L 10. Dilema

2509 Words
[Haras Pov] "Lo kenapa?" Kayhan menepuk bahuku. Aku memandangnya. Ia terlihat serius. Aku menghela napas. "Kurang tidur aja. Kecapek'an kayaknya gara-gara kita main di pasar malam.." Kayhan belum mengalihkan pandangannya dariku. Aku tersenyum. "Gue beneran gapapa elah. Udah yuk." Aku menariknya untuk segera melanjutkan kegiatan. Masih banyak yang harus dilakukan. "Ayo semuanya berdiri!!" ... Aula sudah kosong karena seluruh panitia sudah pergi. Ponselku berbunyi. Aku terpaksa meninggalkan buku agenda untuk menjawab panggilan dari Mami. "Hallo, Mam.." aku menjawab pertanyaan Mami seadanya. Seperti biasa, Mami tak pernah lupa menanyakan apa aku sudah makan atau belum. Itu semacam pertanyaan wajib ketika ia menelfon. "Har.." "Hmm.." "Soal yang dibilang Papi tadi malam.." Mami memulai kalimat pembuka dari tujuan ia sebenarnya menelfon. Entah kenapa aku sudah punya firasat untuk hal ini. "Har bisa kan?" Aku membuang napas pelan. "Bisa dalam kategori apa, Mam?" Mami ikut menghela napasnya. "Har..." suara Mami melunak. "Mami nggak pernah maksa Har untuk melakukan sesuatu yang Har nggak suka atau yang Har nggak inginkan. Mami tau Har mungkin nggak akan mau melakukan ini.." "Itu Mami udah tau.." aku tak tahan menyela. Lagi-lagi perempuan kesayanganku itu menghela napasnya. Terdengar sangat berat sekali. "Har.. bagi Mami, Har adalah jagoan kesayangan Mami. Har adalah kakak terbaik dari anak-anak Mami. Tapi... keluarga Har nggak cuma Sena, Sagara, Noel sama Eira aja. Cindy juga keluarga, Har. Cindy juga saudara Har. Mami tau kalian itu berbeda dalam banyak hal. Tapi bukan berarti kalian nggak bisa jadi saudara yang baik untuk satu sama lain." Ya Tuhan.. "Mam.." "Please dengerin Mami dulu.." Aghhh.. "Papi itu sayang sama Har. Har pasti tau itu kan? Papi minta Har melakukan sesuatu yang Har nggak suka bukan berarti karena Papi nggak sayang sama Har. Har udah gede. Har pasti tau. Dan Papi minta Har melakukan itu bukan tanpa alasan. Selain karena Papi mau anak-anaknya akur, tapi juga karena Papi percaya sama Har." "Tapi Har nggak mau, Mam. Har nggak mau jagain Cindy. Dia udah besar. Dia bisa jaga dirinya sendiri. Dia udah kayak gitu dari dulu. Mami kayak nggak tau dia gimana. Har nggak perlu jagain dia. Yang ada Har yang harus jaga diri Har dari dia." "Haras!" Mami meninggikan suaranya membuat aku terdiam seketika. Mami hampir tidak pernah meninggikan suaranya padaku. Meski aku sudah sebesar ini, aku adalah anak yang penurut. Tapi jujur saja, untuk hal satu ini, 99% hati dan pikiranku menolak melakukannya. "Apa Papi menekan Mami?" kalimatku terdengar sarkastis. Aku jadi merasa bersalah sudah begitu. Mam, i'm sorry. "Nggak ada yang menekan Mami." Lalu kami sama-sama terdiam. "Cindy nggak sekuat seperti yang kamu lihat, Har. Kuat itu cuma casing aja. Mami bukan sok tau. Tapi Mami mengerti apa yang sudah dia lewati. Har punya luka yang sama kayak dia. Kenapa Har jadi batu gini? Kenapa jadi menutup mata? Har nggak kayak yang Mami kenal. Apa ada sesuatu antara Har dan Cindy yang nggak Mami tau?" "Nggak ada." Ada.. "Apa alasan dari penolakan Har memang hanya karena permusuhan kalian di masa lalu? Beneran cuma itu aja?" "Iya.." Bukan.. Mami menarik napas. "Kalau memang hanya itu, Har nggak punya pilihan lain." "Maksud Mami?" "Har harus jagain Cindy. Har nggak boleh nolak karena ini perintah langsung dari Mami. Kalau Har nggak mau, berarti Har udah nolak satu permintaan Mami.." "Mam, you can't do that.." Mami tau cara mengalahkanku. "Har, Cindy benar-benar butuh seseorang untuk berada di sisi dia sekarang.." "But why? Why me?" "Karena kamu saudara dia." Seriously? "Apa dia baru aja didiagnosa kena penyakit parah?" "Haras..." "Seriously, Mam. She has a lot of friends. Ada puluhan ribu orang di kampus ini. Ada ribuan anak FK.." "Ayah Cindy sedang sakit parah." Dan kalimat Mami membuat aku bungkam seketika. "Har tau Ayah Cindy kan?" ya aku tau. Aku tau Cindy bukan anak kandung Papi. Aku juga tau Ayah kandung Cindy. Namanya Han Louise. Aku pernah bertemu beliau satu kali saat SMP. "Om Han sedang sakit." Kemudian Mami menceritakan semuanya. Kemarin Papi dan Mami mendapat telfon dari Tante Fani. Katanya Om Han sedang sakit parah. Ia sangat ingin bertemu dengan Cindy. Tapi seperti yang diketahui, perseteruan antara keduanya belum menemui titik dingin sampai saat ini. Cindy masih membenci ayahnya itu. meski Om Han sangat ingin bertemu, tapi Cindy bahkan tidak mau mengangkat telfon ayahnya itu. "Cindy mungkin kelihatannya benci sama Om Han. Tapi Mami tau kalau dia sayang dan perduli sama Om Han. Sekarang dia pasti juga sedang terpukul. Makanya Tante Fani berharap ada yang menemani dia di sini. Papi sama Mami percaya Har bisa jaga Cindy." Mami memberi jeda sementara aku berdebat dengan kepalaku sendiri. "Har harapan kami. Nggak hanya Mami sama Papi. Tapi Tante Fani juga." Apa itu penyebab Cindy menangis tadi malam? Aku benar-benar tidak tau harus mengatakan apa. "Mami nggak minta Har bujuk Cindy buat ketemu ayahnya. Mami hanya minta Har jagain Cindy, itu aja." Dan aku masih diam.. "Har bisa kan? Bantuin Mami kali ini..." dan Mami sudah memohon. Bagaimana aku bisa menolak permintaannya? Tapi aku juga tidak mau melakukan apa yang Mami minta. Lalu aku harus bagaimana? ... "Kak.." Apa mengerjap beberapa kali, mengumpulkan lagi kesadaran. Seorang mahasiswi berdiri di depanku. Ia tersenyum. Tak lama temannya yang lain datang. "Boleh minta tanda tangan Kak Haras?" ia mengulurkan buku dengan cover warna biru itu. "Boleh.." aku menerima buku yang ia ulurkan. Aku membuka bukunya. Lumayan banyak. Sepertinya dia salah satu yang rajin meminta tanda tangan. "Kamu udah minta tanda tangan kakak-kakak yang di sana?" aku menunjuk sekumpulan mahasiswa FTSL yang duduk di kursi taman. Mereka sedang main gitar di sana. "Belum, Kak.." Aku mengembalikan bukunya. "Kamu minta dulu tanda tangan kakak-kakak di sana, habis itu nanti balik lagi baru kakak kasih tanda tangan.." "Beneran? Kakak nggak akan kabur, kan?" Aku tersenyum, menggeleng. "Nggak. Kakak tungguin di sini.." Ia tersenyum dengan ceria. Yang lain pun mengikuti melakukan hal yang sama. Aku kemudian memilih untuk duduk di bangku yang ada di sana. Tidak butuh waktu lama, mereka kembali untuk meminta tanda tanganku. ... Aku baru sampai di asrama. Hari ini cukup melelahkan karena aku harus menghandle maba satu fakultas. Tadi juga saat sore banyak maba yang datang meminta tanda tangan dan nasehat. Alhasil aku menghabiskan hampir dua jam di sana bercerita dengan para maba. Saat hendak turun, aku melihat boneka di kursi belakang. Aku baru ingat kalau belum memberikan boneka itu pada Baby. Sejak kemarin kami punya banyak sekali kegiatan. Tadi pun bertemu hanya sebentar. Nanti aku akan ke asramanya setelah mandi. Aku menutup pintu mobil dan tidak aku sangka saat bersamaan Cindy juga keluar dari mobilnya. Pandangan kami bertemu. Tapi kemudian dia lebih dulu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia sepertinya enggan untuk bertemu denganku. Ya, aku juga malas bertemu dengannya. "Jadi beneran?" ia tiba-tiba berkata saat aku hendak melewatinya. Cindy tertawa mencemooh. Aku memandangnya dengan alis terangkat. Tidak mengerti apa yang ia maksud. "Lo lagi main drama ya?" ucapnya lagi. "Kamu ngomong apa sih?" Cindy melipat tangannya di d**a. "Di kampus nggak ada yang tau lo anak siapa. Dan lo pake mobil ini? Yaris? Untuk seorang Haras Adinata? Apa lo masih merasa miskin ya? Belum siap jadi orang kaya?" Cindy dengan semua sikap menyebalkan yang ia punya. Aku memandangnya dengan tenang. "Kenapa? Ada masalah?" memang ada apa dengan Yaris? Apa aku akan mati jika pakai mobil itu? "Nggak semua orang kaya harus pakai kayak yang kamu pakai," aku melirik mobilnya. Dengan sikap dan karakter Cindy, tentu saja Mercedez-Benz AMG GT 63S itu adalah perpaduan yang pas. Cindy tidak akan mau repot-repot pakai mobil yang bukan levelnya. "Nggak usah sok baik deh lo. Terima aja fakta kalau lo itu anak orang kaya, kenapa repot-repot mau belaga jadi orang miskin. Heran.." "Hm.. kayak fakta kalau kita itu saudara." Dan Cindy bungkam karena kalimatku. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Aku menarik napas dalam. "Mungkin ini akan bikin Mami sama Papi kecewa. Tapi aku nggak bisa penuhin permintaan mereka untuk jagain kamu. Aku nggak bisa pura-pura baik sama kamu." Setelah mengatakan itu aku segera melangkah memasuki gedung asrama. Meninggalkan Cindy di parkiran. ... Astaga.. aku berlari sekuat yang aku bisa. Aku lupa. Benar-benar lupa. Aku mengatur napas. Ada sedikit rasa lega saat melihat restoran kecil itu masih ramai. Aku memasuki restoran. Memutar kepala ke segala penjuru meski sebenarnya itu tidak perlu. Kami selalu memesan tempat duduk yang sama setiap datang ke restoran ini. Dan benar, Baby di sana. Aku segera menghampirinya dengan napas yang masih saling berpacu. Dia kaget dan juga tersenyum begitu melihatku. "Maaf ya, maaf aku telat.." aku langsung minta maaf begitu berdiri di depan Baby. Astaga. Apa yang aku pikirkan sebenarnya? Kenapa aku bisa lupa? Baby menggeleng. "Astaga, Be. Kamu habis lari ya? Duduk dulu.." ia kemudian menyerahkan segelas air putih padaku. Sungguh, aku masih tidak enak padanya. Sudah berapa lama dia menunggu di sini? "Kamu udah dari tadi?" harusnya aku tidak bertanya. Baby pasti sudah menunggu sejak tadi. Aku terlambat 2 jam. Caci maki saja aku. "Aku udah telfon kamu, tapi nomor kamu nggak aktif.." "Batrai aku habis. Tadi aku lama di kampus. Sorry ya.." "Udah minta maafnya." Baby tertawa. "Pesen makanan dulu. Itu keringat di lap.." ia