Wedding

1578 Words
“Hello” dari banyak hal yang ingin Vina sampaikan gadis itu memilih satu kata singkat sebagai sapaannya. Mungkin terlihat biasa tapi Vina mengucapkannya dengan nada dari lirik pertama lagu milik penyanyi mendunia yaitu Adele. Respon yang diberikan seseorang di hadapannya ini juga mengejutkan Vina. “It’s me” Dia melanjutkan lirik lagu yang disenandungkan Vina lalu dia tersenyum lebar. Senyuman yang membuat tubuh Vina seolah kehilangan keseimbangan, kakinya seperti tak berpijak. Senyuman itu masih sama dan dia masih mengingatnya. Saat Vina masih mencoba mencerna semuanya dia tersadar bahwa Alvin berlari ke arahnya dan merengkuh tubuhnya. Ini mimpi. Ini terasa mimpi hingga aroma tubuh laki-laki yang pernah mengisi hari-harinya selama tiga tahun lamanya itu menyapa indera penciuman Vina lebih lekat. Dulu Vina menghafal parfum yang dikenakan Alvin, jadi ketika dia datang ke sekolah dan berada di sekitarnya Vina langsung tahu. Aroma itu masih sama sedekat ini malah. “Apa kabar Na?” lirih suara Alvin tepat di samping telinga membuat Vina memberanikan diri mengangkat kedua tangannya, membalas pelukan Alvin. Punggung tempat Vina meletakkan tangan adalah punggung yang Vina hafal. Punggung yang dia lihat milik Alvin meski itu punya orang lain. “Baik Al, aku baik. Kamu apa kabar?” Vina menjawab pelan menahan getar di suaranya yang mungkin disadari Alvin. Perlahan Vina melepas pelukan itu sedikit menjauh karena Alvin seolah masih nyaman melakukan itu. Lagi pula ini masih terlalu membingungkan bagi Vina. Selain itu ini adalah pelukan pertama selama mereka dekat saling mengenal. Mereka tidak pernah seterbuka ini dulu. “Bbaaik” jawab Alvin gugup karena saat ini berhadapan dengan Vina yang meunduk seolah menghindari matanya. Akhirnya di sinilah mereka pada sebuah warung di pinggir jalan yang menyajikan bubur ayam untuk sarapan. Hari ini adalah momen yang tidak terduga bagi Vina, ia bertekad tidak akan menyia-nyiakan saat ini dengan kebersamaan canggung karena menjadi asing satu sama lain setelah lama tidak berjumpa. Ia mencoba mengusir perasaan gemuruh di dadanya. “Kamu sering Al, sarapan bubur” Vina membuka obrolan. “Nggak juga sih, bubur mah ga bikin kenyang” “Haha ya iya kan, bubur berubahnya jadi urine kata Bu Diah” “Oh Bu Diah guru matematika kita di SMA” Tawa lepas pun terdengar dari keduanya mengingat sosok guru mereka. Awal kebersamaan yang cukup baik dan menyenangkan pikir Vina. “Kok kamu bisa ada di sana pagi-pagi?” tanya Vina kemudian. “Mau ketemu kamu” …. Alvin menjawab pertanyaan Vina dengan cepat tanpa berpikir panjang. Mendengar itu Vina mengalihkan pandangan karena dapat ia rasakan hawa panas menerpa wajahnya. Alvin tidak pernah bisa ditebak sedari dulu. Mendadak Vina pun menjadi bingung, haruskah bertanya lebih jauh atau membiarkan Alvin mengutarakan maksudnya lebih dulu. Bagaimana jika orang di hadapannya ini memang tidak ingin menjelaskan apapun dan ini semua hanya pertemuan sebatas teman satu sekolah saja?? Asumsi-asumsi berperang sendiri dalam kepala Vina. Dia tidak ingin berharap lebih tapi takut semuanya akan sia-sia dan kembali menghilang. Pesanan mereka datang menjeda atmosfer canggung keduanya, dua porsi bubur ayam dengan segelas teh dan jeruk hangat. Vina menyendok bubur, belum juga ia dapat menelan makanan itu justru perutnya terasa mual. s**l asam lambungnya harus naik saat momen seperti ini. Kini Vina kembali mencoba memakan buburnya menahan mual. Ia segera meraih gelas jeruk hangat ingin segera meminumnya berharap dapat menghilangkan mual. Nampaknya gelagat Vina yang susah payah menelan makanannya diperhatikan Alvin. “Kamu mual Na?” Alvin bertanya sembari menahan gelas yang akan diminum Vina. Vina hanya mengangguk samar. “Jangan minum jeruk, perut mu masih kosong kan. Pak minta air putih hangatnya satu” Penjual bubur segera menyajikan sesuai pesanan Alvin tadi. Ahh Alvin bahkan masih seperti dulu selalu memberi perhatian dalam bentuk apapun. “Aku mau minum jeruk lho” Vina keras kepala karena egonya merasa tersinggung mengingat Alvin yang juga memaksanya meminum air putih hangat saat dulu dia sakit di UKS. “Gimana kalau jeruknya terlalu asam? satu sendok bubur aja belum kasih lapisan apa-apa di lambung kamu. Bisa perih nanti lambungmu” “Cih” meskipun sebal Vina mengalah dan meminum perlahan air putihnya kemudian mencoba melanjutkan makan. “Gausah ngambek. Kamu mual karena asam lambung kan bukan bawaan bayi?” ucap Alvin. Mendengar ucapan Alvin barusan membuat Vina menyentakkan sendoknya dengan keras. Ya Alvin masih sama seperti dulu. Alvin yang ia kenal. Laki-laki yang suka memberi perhatian juga selalu menyebalkan dengan ucapannya yang seperti minta digetok sepatu. Vina kini masih melihat ekspresi yang sama dari beberapa tahun yang lalu, ekspresi khas Alvin yang menahan tawa merasa tak bersalah. Sungguh gaya bercanda Alvin masih sama menyebalkannya. “Sok tahu banget asam lambungku naik” Vina masih gengsi tak terima. “Kamu pasti begadang sama Resti terus makannya larut malam, bisa jadi makannya juga sebelum tidur terus sekarang asam lambungnya naik. Kamu kan kayak gitu persis waktu kita makrab waktu SMA. Ummm atau beneran bawaan bayi ya?” semua tebakan Alvin tepat kecuali pertanyaannya yang tak henti memancing tatapan melotot Vina. "Al kalau aku hamil dengan proses yang bener dan aku pastiin pasti bener harusnya kamu dapat undangan nikah ku sebulan atau beberapa bulan yang lalu” sewot Vina. Sepertinya Vina terlalu berekspektasi lebih pertemuannya dengan Alvin akan begitu menyenangkan. Nyatanya sekarang dia sudah cukup emosi menanggapi Alvin yang hanya membalas omelannya dengan cengiran lebar. s**l, Vina merindukan perdebatan seperti ini juga muka menyebalkan sosok dihadapannya kini, hatinya tak bisa berbohong. “Tenang aja aku bakal undang kamu kalau aku nikah, makanya kamu besok kalau nikah juga jangan lupa undang aku ! OK!” lanjut Vina sembari mengalihkan pandangannya kembali pada mangkok bubur. “Gimana kalau kita bikin undangan bareng?” ucapan Alvin lainnya yang tidak tertebak akan terlontar dari mulut laki-laki itu. Wah ini dia yang mampu membuat Vina harus kembali fokus mencerna kalimat Alvin yang saat ini tengah menatap datar padanya. Kehebatan Alvin melakukan eye contact ternyata masih ada dan saat inilah Vina tak ingin kalah dengan tatapan itu. Sudah cukup penantian enam tahunnya, cukup sudah tiga tahun ini ia bertanya-tanya keberadaan juga keadaan laki-laki di hadapannya saat ini. Vina ingin menyelesaikan hari ini, menjawab semua pertanyaannya selama ini. Entah kisah ini akan berlanjut atau berakhir dengan bahagia tanpa perlu bersama? Oke mari kita ikuti arah pembicaraan ini begitu batin Vina. Biarkan obrolan ini akan memperjelas semuanya kepalang tanggung bisa jadi setelah ini mereka berdua tidak akan pernah bertemu lagi. Vina membalas tatapan Alvin, kini mereka saling pandang. “Oh boleh desainnya juga disamain aja?” pancing Vina. “Boleh, nama kita kan di sampulnya?” GOTCHA AAAAAAAAAAAAAAAAA BATIN VINA MENJERIT BARBAR. “Vina dan Alvin” ucap Vina mantap “Bisa juga Alvin dan Vina” balas Alvin tak mau kalah “hm Oke jadi kapan?” lanjut laki-laki itu tak ambil pusing. Sepele saja ternyata pertemuan ini, Vina tersenyum tipis memutus tatapannya ke arah Alvin kembali mengaduk buburnya. Asam lambungnya sudah kembali normal, rasa mual tidak lagi ia rasakan demi ada pada sebuah percakapan yang tidak ia duga sebelumnya. “Mbak sama Mas ini calon suami istri ya?” “Uhuuuuk huk uhuuuk…” Vina terkejut hingga tersedak bubur yang ia sendok. ASTAGAAA mereka lupa bahwa di situ ada penjual bubur yang menjadi saksi percakapan absurd sepasang manusia yang mungkin akan berakhir menjadi sejoli. Vina merasa ini terlalu lucu dan semua terasa terlalu terburu toh mereka baru berada di awal usia kepala dua mereka. Tipe candaan mereka masih sama dirasa. “Kamu mau langsung pulang?” Alvin bertanya begitu mereka keluar dari kedai bubur. “Kayaknya iya, banyak yang harus aku beresin di kosan. Sebelum besok udah sibuk kuliah lagi” jelas Vina. Dua orang itu sama-sama mematung di tempatnya karena menyadari tempat mereka memarkir motor berbeda arah. “Al” “Na” panggil dua orang itu bebarengan. “Kamu duluan” Alvin mempersilakan yang disetujui Vina. “Ummm I'm glad we met again” kata Vina dengan senyum lebar yang tak dapat dia tahan. “….Ya haha me too” Alvin merasa terpana pada senyuman cerah yang lama tak dia lihat itu. “Na” “Ya?” “Aku boleh kan hubungin kamu? Aku janji ga akan ganggu jam belajar kamu” Alvin berbicara cepat takut keduluan Vina yang seolah akan melarangnya. Vina menahan tawanya juga debar yang semakin tak bisa dia tahan. Alvin baru saja memastikan bahwa kejadian saat pertama kali peretmuan mereka di kelas satu SMA tidak terjadi lagi, yaitu saat Alvin sering mengirim pesan ke Vina di jam-jam gadis itu belajar. Jadilah Alvin diomeli Vina bahkan hingga komunikasi lewat pesan singkat menjadi jarang mereka lakukan lagi. “Boleeh, aku sekarang udah lebih bisa ngatur jam belajarku kok. Memangnya kamu punya kontakku?” “Aku sudah minta ke Resti” “Ish anak itu. Kamu hutang penjelasan tentang keterlibatan Resti” “Pasti, ahh aku sudah memiliki topic yang akan aku bicarakan denganmu”  Alvin terlihat antusias membuat Vina tertawa karena sikap laki-laki itu begitu lucu. “Aku duluan ya Al” Vina sudah hendak berbalik pergi. “Eh Na tunggu” ucapan Alvin menahan Vina untuk berjalan dia kembali menghadap laki-laki yang perlahan mulai mendekat ke arahnya. “Mau ngapain?” tangan Vina menahan Alvin karena jarak mereka yang semakin menipis. “Kita kan udah lakuin Na tadi?” “Ya terus kenapa kamu mau lakuin lagi?” pertanyaan Vina membuat tangan Alvin yang semula bersiap merengkuh menjadi menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. “Hheheehe sehat-sehat ya Alvin. Bye” Vina terkekeh kemudian menepuk bahu Alvin lalu gadis itu berlari menjauh meninggalkan Alvin yang mematung saat lagi-lagi tertawan senyum cerah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD