan!” Perintah Sumi lagi pada Ranti.
“Iya Bu! Kalau ini sama semua Bu?” Ranti sembari mengangkat nampannya lagi.
“Iya sama!” Sumi sembari menuang kuah bakso ke mangkok untuk pesanan pembeli lain.
Sama seperti di meja ujung tadi. Ranti memberikan mangkok bakso kepada pembeli dengan sopan. Meski masih malu, Ranti harus berusaha memberi pelayanan yang baik untuk pembeli. Ranti tak ingin mengecewakan Sumi dan Waluyo yang selama ini sudah banting tulang untuk membesarkan Ranti. Membiayai semua kebutuhan Ranti dari kecil.
Sekarang Ranti bisa merasakan betapa susahnya orang tua mencari rezeki. Sudah panas, kotor, berkeringat pula. Selama ini yang Rantai tahu semua permintaannya harus segera dipenuhi.
***
Ranti masih sibuk melayani beberapa pembeli lain. Saat jam istirahat warung bakso Solo Sumi dan Waluyo memang selalu ramai dikunjungi pembeli. Sumi dan Waluyo terkadang sampai kewalahan melayani.
Tapi hari ini, Sumi merasa terbantu dengan kehadiran Ranti. Ranti cukup membantu pekerjaan Sumi dan Waluyo saat jam istirahat tiba.
Angga, Anton, dan Dicky masih setia di meja pojok warung bakso bu Sumi. Mereka bertiga memang senang menghabiskan istirahat mereka di warung ini. Selain untuk menikmati bakso, ketiganya bisa ngobrol sama bu Sumi yang terkenal ramah dan suka bercerita. Hampir setiap hari, ketiganya datang ke warung bakso bu Sumi.
“Eh, lihat tu! Ranti cantik ya? Gua mau jadi cowoknya, kira-kira dia sudah punya cowok belum ya?” Ucap Anton yang tak berhenti memandang Ranti saat melayani pembeli.
“Lo Ton kalau lihat cewek bening dikit langsung matanya jelalatan! Ingat si Chika mau ditaruh mana?” Dicky menasihati.
“Iya lo Ton, ingat Chika!” Angga menimpali.
“Chika gampang, dia kan gak tahu!” Anton terus memandang Ranti.
Angga, Dicky, dan Anton memang sudah bersahabat dari lama. Sejak mereka satu kantor, ketiganya sering makan dan jalan bertiga. Namun, dari ketiganya baru Anton yang sudah memiliki kekasih. Anton tipe laki-laki yang suka menggombal perempuan. Makanya bagi perempuan yang mudah digombal akan jatuh hati pada Anton.
Sementara Dicky, baru saja putus dari kekasihnya. Dan sampai saat ini Dicky belum memiliki tambatan hati lagi.
Yang terakhir Angga. Laki-laki yang sukses dalam karier di antara 2 sahabatnya. Namun, meski sukses dalam karier, urusan asmara Angga tak sesukses kariernya. Sampai sekarang Angga masih betah menjomblo. Sikapnya yang diam serta dingin pada perempuan membuat Angga susah dekat dengan perempuan.
Padahal dari segi penampilan serta karier yang mapan sudah banyak perempuan yang jatuh hati pada Angga. Namun, sampai sekarang Angga belum juga menetapkan pilihan. Belum ada perempuan yang mampu meluluhkan hati Angga.
“Lagian kalau Ranti beneran mau sama gua, gua mending pilih Ranti! Secara dia lebih cantik dan bodinya juga aduhai.” Anton membayangkan.
“Lo Ton sadar!” Dicky menasihati.
“Yang bilang gua gak sadar siapa? Gua sadar 100 persen! Gua masih bisa bedakan ini sahabat gua, Dicky! Sahabat gua, Angga! Dan itu Ranti, cewek cantik pujaan gua!” Anton tertawa riang.
“Saraf lo Ton!” Dicky mengangkat tangan kanan kalu memiringkan jari telunjuknya di depan dahi.
“Lo juga udah tahu gua saraf, masih aja dekat-dekat gua! Berarti lo-lo sama aja saraf dong kaya gua!” Anton membalikkan pada Dicky.
“Sialann lo!” Dicky tak terima.
“Lagian lo mulai duluan!” Anton kembali menimpali.
Ketiganya pun tertawa bersama. Hingga tak sadar kalau tawa mereka memenuhi warung bakso Solo milik Sumi.
Hampir semua pengunjung mengarahkan pandangan pada ketiganya. Termasuk Ranti, Sumi, dan Waluyo.
Sumi yang melihat hanya bisa tersenyum. Ketiganya memang sering tertawa tidak sadar seperti itu di warung bakso Sumi. Sumi pun sudah tak heran lagi. Sumi justru senang berarti pelanggannya puas terhadap rasa dan juga pelayanan dari warung bakso nya.
***
Satu per satu pembeli mulai berkurang. Warung bakso Sumi mulai terlihat sepi. Karena jam istirahat memang sudah hampir habis. Namun, ketiga pembeli Sumi masih setia duduk di bangku pojok warung bakso milik Sumi.
Sumi yang sudah tidak sibuk lagi melayani pembeli, menghampiri pembeli setia bakso Solo Sumi.
“Duh, tertawanya kencang banget! Kayaknya kalian lagi senang ya, bagi-bagi dong sama ibu!” Sumi meledek.
“Eh Ibu Sumi! Biasa Bu, ini si Anton suka bikin iseng aja!” Dicky menimpali.
“Ibu senang melihat persahabatan kalian yang selalu akur! Bisa saling melengkapi satu sama lain! Oh ya, kalian sudah kenal sama anak Ibu belum? Yang kemarin Ibu ceritakan pada kalian!” Sumi duduk di bangku kosong dekat bangku ketiganya.
“Sud..!” Dicky dan Angga mau menjawab namun diserobot Anton.
“Belum Bu!” Celetuk Anton mendahului.
Sumi kembali tersenyum melihat tingkah 3 sahabat ini. Selalu ada saja tingkah ketiganya yang bisa membuat Sumi tersenyum.
“Yang benar, kalian sudah kenalan belum?” Sumi kembali bertanya.
“Belum Bu!” Anton kembali menjawab cepat.
“Belum kan?” Anton mengedipkan mata sebelah pada Dicky dan Angga.
Angga dan Dicky pun menutup mulut. Keduanya tak menjawab belum ataupun sudah pertanyaan Sumi.
“Itu kan belum! Buktinya Angga sama Dicky diam saja!” Anton menegaskan.
Sumi kembali tersenyum. Lalu memanggil Ranti yang berada di belakang bersama Waluyo.
“Ranti, sini sebentar!” Panggil Sumi lembut.
“Kamu kenalkan, mereka ini pembeli setia Ibu! Ini Mas Anton, Mas Dicky, dan itu Mas Angga!” Sumi mengenalkan satu-satu pada Ranti.
“Tadi...!” Ranti ingin berucap.
“Tadi Ranti sudah ke meja ini! Maksudnya Bu!” Kini Anton menyerobot ucapan Ranti.
Ranti tidak jadi berucap kalau sebenarnya mereka sudah berkenalan sebelumnya.
“Iya, ini Ranti yang Ibu ceritakan kemarin sama kalian! Ranti ini anak Ibu satu-satunya! Dia ingin jadi sekretaris kira-kira ada lowongan gak ya di kantor kalian?” Sumi bertanya pada ketiga langganannya.
“Kalau saat ini lowongan sekretaris belum ada! Maaf ya Ibu, Ranti? Masih menunggu! Tapi nanti kalau ada, pasti saya akan segera kabari Ibu sama Mbak Ranti!” Angga menjawab sopan.
“Iya gak papa Mas Angga, yang penting saya sudah bicara sama Mas Rangga. Jadi, nanti kalau pas ada lowongan tinggal dikabari! Untuk sementara Ranti bisa bantu-bantu Ibu dulu!” Sumi tak masalah.
“Mas Anton sama Mas Dicky, kalau ada informasi lowongan di mana nanti beritahu Ibu ya?” Sumi berpesan pada Anton dan Dicky.
“Ada kok Bu lowongan!” Celetuk Anton cepat.
“Di mana Mas?” Sumi ingin tahu.
“Di hatiku!” Anton percaya diri.
Semua pun tertawa mendengar bercandaan Anton. Anton yang selalu bisa menghibur saat suasana sedang tegang ataupun serius seperti tadi.
“Kamu itu Mas, bisa saja buat Ibu tertawa!” Sumi masih menahan tawa.
“Santai Bu, Mbak Ranti biar gak tegang!” Anton menenangkan.
“Memangnya kalau selain jadi sekretaris, Mbak Ranti ini gak berminat?,” Tanya Angga menawarkan.
“Yang lain seperti apa Mas Angga?” Tanya Sumi lagi.
“Misalnya Office Girl! Untuk sementara saja sih, sembari menunggu! Kalau lowongan itu ada!” Angga kembali menawarkan.
“Kamu mau gak Ran?” Tanya Sumi pada Ranti.
“Gak Bu! Ranti gak mau!” Ranti menolak.
Membayangkan saja Ranti tidak mau. Apalagi kalau sampai beneran terjadi. Ranti harus bersih-bersih kantor setiap hari. Belum nanti pegawai-pegawai muda pada memperhatikan Ranti. Ranti gak mau, malu.
“Lagian lo gimana sih Ngga, masa cewek secantik Ranti lo tawari jadi Office Girl! Gak pantas tahu, sesuai sama keinginannya jadi sekretaris baru pas itu! Jadi bos pun Mbak Ranti pantas!” Anton memuji.
“Gua kan hanya menawarkan Ton! Sapa tahu Mbak Ranti mau, kalau gak mau gak papa!” Angga menjelaskan.
“Iya benar kata Mas Angga! Dia kan hanya menawarkan, sapa tahu anak saya mau. Makasih ya Mas Angga, tapi maaf anak Ibu belum mau?” Sumi membenarkan sekaligus meminta maaf.
“Gak papa Bu!” Angga sedikit tersenyum.
“Mas Angga ini gak ngerti banget sih! Masa iya aku minta sekretaris dikasihnya OG! Kayak Mas Anton tu, pengertian!” Ranti kesal dalam hati.
“Jadi cowok itu harus pintar membesarkan hati cewek! Ini malah seolah merendahkan!” Ranti masih kesal dengan tawaran Angga.
Jam masuk kantor tinggal menunggu hitungan menit. Angga, Dicky, dan Anton berpamitan pada Sumi dan Ranti. Mereka harus segera kembali ke kantor. Melanjutkan pekerjaan mereka hari ini.