[Author Pov]
Cuaca cukup terik sore ini. Meski jam sudah menunjuk di angka 4, tapi panas masih menyengat. Cuaca panas di luar gedung tidak jauh berbeda dengan suana di aula FTSL. Suasana sedang tidak bersahabat di sana. Hari ini adalah jadwal MOSIMA Fakultas. Seluruh maba Fakultas sedang ada di sana. Sudah hampir satu bulan berlalu sejak hari pertama MOSIMA dimulai. Maba juga sudah mulai terbiasa dengan teriakan dan hukuman dari para panitia. Tapi berbeda dengan hari ini.
Satu jam lalu para senior angkatan 15 dan 14 datang ke aula. Mereka mengambil alih seluruh acara. Acara yang sudah disusun sejak awal hancur berantakan. Hanya 1 kegiatan pertama yang dapat terlaksana. Pada menit ke 20 para senior datang dan panitia MOSIMA mau tidak mau harus mundur.
Sebenarnya bukan lagi rahasia, seluruh panitia tau kalau para senior akan datang. Itu sudah menjadi bagian dari kegiatan. Hanya saja kadang para senior itu kejam tanpa bisa dicegah. Sialnya, hari ini kondisi para maba sangat tidak menguntungkan. Pertama, ternyata ada rumor yang menyebutkan bahwa ada maba yang membawa alkohol ke kampus.
Kedua, satu kelas dari jurusan Teknik Sipil tidak menghadiri kelas. Sebenarnya bukan tidak menghadiri kelas, tapi mereka datang terlambat. Hal itu menyebabkan dosen yang mengajar hari itu marah dan menghukum para mahasiswa dengan tidak melangsungkan PBM hari itu.
Ketiga, seorang maba perempuan ditemukan membawa rokok di dalam tasnya. Sebenarnya tidak ada larangan membawa rokok bagi perempuan. Tapi ada perselisihan yang terjadi karena hal itu. Seorang maba perempuan mendebat senior karena rokok tersebut. Maba itu mengatakan bahwa senior tidak ada hak dalam melarang siapapun melakukan apapun. Bahkan jika memang terbukti ada maba yang membawa alkohol ke kampus, itu bukan urusan para senior. Itu hak mereka.
"Tahan, Har.." Kayhan menahan lengan sahabatnya itu. Seluruh panitia inti berdiri di pinggir dengan senior berdiri di hadapan para maba. Terdengar tawa menggelegar di aula.
"Kesetaraan hak dan gender?" senior dengan rambut panjang sebahu itu tertawa. Dengan tangan berlipat di d**a dan senyuman di wajahnya ia justru terlihat semakin menakutkan. Mungkin para maba tidak ada yang mengenal siapa dia. Tapi seluruh mahasiswa lama FTSL sangat mengenal laki-laki berkulit putih pucat seperti vampire itu. Jika dilihat sekilas siapapun bisa jatuh cinta padanya. Dia terlihat lembut dan ramah. Tapi tidak akan ada yang menyangka jika ia masuk dalam daftar senior kejam dan orang yang harus dihindari untuk terlibat masalah.
"Kesetaraan ya?" ia menunduk sedikit, membaca nama yang tertera pada id card itu. "Pelangi.." ia manggut-manggut. "Kamu, berdiri.."
Anak laki-laki berbadan cukup besar itu segera berdiri, meski takut.
"Berapa kali kamu kuat lari keliling lapangan?"
"Du-Dua puluh kali, Kak.."
"Dua puluh? Dikit banget.." cibirnya. "Tiga puluh bisa kan?"
Anak laki-laki itu terlihat terkejut tapi kemudian ia mengangguk dengan sedikit terpaksa.
"Kamu lari 30 kali keliling lapangan," perintahnya.
"Sa-saya Kak?" tak hanya anak laki-laki itu, bahkan para maba lain dan Pelangi juga terkejut.
"Iya. Kenapa? Ada masalah?"
"Tapi—"
"Tapi apa? Tapi kenapa kamu yang disuruh lari?"
Anak laki-laki itu mengangguk dengan cepat. Ia sama sekali tidak merasa sudah melakukan kesalahan. Ia bahkan selalu datang tepat waktu dan tidak melewatkan satu kalipun pertemuan. Jika harus mengisi absen kehadiran, mungkin dialah yang paling rajin. Anak laki-laki itu melirik Pelangi.
"Masa cewek disuruh lari, kamu nggak kasihan?"
Kali ini Pelangi yang tersinggung.
"Saya yang harusnya kakak hukum kalau kakak mau menghukum, kenapa jadi melimpahkan kesalahan ke dia hanya karena saya cewek?" tuntut Pelangi langsung.
"Anjir!" Faro memaki. "Nih anak nggak tau apa lagi ngomong sama siapa?"
Kayhan menepuk pundak Faro.
"Junior lo yang satu itu udah gila kali ya?" Faro terlihat benar-benar kesal.
"Duh, Bang Ron kayaknya terprovokasi Pelangi nih? Gimana?" tanya Ogi. Haras masih diam. Namun matanya tertuju lurus pada tiga orang yang berdiri di depan itu.
"Sekarang kita nggak bisa ngapa-ngapain. Liat tuh barisan 14 sama 15 di depan," kata Kayhan. Dia benar. Saat ini tidak ada yang bisa menghentikan laki-laki bernama Ron itu.
"Nih si Pelangi nggak ada bosan-bosannya cari masalah.." panitia dari jurusan lain berkomentar.
"Mana Bang Ron baru balik dari Lombok. Gue denger dia sengaja balik cepet buat hari ini. Pas banget dah nih disuguhin yang beginian.."
Kayhan menoleh ke sumber suara sekilas.
"30 bisa mati si Pelangi.."
Haras masih diam meski ia tau dengan jelas apa yang akan segera terjadi. Dan benar, Ron menyuruh Pelangi lari sebanyak 30 kali. Tapi bukan keliling lapangan, hanya keliling aula saja. Tapi tetap saja, 30 kali keliling aula yang cukup besar itu bukan hal yang mudah.
Pelangi sudah mulai berlari. Dan begitu Pelangi mulai, Ron justru mengamuk habis-habisan. Seluruh maba terkena imbasnya. Tidak hanya satu, tapi seluruhnya. Jika saja maba itu dihukum secara serempak maka tidak akan masalah. Tapi mereka dihukum satu-satu dan perorangan. Ada sekitar 10 maba disuruh push-up yang ia pilih secara acak tanpa tau apa kesalahannya. Tiga orang maba disuruh menyanyikan yel-yel dan dibentak habis-habisan hanya karena suara mereka tidak cukup keras.
"Har, njir, mau ngapain woy?" Ogi berusaha menahan Haras tapi terlambat. Haras sudah melangkah lebih dulu menghampiri Ron.
Dan perang dimulai..
"Mau ngapain lo?" tanya Ron dengan tampang songong yang sangat menyebalkan.
"Saya mengajukan diri untuk menggantikan junior yang dihukum," ucap Haras.
Ron menyeringai. "Kenapa lo yang gantiin?"
"Saya KP MOSIMA, jadi saya yang akan menggantikan adik-adik melaksanakan hukuman.."
"Kalau gue nggak ngizinin gimana?" Ron menantang Haras.
Senyap. Tak hanya maba, bahkan panitia ikut menahan napas mereka.
"Saya tetap akan menggantikan adik-adik melakukan hukuman mereka."
Ren menghela napas. "Ok kalau lo maksa." Kemudian Ron menyuruh seluruh maba yang sedang terkena hukuman untuk berhenti dan kembali ke tempat duduk mereka. Pelangi yang bingung pun terpaksa kembali duduk dengan napas yang sudah ngos-ngosan.
"Karena senior kalian yang ganteng ini mau berbaik hati gantiin kalian, jadi kita akan biarkan dia melakukannya." Suara Ron menggema di dalam aula. "Karena lo yang mengajukan diri, berarti lo sanggup dong ngelakuin apapun yang gue suruh. Lo pasti kuat kan?"
Haras mengangguk.
"Sekarang lo lari sebanyak 30 kali, tapi bukan di sini, di lapangan."
Panitia melotot mendengarnya. Di luar sangat panas. Haras bisa benar-benar tewas jika lari keliling lapangan di cuaca seperti ini.
Panitia sepertinya tidak setuju dengan ide itu. Tapi mereka tidak bisa mencegah Haras karena anak laki-laki itu sudah meninggalkan aula.
...
[Cindy Pov]
"Ke mana?"
"FTSL.."
"Ngapain?"