menyerahkan tisu. Aku menerimanya masih dengan rasa bersalah luar biasa di dalam hati. Selama ini aku tidak pernah melupakan janji kami. kenapa aku bisa lupa hari ini kalau aku dan Baby ada janji? "Geser sini.." Aku mendekat. Baby kemudian mengambil sesuatu dari rambutku. "Kenapa nggk pake mobil aja ke sininya?" Restoran ini hanya sebuah restoran kecil yang terletak di antara asrama kami. biasanya kami ke sini memang tidak pakai kendaraan. Selain karena susah parkir, juga karena letaknya tidak terlalu jauh dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Aku sudah kebiasaan jadi tadi langsung berlari ke sini saat ingat kalau aku dan Baby janjian makan di sini. "Udah kebiasaan.." "Oh iya, ada yang mau aku bilang sama kamu, takutnya nanti lupa lagi.." "...." "Panitia mau adain sesi khusus buat semua Duta yang aktif. 16, 17, sama 18. Anak-anak minta kamu ikut partisipasi.." "Huh?" "Iya. Jadi nanti kalian bakal nyumbang penampilan di closing ceremony FoA.." Aku tergelak. "Kamu kayak nggak tau aku aja.." Baby melipat tangannya di meja. "Ya aku tau. Tapi ini permintaan Head Director.." "Nggak ah. Males aku ikut begituan." "Tapi kamu King 17' loh, Be.." "Iya. Tapi kan Duta udah ada tugasnya sendiri. Itu kan bukan wajib buat partisipasi pertunjukan.." Baby memanyunkan bibirnya. "Ih kok gitu. Sekali-sekali doang. Kapan lagi coba? Nanti kalau udah lulus kan nggak bisa.." "Emang aku nggak ada niat buat tampil. Sekali aja dulu udah.." aku masih ingat aku harus bernyanyi sambil main gitar waktu pemilihan FoA dulu. Kalau bukan karena si Kayhan sialan itu aku tidak perlu mempermalukan diriku di atas panggung. Aku mendekat ke arah Baby. "Ini kamu minta aku ikut emang permintaan panitia apa kamunya yang pengen lihat aku nyanyi?" "Ya dua-duanya.." "Kalau mau liat aku nyanyi nggak usah tampil di sana. Ntar aku konser khusus buat kamu. Aku bakal nyanyi sampe kamu capek dengerinnya.." Baby sontak saja tertawa. Ada lega saat melihat ia tertawa seperti itu. "Ya kan beda rasanya, Be. Aku sih udah sering denger kamu nyanyi." "Terus kamu mau gitu bagi-bagi? Rela emang aku nyanyi buat banyak orang?" Ia mengendikkan bahu. Tak lama pesanan kami datang. Seperti biasa, susah sekali menyuruh Baby makan sayuran. Setiap makan, kami pasti akan berdebat soal itu. Lalu akan berakhir dengan aku yang memaksa Baby makan sayur. Dia sebenarnya bukan pemilih soal makanan. Tapi Baby benar-benar anti untuk yang satu ini. Tapi tenang saja, aku akan pastikan ia tidak melewatkannya. "Kemarin kamu bilang selada enak. Kamu udah bisa makan selada. Ini tuh sama aja kayak selada.." entah kenapa kami harus berdebat untuk sebuah sayuran. "Beda, Be. Ini tuh lebih pahit.." "Manis.." Baby lagi-lagi memanyunkan bibirnya. karena tidak tahan akhirnya aku mencubit pipinya dan Baby protes. Aku tertawa. Sesaat aku terdiam, menatap Baby lekat. "Kamu kenapa liatin aku kayak gitu? Ada sesuatu di muka aku?" Aku tersenyum. "Hmm.." "Apa?" "Senyum kamu.." "Hah?" "Senyum kamu, aku suka. Senyum terus ya.." Baby terdiam. "Malah bengong.." aku cubit lagi pipinya. Kali ini dia tidak protes. Aku melanjutkan makan. "Kamu kok aneh gitu ya, Be?" "Aneh?" Baby mengangguk. "Aneh di mananya? Aneh bilang aku suka senyum kamu? Atau aku harus hilangin kata senyumnya?" aku mengedipkan sebelah mata. Baby langsung tertawa membuat aku ikut tertawa. "Dasar gombal..." "Tapi suka kan?" "Jangan sering-sering.." "Kenapa? Takut diabetes?" Lalu kami kembali tertawa. Dan aku sudah lupa semuanya. Semua beban yang sejak kemarin mengganggu. ... Jalanan ini adalah salah satu jalan favoritku. Eh atau favorit kami? Mungkin jalan ini sama-sama jalan kesukaan aku dan Baby. Karena di jalan ini kami tidak perlu bersembunyi dari siapapun. Kami bisa menjadi diri kami sendiri. Aku bisa menggenggam tangan Baby. Aku bisa memeluknya. Itulah kenapa restoran itu menjadi tempat kesukaan kami. Tempat wajib kami makan minimal satu kali seminggu. Ini juga alasan kenapa kami tidak pernah pakai mobil ke restoran itu. Karena kami bisa habiskan waktu dengan tenang saat pulang. "Kayaknya FTSL punya kandidat kuat terus di FoA.." Lampu-lampu jalan sepertinya baru diperbaiki. Terakhir kami ke sini, ada dua lampu yang tidak menyala. Kini semua lampu menyala. Kami bisa melihat danau buatan di sebelah kanan. Danau ini sebenarnya danau kampus. "Emang siapa perwakilan FTSL?" "Kamu nggak tau?" "Tau.." "Lah terus ngapain nanya?" "Pengen aja.." Baby pasti mencibir. "Duta masing-masing fakultas tahun ini kayaknya kuat-kuat. Ganteng-ganteng sama cantik-cantik. Tapi aku nggak tau sih skill mereka gimana.." "..." "Tapi Paris termasuk 3 terganteng dari semua Duta cowok. Bisa aja FTSL menang lagi." "Itu menurut kamu?" "Apa?" "Yang 3 terganteng itu.." "Ohh. Bukan. Panitia yang bilang. Tadi waktu kita rapat, mereka pada heboh gitu.." "Menurut kamu siapa yang paling ganteng?" aku melihat ke arah Baby. Ia juga melihat ke arahku. "Hhmmm.. Paris ganteng sih..." "Dibanding aku?" "Kenapa jadi bandinginnya sama kamu?" Baby tertawa. "Jawab aja. Mana yang lebih ganteng?" "Hmmm..." Baby memperhatikan aku seksama. Seperti meneliti. "Kalau mau dijawab jujur sih, Paris lebih.." Baby menggantung kalimatnya. Aku melotot. "Lebih disukai dibanding kamu. Soalnya Paris itu ramah, baik, nggak jutek, sama suka senyum.." "..." "Tapi kamu nomor satu di hati aku. Meski kamu nggak ramah sama semua orang, tapi kamu ramah sama aku. Baik juga sama aku. Kamu nggak pernah jutek sama aku bahkan dari pertama kali kita kenal. Meski kamu jarang senyum, tapi kamu selalu senyum sama aku.." Baby kemudian memeluk lenganku dengan senyum lebar di wajahnya. Aku mengacak rambutnya. "Siapa yang ngajarin gombal?" Baby hanya tertawa. Aku merangkulnya. "Mau lomba lari? Siapa yang sampai di asrama duluan.." "Ih nggak mau. Habis makan masak lari..." "Nggak apa-apa.." "Kamu cowok, aku ya kalah.." "Yang kalah gendong yang menang.." aku bersiap lari. "Ih aku mana kuat gendong kamu..." Aku sudah lari lebih dulu dan Baby berteriak protes. Tapi hanya beberapa langkah, aku kembali ke belakang dan langsung memeluk Baby membuat ia tertawa. "Gendong.." "Badan kamu kayak kapas gitu..aduhh..kok aku dicubit?" "Ngatain aku kapas mulu.." "True story alis fact! Aww.. ih enggak becanda doang.. aggghh, becanda..ha ha ha ha.." "Sini jangan lari.." "Sini pegangan, anginnya kencang.." "Be..." "Ha ha ha.." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD