Prolog
He was late. Konsekuensi terbesar dari keterlambatannya. Dia kehilangan orang yang dia cintai karena terlambat berani, terlambat menyadari, terlambat mengerti, dan terlambat melakukan sesuatu.
“Maaf, Jika kamu kembali beberapa bulan lalu mungkin aku bisa menerima dan memandangmu sebagai kesempatan untuk menumbuhkan perasaan yang sudah lama nyaris mati. Tapi kini kamu terlambat, lagi, selalu terlambat. Aku sudah bertunangan dengan orang lain. Hari di mana aku menerimanya untuk menyematkan cincin ini di jari manisku adalah hari saat aku membunuh segala perasaan yang pernah ada buat kamu. Dia bukan sosok sempurna yang baik dalam segala hal, dia bukan pria baik-baik yang tak pernah membuatku menangis, dia banyak kurangnya. Tetapi dia datang memberi harapan juga berharap untuk bersamaku menjadi lebih baik, bersama-sama kita menjadi lebih baik.
....Maaf, kamu terlambat. Jika banyak hukuman yang diberikan untukmu saat kamu terlambat tidak membuatmu jera maka mungkin setelah ini terjadi kamu akan jauh lebih menghargai waktumu. Maaf, terima kasih sudah pernah menjadi sosok favoritku. Terima kasih teman.”
Peluh membasahi pelipis laki-laki yang tengah terkesiap dengan posisi berbaring di sebuah ruangan yang temaram. Deru nafasnya memburu, degup jantungnya berpacu masih mencoba mengumpulkan kesadaran dia pun bersandar di headboard. Menyisir rambutnya yang basah karena keringat ke belakang.
"Ini mimpi. Ya ini mimpi" batinnya meyakinkan diri sendiri. Dia pun menangkup wajahnya sendiri memastikan bahwa dia telah terbangun dari tidur dengan mimpi buruknya. “s**l!!” umpatnya merutuk mimpi buruk itu.
Ia bergegas ke arah kamar mandi untuk membasuh mukanya. Mimpi tentang gadis itu memang hadir sesekali. Ah tidak gadis itu menghantui pikirannya sejak terakhir kali dia melihatnya, tepatnya empat tahun terakhir.
Namun yang baru saja ia mimpikan rasanya jauh lebih nyata. Tatapan kecewa itu terlalu nyata dan perasaan menyesal itu masih terbawa bahkan hingga dia tersadar. Kalimat terakhir yang dikatakan gadis dalam mimpi itu seolah memberikan tamparan keras untuknya hingga ia kelimpungan sendiri. "Apa dia bilang?? terima kasih teman? teman? hahaha sungguh dia tidak pernah mau dianggap teman. tidak" kalimat yang hanya dia katakan dalam hatinya itu menerbitkan senyuman kecut di bibir laki-laki yang beranjak dewasa itu.