"Katanya ada yang pingsan, mereka butuh dokter.."
"Kan aku belum dokter. Kakak aja yang ke sana.."
"Kamu aja. Ya kan kamu calon dokter.."
"Ih.." Kak Ria memaksaku meninggalkan UKS. jika saja tidak ingat dia lebih tua sudah aku hajar dia. Ini jam pulang, tapi dia malah memberi tugas. Padahal sejak tadi aku belum istirahat sama sekali. Mata kuliah penuh sejak pagi sampai aku terpaksa melewatkan makan siang dan hanya makan sepotong roti dan segelas teh hangat. Lama-lama aku tidak merasa seperti seorang mahasiswa lagi, tapi seperti seorang sukarelawan di tempat bencana. Astaga.
Anak-anak FTSL itu kenapa sebenarnya?
Aku semakin mendekati area FTSL. Memasuki lingkungan mereka, samar-samar aku mendengar suara teriakan yang tidak jelas entah apa. Kemudian akhirnya aku bisa melihat dengan jelas barisan berseragam itu di lapangan. Ada ratusan dari mereka. Mungkin itu semua maba FTSL tahun ini.
Apa yang mereka lakukan di sini pada jam segini? Bukankah harusnya mereka sudah pulang?
"SIAPA YANG SURUH KALIAN TERIAK HAH?"
"SIAPA YANG SURUH BUBAR BARISAN?!"
Siapa yang berteriak sekencang itu? Dari jarak sejauh ini saja terdengar sangat menyakitkan telinga. Jarak mereka sangat dekat kenapa mereka harus berteriak begitu keras? Dasar anak teknik kurang kerjaan.
"Itu dokter udah datang.." mereka langsung rusuh begitu melihatku. Aku mendekat. Dan aku tidak bisa sembunyikan keterkejutan melihat siapa yang tengah terbaring tak sadarkan diri di rumput.
"Haras kenapa?"
Kayhan yang sedang memangku Haras tidak menjawab. Ia terlihat khawatir. Mungkin karena itulah ia tak bisa menjawab pertanyaanku.
"Minggir, kasih ruang.." perintahku. Seluruh mahasiswa di sekitar kami langsung memberi cukup ruang. Astaga. Haras benar-benar pingsan.
Aku memeriksanya. Wajahnya pucat dengan keringat disekujur tubuh dan wajahnya. Apa yang terjadi sebenarnya?
"Bawa ke klinik.."
...
Sial.
Dari semua orang, kenapa harus Haras?
"Lo udah hubungin orang tua Haras?" suara Kayhan menarikku dari lamunan. Aku menoleh pada Kayhan yang baru saja kembali dari menyelesaikan administrasi. Kami sedang di rumah sakit saat ini.
"Belum."
Aku belum memberi tahu Papi ataupun Tante Ayura. Aku tidak ingin mereka khawatir. Toh ini bukan masalah besar. Haras juga tidak parah.
"Hngg..." perhatian kami langsung tertuju pada sumber suara. Haras membuka matanya dengan perlahan. Butuh beberapa detik untuknya menyesuaikan dengan cahaya.
"Masih hidup lo?"
Aku hanya memperhatikan tanpa bicara. Menyaksikan interaksi Kayhan dan Haras. Sepertinya mereka cukup akrab. Aku tidak menyangka Haras akan dekat dengan anak Om Javier ini. Aku kenal Kayhan. Dulu aku cukup sering bertemu dengannya waktu kecil. Ada beberapa memori yang masih aku ingat. Orang tuanya sangat baik padaku. Tapi aku tidak tau kenapa dia seperti tidak menyukaiku. Aku merasa tidak punya salah padanya. Ya, kecuali kejadian tabrakan itu.
"Gimana anak-anak?"
"Masih aja lo nanya orang lain. Lo yang hampir tewas tau nggak.." Kayhan mengomel. Haras hanya tersenyum tipis.
"Faro nelpon barusan, katanya mereka udah dibubarin.."
Haras mengangguk, terlihat lega.
"Mana yang tadi jadi pahlawan?" tiba-tiba seseorang yang tidak aku kenal muncul. Dia tersenyum dengan santai. "Masih hidup?"
Haras menggeleng sambil tertawa.
"Gimana nih? Cuma 30 masa udah tewas aja. Dulu 50 biasa aja.."
Aku tidak mengerti mereka sedang membahas apa, jadi aku hanya mendengarkan.
"Belum makan gue Bang.."
"Sejak kapan lo jadi b**o gini?"
"Anggap aja kenang-kenangan sebelum Abang lulus.." lalu mereka tertawa, pun Kayhan.
"Masih bisa jalan lo?"
Haras mengangguk. Dasar sok tau. Dia saja baru bangun, bagaimana dia tau kalau dia bisa jalan? Kakinya saja bengkak. Dasar bodoh.
"Lain kali liat sikon. Gue nggak mau kalian celaka. Kejadian kayak gini jangan sampai terulang lagi."
"Iya, Bang.."
"Bakal habis lo dihujat sama maba, Bang.." Kayhan menimpali.
"Udah biasa gue dihujat dari semester 5. Panitia aja sampai kayak mau ngehajar gue tadi..." laki-laki itu tersenyum sembari menggeleng kepalanya.
"Nggak lah, Bang. Cuman kaget aja mereka.."
"Hmm. Lo mau gue antar pulang?"
"Nggak usah lah. Gue sama Kayhan, aman. Makasih ya Bang.."
"Hm. Ini terakhir kali, Ok. Gue nggak mau ada kejadian kayak gini lagi. Nggak hanya bahaya buat lo, tapi juga buat fakultas kita."
"Iya, Bang.."
Kemudian laki-laki itu meninggalkan UGD.
"Kenapa sih lo pake maju segala? Kan nggak ada dalam rencana.."
Haras merubah posisinya menjadi duduk.
"Kalau gue nggak maju, masalahnya bisa lebih parah dari ini. Bisa kena ke Dekan beneran.."
"Kenapa gitu?"
"Lo tau sendiri Pelangi itu gimana. Dia nggak akan mau ngalah. Pasti dia bakal maksain dirinya. Dia nggak akan ngalah sama Bang Ron. Kalau bukan gue, pasti dia yang tewas.."
"Jadi ini semua karena si Pelangi?"
"Bukan, b**o. Ini demi fakultas kita."
Hening..
"Kamu kenapa bisa sampai sini?" pertanyaan itu keluar dari mulut Haras dan ditujukan padaku. Sepertinya dia baru sadar kalau di sini tidak hanya ada mereka berdua. Tatapannya tertuju lurus padaku. Aku menelan ludah, membasahi kerongkongan yang terasa sangat kering.
"Dia yang bantuin di kampus tadi, waktu lo pingsan.." Kayhan menjawab.
"Kenapa dia? Emang nggak ada dokter beneran?"
Tanganku mengepal dan aku benar-benar kesal mendengar kata-kata Haras. Aku tau kalau kami sama-sama saling benci. Tapi apa harus dia bicara seketus itu?
"Lo kira gue dokter gadungan?"
"Kamu belum jadi dokter," jawabnya dengan ekspresi yang sangat menyebalkan. Rasanya ingin aku colok matanya.
"Ini rumah sakit, jangan bertengkar please. Kalau mau ribut ntar aja, di luar atau pas udah sampai asrama, ok!" Kayhan menengahi.
"Kapan gue bisa balik?"
"Lo mau langsung balik?"
"Hm.."
"Gue tanya dokter dulu, bentar..."
Kayhan pergi meninggalkan kami berdua. Aku memilih memainkan ponsel daripada harus melihat wajah Haras. Wajahnya benar-benar membuat mood ku rusak.
"Kamu sama siapa ke sini tadi?"
"Sama kalian lah, sama siapa lagi.." aku menjawab tanpa melihat Haras. "Gue juga perginya terpaksa ya. Gue juga nggak mau sebenarnya, nggak usah ge-er.."
"Hm.." jawab Haras terdengar berbeda. Tidak ada nada ketus. Aku refleks menoleh ke arahnya. Pandangan kami bertemu selama beberapa detik.
Shit!
"Lo bisa jalan, Har? Yakin udah kuat?" Kayhan tiba-tiba muncul membuat aku tersentak kaget. Aku benar-benar terkejut.
"Gue bisa kok.." jawab Haras. Aku segera berdiri. Kenapa jantungku berdebat sekencang ini? Astaga.
"Lo yakin?"
"Hm.."
"Sini gue bantu..."
...
Kami sampai di parkiran asrama. Kayhan turun lebih dulu. Ia kemudian membantu Haras. Aku tidak tau apa Haras memang baik-baik saja atau dia memaksa terlihat baik-baik saja. Seingatku tadi kakinya bengkak. Tapi sekarang dia memaksa jalan kaki dan tidak mau memakai kursi roda. Lalu kenapa aku harus khawatir?
"Kak.." dua orang anak perempuan langsung menghampiri kami. salah satunya terlihat memasang ekspresi merasa bersalah. Aku tidak tau dia siapa dan kenapa dia tampak menyesal seperti itu pada Haras.
"Kenapa kalian di sini? Kenapa nggak pulang?" tanya Haras.
"Kak, maafin saya, ya.."
"Ngapain minta maaf?"
"Ini salah saya. Kalau bukan karena saya, kakak nggak akan kena kayak gini.."
Haras yang dibopong Kayhan menghela napas, kemudian menatap anak perempuan itu teduh seperti seorang kakak menatap adik mereka. Aku melihat cara Haras menatap anak perempuan itu sama seperti cara ia menatap adik-adiknya di rumah.
"Bukan karena kamu, ralat. Ini demi fakultas kita. Jadi nggak usah merasa ini salah kamu.."
"Tapi, Kak..."
"Kalau kamu emang merasa bersalah, kamu harus janji nggak akan membantah kata-kata senior lagi. Kakak tau kamu membela diri, tapi nggak semua pendapat kamu itu benar."
Anak perempuan itu diam.
"Udah, kalian balik. Istirahat. Besok kuliah, kan?"
Sepertinya masih ada yang mengganggu pikiran anak perempuan itu karena ia terlihat belum puas. Tapi akhirnya ia dan temannya itu pun pamit kemudian pergi.
Kayhan kembali membantu Haras berjalan. Aku hanya mengikuti di belakang.
"Har.."
"Hm.."
"Sorry ya, gue ngabarin Baby tadi. Takutnya dia khawatir atau denger dari orang lain.."
Deg...
"Iya nggak apa-apa. Thanks ya.."
"Hmm..."
Shit!
...
[Author Pov]
Haras naik ke tempat tidur. Ia sempat meringis karena sebenarnya kakinya memang sangat sakit. Kayhan memastikan kalau semua keperluan sahabatnya itu ada. Awalnya Kayhan ingin tinggal untuk menemani. Tapi ia mendapat telpon kalau salah adiknya sedang ada di asramanya. Jadi Kayhan harus segera kembali ke asrama.
"Nih, makan dulu. Cuma ada itu di kulkas lo.." Cindy menyerahkan semangkuk bubur siap saji. Haras memang tidak sendirian. Cindy masih di kamarnya. Anak perempuan itu memperhatikan seluruh kamar Haras.
"Aku nggak apa-apa. Kamu balik aja.."
Cindy tak menjawab. Ia hendak bangkit saat ponselnya berbunyi. Baby melihat layar, kemudian raut wajahnya berubah. Ia menekan tombol power lalu menyimpan kembali ponselnya. Haras memperhatikan hal itu. Beberapa detik kemudian ponsel Cindy kembali berbunyi.
"Kenapa nggak diangkat? Mana tau penting," kata Haras mengingatkan. Ia sudah tidak tertarik pada buburnya. Dering ponsel Cindy terlalu mengganggu.
"Bukan urusan lo!"
Tapi dering ponsel itu tidak berhenti berbunyi. Cindy memaki, kemudian dengan kesal dijawabnya panggilan itu.
"Mi, aku—" kalimat Cindy terputus dan ia terdiam seketika.
Haras memperhatikan dengan kening mengerut. Cindy tampak mematung.
"Cindy, kenapa?" Haras meletakkan mangkuknya di atas meja nakas. Tak ada jawaban dari Cindy.
"Cindy.."
Cindy terisak disertai dengan bulir bening mengalir dari pelupuk matanya. Haras langsung turun dari kasur, menghampiri Cindy.
"Ada apa?"
Cindy menatap Haras dengan mata yang sudah basah.
"Papa.." Cindy terisak. "Pap-pa..." tangisnya pecah. Haras termagu, kemudian direngkuhnya Cindy ke dalam pelukan.
"Papa Har... Papa udah pergi..."
Di depan pintu yang sedikit terbuka, ada Baby yang termagu di tempatnya. Melihat Haras tengah memeluk Cindy.
***