DUA PULUH DUA

2028 Words
Baron keluar dari mobilnya sebentar untuk membuka pintu gerbang rumahnya. Itu berarti tidak ada siapapun di dalam rumah Baron. Baron memang tidak sendiri. Baron hanya memiliki asisten rumah tangga yang datang dua kali seminggu untuk membersihkan rumahnya. Dia tidak ingin ada orang asing yang tinggal di rumahnya. Ada banyak hal di rumah Baron yang tidak boleh diketahui oleh sembarang orang. Sejauh ini Baron merasa baik-baik saja hidup sendirian, meski ia tak bisa pungkiri kalau terkadang kesempian datang melanda. Makanya terkadang Baron lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kantor atau di lapangan. Baginya rumah hanyalah tempat singgah sebentar untuk sesekali beristirahat atau menghindari seseorang. Sejak kehilangan orang yang sangat dicintainya, Baron tidak pernah merasakan lagi arti "rumah" yang sesungguhnya. Pria itu kembali masuk ke dalam mobil dengan pakaian yang sedikit basah. Lagi-lagi Julie merasa tidak enak, "Kau seharusnya memintaku untuk membuka gerbang." Tapi tidak dihiraukan oleh Baron. Mobil melaju memasuki garasi rumah Baron. Keduanya lalu turun dari mobil. Agar suasana tidak canggung, Julie berinisiatif untuk memulai pembicaraan, “Adrian belum datang?” Tanyanya seraya berjalan mengikuti Baron dari belakang. Mereka kini sudah berada di depan pintu ruang rahasia Baron. Begitu pintu terbuka, Baron meminta Julie untuk masuk lebih dulu, “Adrian baru bisa datang pukul setengah tujuh malam, kau masuk duluan, aku mau mengambil sesuatu.” Julie mengangguk, dia lalu masuk ke ruangan rahasia itu sendirian. Saat pertama kali datang ke sana, Julie tidak terlalu memperhatikan isi ruangan secara detail karena dia dan Adrian terlalu terkejut dengan keberadaan ruang rahasia itu. Baru sekarang Julie bisa melihat semuanya satu persatu. Mulai dari ornamen-ornamen yang digunakan untuk membangun ruangan tersebut, hingga furniture yang ada di dalamnya. Ruangan yang didominasi dengan cat berwarna biru dongker itu terlihat begitu misterius. Sang pemilik sepertinya sengaja mengatur tingkat keterangan menjadi sedikit redup dari lampu kebanyakan. Julie tidak langsung duduk di sofa seperti tamu pada umumnya, ia berjalan menuju lemari kayu yang berisi beberapa koleksi buku pribadi Baron. Julie tersenyum kecil, “Rupanya dia begitu suka membaca.” Ucapnya pelan. Ada satu buku yang posisinya terlihat berbeda dari buku lainnya, sepertinya buku itu baru saja dibaca oleh Baron. Julie berniat untuk membenarkan posisi buku tersebut, namun ketika tangannya hendak meraih buku tersebut, Baron menahan tangan Julie dengan cepat, “Jangan sentuh barang yang bukan milikmu.” Ujarnya ketus. Julie terkejut dengan kedatangan Baron yang tiba-tiba, melihat tangan Baron yang saat ini sedang memegang pergelangan tangannya, suasana menjadi sedikit canggung. Baron lalu melepas tangan Julie, keduanya menjadi salah tingkah. “Maaf, aku tidak bermaksud lancing. Aku…aku hanya ingin merapikan bukumu.” “Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri.” Ujarnya seraya merapikan buku yang hendak Julie pegang tadi. Julie mengangguk sekaligus menggaruk bagian belakang leher yang tidak gatal, “Baiklah.” Ucapnya, ia tak ingin memperpanjang masalah. Sambil menunggu kedatangan Adrian, Julie memutuskan untuk membahas perbincangan dirinya dengan Wira tadi siang. Julie menceritakan semuanya pada Baron secara detail, terlebih mengenai olimpiade Geografi yang Karisa ikuti. Entah mengapa Julie merasa bahwa itu adalah salah satu momen yang berhubungan dengan kepribadian Karisa dalam setahun terakhir. Namun sayang, Julie belum sempat berbicara dengan Mei karena hari ini Mei tidak mengajar, ia ditugaskan untuk mengikuti workshop guru-guru Bahasa Indonesia yang diadakan oleh Gubernur Jawa Barat. Acara itu berlangsung selama tiga hari. Jadi Julie harus menunggu hingga Mei kembali mengajar ke sekolah. Baron tampak sedang berpikir dan menganalisa cerita Julie, meski tak mengakui secara lisan, tapi di dalam hati Baron memuji kemampuan Julie dalam mengumpulkan informasi-informasi penting. Ada banyak kata kunci yang sepertinya berkaitan dengan peristiwa kematian Karisa, itu seperti potongan-potongan puzzle yang harus mereka susun. “Apa yang kau tangkap dari tatapan mata beliau?” Itu dia. Selama berbincang dengan Wira, Julie selalu berusaha untuk menangkap apa yang ada di pikiran wakil kepala sekolah itu, tapi dia tak mendapat apapun. Sebenarnya itu bukan hal baru, dalam beberapa kesempatan Julie tetap tidak bisa membaca pikiran orang lain meski mereka sudah saling bertatapan lebih dari satu menit. Dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. “Sikap Pak Wira memang sedikit berbeda ketika saya membahas tentang Karisa dan olimpiade Geografi. Tapi sepertinya apa yang keluar dari mulutnya bukanlah kebohongan, hanya saja dia seperti sedang menutup-nutupi sesuatu.” “Tadi kau bilang Wira diangkat menjadi wakil kepala sekolah, setelah olimpiade Geografi itu selesai. Tapi di lain sisi, Karisa kalah dalam perlombaan itu dan pihak sekolah tentunya tidak mendapatkan apa-apa, bukan? Lantas mengapa Wira justru naik jabatan?” Julie sempat terpikirkan akan hal itu, tapi karena basic-nya adalah seorang guru, jadi ia tetap berpikiran positif, “Mungkin itu reward karena Pak Wira sudah bekerja keras membimbing Karisa selama masa persiapan.” Tebak Julie, meski ia sendiri tak yakin dengan ucapannya. “Lantas apa yang Karisa dapatkan atas segala usaha dan kerja kerasnya? Tekanan batin dari orang-orang yang menaruh harapan lebih hingga berakibat pada kesehatan mentalnya?” “Aku dengar Karisa tidak mendapat reward apapun dari pihak sekolah. Kau benar, harusnya Karisa mendapatkan sesuatu karena bagaimanapun juga dia sudah mewakilkan sekolah di ajang olimpiade bergengsi. Apa benar Karisa depresi karena kalah dalam olimpiade?” Julie tidak tahu lagi mengapa pada akhirnya dia berpikiran seperti itu, kasus ini terlalu rumit bagi Julie. Baron menggeleng, “Ini lebih dari sekedar itu. Kita tunggu kedatangan Adrian, informasi yang Adrian berikan mungkin akan menjadi petunjuk untuk kita.” Dan tiba-tiba saja Baron teringat sesuatu, ia mengambil sesuatu yang sejak tadi ada di sampingnya. “Maaf, aku lupa. Kau bisa mengganti bajumu dengan ini.” Ucapnya sambil menyodorkan kaos polos berwarna abu-abu. Itu adalah kaos miliknya. Rupanya tadi Baron meminta Julie masuk ke ruang rahasia duluan karena dia ingin mengambil baju ganti untuk Julie. Julie mengambil kaosnya, “Terima kasih…” “Kau bisa ganti baju di toilet, aku akan membuat mie instan dulu. Kau mau?” Baron tiba-tiba merasa lapar, tapi bahan makanan yang tersisa di rumahnya hanya telur dan mie instan. Maklum, Baron lebih sering makan di luar rumah. Baron memang bisa masak, tapi kemampuannya itu hanya untuk bertahan hidup, alias rasa masakannya sangat tidak karuan. “Hem…boleh, itupun kalau tidak merepotkan.” Baron berdiri dari tempatnya, ia lalu berjalan keluar ruangan dan berkata, “Berada satu tim denganmu saja sudah cukup merepotkan.” Ujarnya pelan. Julie samar-samar mendengar, tapi dia hanya cemberut menanggapi sikap Baron yang sangat dingin layaknya kulkas dua pintu. Mie instan rebus adalah makanan terlezat yang harus dinikmati saat hujan. Entah mengapa mie instan yang dibuatkan oleh orang lain akan terasa jauh lebih nikmat. Julie menikmati mie instan dengan telur setengah matang dengan lahap. “Apa kau selalu makan mie instan ketika berada di rumah?” Baron meneguk air mineral sebelum menjawab pertanyaan Julie, “Aku terlalu sibuk untuk berbelanja bahan makanan dan memasak makanan sehat di rumah. Lagi pula aku bisa beli makanan di luar.” “Tapi akan lebih baik jika kau menyimpan bahan makanan. Bagaimanapun juga mie instan tidak baik untuk kesehatanmu.” Ada sedikit perasaan aneh dalam diri Baron ketika dia mendengar Julie berkata demikian, rasanya sudah lama sekali Baron tidak mendapat perhatian seperti itu. Setelah peristiwa yang menimpa orang yang dia sayangi, Baron seperti menutup diri dan hanya fokus pada pekerjaan. Dia bekerja siang malam agar lupa dengan rasa sepi yang seringkali melandanya. Terkadang Baron sempat berpikir bahwa nalurinya sebagai seorang manusia sudah mulai memudar, maksudnya, ia seperti mati rasa, tidak lagi bisa merasakan cinta dari siapapun itu. Sejak masuk ke Akademi Kepolisian, Baron sudah hidup mandiri, ia tidak lagi bergantung pada orangtuanya. Kedua orangtuanya selalu sibuk dengan urusan pekerjaan. Setiap kali Baron jatuh sakit, ia harus mengurus dirinya sendiri. Meringkuk kesakitan dia atas tempat tidur sambil memanggil nama seseorang yang dia cintai, meski dia tahu bahwa orang itu tidak akan pernah datang. Semua orang yang melihat Baron pasti akan beranggapan jika Baron adalah orang yang kuat. Padahal sebenarnya, jauh di dalam diri Baron, dia hanyalah pria rapuh yang tidak tahu bagaimana cara menjalani hidup dengan bener setelah ditinggal orang yang sangat berarti di hidupnya. Namun Baron tidak pernah menunjukkan itu pada orang lain. Dia selalu bersembunyi di balik topong pekerjaannya sebagai seorang detektif yang kuat dan handal. Jika dia terlihat lemah, orang lain pasti akan menyerangnya, begitu pikir Baron. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, dan saat itu Adrian menghubungi Baron, memintanya untuk membuka pintu gerbang. Julie berjalan mengikuti Baron dan melihat kondisi di luar, rupanya hujan sudah selesai menyapa penduduk bumi. Beberapa orang pasti langsung melakukan kegiatan yang sempat tertunda karena hujan. Julie tersenyum pada Adrian, dia bertanya apakah Adrian baik-baik saja selama dalam perjalanan. Adrian mengangguk dan tersenyum, “Ya, aku baik-baik saja. Jalanan memang sedikit licin, jadi harus lebih berhati-hati.” Jawabnya seraya melepas jas hujan berwarna hijau tua. Sadar bahwa waktu terus berjalan dan hari akan semakin malam, ketiga langsung menuju ke ruang rahasia. Adrian meminta Baron untuk mengeluarkan kotak yang berisi barang-barang pribadi Karisa. Barang tersebut memang sengaja disimpan di rumah Baron demi keamanan. Adrian kemudian mengeluarkan sepatu yang sudah tampak kotor, juga ada percikan darah dari tubuh Karisa yang menempel di sepatunya. Adrian memejamkan mata, memulai tugasnya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hari kematian Karisa. Sementara Julie dan Baron hanya terdiam melihat Adrian. Ritual kilas balik pun dimulai. Peristiwa yang pertama kali dilihat Adrian adalah bahwa malem itu Karisa masih mengenakan seragam sekolah lengkap dengan tas yang berisi buku pelajaran hari hari itu. Karisa kemudian memesan ojek online melalui ponselnya. Dia menunggu di depan toko yang tampaknya menjual bunga-bunga segar. Hal itu langsung terkonfrimasi karena setelahnya Adrian dapat melihat plank toko beruliskan “Reverose Florist”. Secara spontan Adrian pun mengucap, “Itu sebuah toko bunga.” Seolah dia memberikan sedikit bocoran untuk Baron dan Julie. Baron pun langsung menulis “toko bunga” di buku kecilnya. Tapi Adrian tidak melihat Karisa membawa bingkisan apapun, jika gadis itu baru saja membeli bunga, dia pasti sedang memegangnya sekarang. Tidak lama setelah itu, datang pengemudi ojek online yang sudah dipesannya. Sialnya, Adrian tidak bisa melihat plat nomor dari kendaraan yang dinaiki Karisa. Namun Adrian mendengar jika pengemudi ojek online mengonfrimasi bahwa tujuan Karisa malam itu adalah ke SMA Cendikiawan III. Karisa membenarkan. Di dalam perjalanan, Karisa sempat memeriksa ponselnya, tapi tak lama kemudian ponsel tersebut tidak aktif karena kehabisan daya isi. Bila di lihat dari suasana sekitar, dari jalan-jalan yang mereka lewati malam itu, Adrian menebak jika hari belum terlalu malam, mungkin sekitar pukul 8 malam. Masih ada beberapa orang menongkrong di warung pinggir jalan, juga pedagang keliling yang dagangannya sudah hampir habis. Tidak ada kendala apapun dalam perjalanan, mereka tiba dengan selamat di depan pintu gerbang SMA Cendikiawan III. Karisa membayar ongkos ojek online, sang pengemudi mengucapkan terima kasih, lalu pergi mencari pesanan lain. Suasana di sekitar sekolah tampak lebih sepi bila dibandingkan dengan suasana dari jalan-jalan yang mereka lewati tadi. Meski awalnya tampak ragu, Karisa akhirnya berjalan memasuki sekolahnya. Tapi kemudian, gambaran itu buram, kemudian berubah seperti gambar televisi yang tidak memiliki antena, abu-abu dengan suara kresek khas tv rusak. Adrian memejamkan matanya erat-erat, menggeleng-geleng karena terganggu dengan suara bising itu. Dia menutup telinga dengan kedua tangannya, seperti orang yang sedang kesakitan. Sontak Julie mendekat menghampiri Adrian, memegang tubuhnya, berusaha untuk menyadarkan Adrian dan bekata, “Kau baik-baik saja? Adrian? Kau baik-baik saja?” Ucapnya panik. Begitu pun dengan Baron yang juga terlihat khawatir. Reporter itu membuka mata, tubuhnya dikucuri keringat padahal ruangan rahasia Baron dilengkapi dengan pendingin ruangan. Tubuh Adrian terasa lemas. Ya, setiap kali dia melakukan ritual kilas balik, energinya akan terkuras habis. Itu seperti harga yang harus dia bayar. Adrian duduk di sofa dengan nafas terengah-engah. Dia lalu menatap Julie dan Baron secara bergantian, “Ada seseorang yang meminta Karisa untuk datang ke sekolah pada malam itu. Tapi aku…aku tidak berhasil melihatnya hingga akhir.” Jelasnya dengan penuh penyesalan. Julie mengelus pundak Adrian, “Tidak apa-apa, kau sudah berusaha keras, Adrian. Terima kasih atas kerja kerasmu.” Kini Adrian hanya melihat ke arah Baron, ada hal penting yang harus dikonfrimasi, “Apa kau menemukan ponsel Karisa di TKP?” Baron menggeleng. Saat jenazah Karisa ditemukan, tidak ada ponsel pribadi, itu juga yang sebenarnya terasa mengganjal bagi Baron. Mustahil anak remaja zaman sekarang tidak membawa ponsel setiap saat. Adrian lalu kembali berkata, “Pada malam itu….pada malam itu…Karisa membawa ponselnya.” Dan mereka bertiga saling bertatapan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD