Hal pertama yang Julie lakukan hari itu adalah mengunjungi ruangan Wira. Sebagai seorang wakil kepala sekolah, Wira mendapat fasilitas ruang pribadi meski tak sebagus ruangan Adiwiyata. Julie datang ke sana saat dia memiliki jam kosong. Dan untungnya, Wira juga sedang berada di sana. Pria yang tujuh tahun lebih muda dari Adiwiyata itu terlihat sedang sibuk dengan komputernya. Beberapa gosip menyebar luas tentang betapa ambisinya Wira ingin menduduki jabatan kepala sekolah, hanya saja dia tidak bisa berbuat banyak karena Adiwiyata lah yang berhak atas itu. Adiwiyata menjadi pewaris tunggal SMA Cendikiawan III dan memilih untuk jadi kepala sekolah entah sampai kapan. Tapi Julie tidak terlalu menghiraukan kabar burung tersebut selagi tidak ada hubungan dengannya.
Dari ekspresi wajahnya, Wira terlihat tidak menyangka jika yang mengetuk pintu ruangannya adalah Julie. Sejujurnya hingga saat ini dia tidak terlalu mengenal Julie karena setelah kepindahan Julie terjadi peristiwa yang sangat menyita perhatian pihak sekolah. Jadi mereka belum sempat mengobrol berdua secara intens. Sesaat setelah Julie dipersilahkan masuk, Wira kemudian meninggalkan komputernya yang masih menyala. “Selamat siang, Bu Julie. Bagaimana kabarnya? Sehat?” Tanyanya basa-basi.
Julie tersenyum, “Sehat, Pak. Bapak gimana? Apa sekarang lagi sibuk?” mata Julie seraya melirik ke arah meja kerja Wira.
Wira tertawa khas bapak-bapak, “Ha..Ha..Ha..Ya, saya juga sehat, walau sedikit stress karena beberapa masalah yang belakangan ini baru saja terjadi.” Kini giliran Wira yang melihat kea rah meja kerjanya, “Tidak, tidak, saya tidak sibuk. Hanya membaca beberapa dokumen. Ya, maklum, saya ini paling tidak bisa diam. Saya selalu ingin mengisi waktu saya dengan bekerja.”
Julie tersenyum penuh makna sambil mengangguk-angguk. Ternyata sedikit benar gosip yang beredar, dari ucapannya terlihat bahwa Wira ingin menunjukkan jika dia adalah orang yang rajin, dimana itu merupakan salah satu karakter dari seseorang yang ambisius. “Iya, kalau diingat-ingat, rasanya saya juga belum sempat memperkenalkan diri secara pantas dengan bapak. Semoga untuk ke depannya kita bisa menjalin hubungan lebih baik dan dekat ya, Pak.”
Lagi-lagi Wira tertawa khas bapak-bapak, sepertinya itu adalah signature dirinya. Dan jujur, Julie sedikit terganggu dengan suara tawanya itu. “Ya, ya, jadi bagaimana Bu Julie, sudah hampir dua bulan ya ibu mengajar di sini? Apa ada kesulitan?”
Julie pun menjawab dengan kalimat basa-basi, sebab tujuan utamanya datang ke ruangan Wira adalah karena ada hal yang ingin dia tanyakan. Julie pun mencoba membelokkan topik pembicaraan mereka agar sesuai dengan yang dia inginkan. “Iya Pak, jadi Bu April itu membantu saya memberikan beberapa informasi dasar mengenai SMA Cendikiawan III serta guru-gurunya. Dan saya dengar, bapak ini pernah menjadi guru Geografi ya sebelumnya?”
Mendengar pertanyaan Julie, Wira tersenyum lebar. Bagus, Julie ternyata memulai pembicaraan dengan baik, sepertinya Wira adalah seseorang yang memiliki kepribadian narsistik, dimana dia akan senang jika dirinya menjadi pusat perhatian. Orang-orang seperti itu biasanya akan bersemangat bila menjadi topik pembicaraan, mereka akan semangat membicarakan tentang siapa diri mereka, apa saja yang sudah mereka lakukan, serta menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Sambil mengelus-elus kumisnya yang hanya beberapa helai, Wira berkata, “Ya, benar sekali. Wah, rupanya Bu Julie diam-diam sudah tahu banyak hal tentang saya ya. Benar apa yang dikatakan oleh Bu April, saya ini sebelumnya merupakan lulusan dari Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Geografi. Dulu namanya masih Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, atau orang-orang biasa menyebutnya IKIP Jakarta. Saya lulus dalam waktu empat tahun lho, bayangkan! Di zaman itu jarang sekali ada mahasiswa yang lulus dalam waktu empat tahun, kalau zaman sekarang kan sudah biasa ya.”
Lagi-lagi Julie hanya bisa mengangguk, tersenyum, dan mengiyakan ucapan Wira. “Iya, bapak berarti hebat sekali ya pak. Oh iya, ngomong-ngomong lagi nih ya pak, katanya bapak juga selalu aktif menjadi guru pembimbing untuk para siswa yang mau mengikuti olimpiade Geografi ya?”
Wira lebih semangat lagi dari sebelumnya, “Nah! Betul sekali. Habis bagaimana ya, olimpiade itu kan bukan hal main-main, jadi guru yang mendampingi para siswa juga haruslah guru yang terbaik di bidangnya. Dan kebetulan semua dewan guru sepakat bahwa guru Geografi terbaik di sekolah ini adalah saya.” Entah sudah yang keberapa kalinya Wira membanggakan diri sendiri.
Bibir Julie membentuk huruf O, “Berarti bapak juga yang mendampingi Karisa saat olimpiade Geografi tahun lalu ya, Pak?” Julie akhirnya sampai pada pertanyaan inti yang sejak tadi ingin dia tanyakan.
Namun setelah mendengar pertanyaan itu ekspresi wajah Wira jadi berubah. Tubuhnya juga bergerak-gerak gelisah seperti tidak nyaman dengan pertanyaan Julie. Ia tidak serileks tadi lagi. Wira berdeham, seolah ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya. “Ya, begitulah Bu Julie.” Hanya kalimat yang keluar darinya.
Dan Tuhan sepertinya memberikan insting yang cukup tajam untuk Julie. Dia langsung menyadari perubahan sikap Wira kala itu. Tapi justru karena begitu, Julie menjadi semakin penasaran. Ia pun tetap berusaha untuk melanjutkan topik tersebut, “Berarti mendiang Karisa itu cerdas sekali ya, Pak, sampai-sampai bisa menjadi perwakilan SMA Cendikiawan III dalam ajang olimpiade Geografi. Bapak pasti merasa bangga sekali dengan Karisa. Oh iya pak, karena bapak pernah membimbing Karisa, berarti bapak cukup dekat dan mengenal Karisa dengan baik ya, Pak?” Pertanyaan pamungkas pun keluar. Jika dilihat-lihat Julie memiliki sedikit persamaan dengan Baron, keduanya pintar sekali dalam mewawancarai orang lain. Pertanyaan yang mereka lontarkan benar-benar tepat mengarah sasaran.
Kali ini giliran Wira yang hanya tersenyum dan mengangguk, “Ya, bisa dibilang seperti itu. Tapi setelah olimpiade usai, saya juga sudah jarang bertemu dengan Karisa karena saat itu saya tengah sibuk mempersiapkan pelantikan untuk menjadi wakil kepala sekolah.”
“Oh, berarti setelah olimpiade selesai, bapak langsung diangkat menjadi wakil kepala sekolah ya? Wah bapak hebat sekali.” Julie tahu bagaimana cara mengendalikan suasana dan mengontrol mood Wira agar perbincangan mereka bisa terus berlanjut. Dia pun meneruskan, “Tapi sayang sekali ya pak, saya dengar Karisa masih belum beruntung sehingga belum bisa menyandang gelar juara.”
Jawaban yang diberikan oleh Wira kurang lebih sama dengan yang disampaikan oleh Julie. Dia berkata bahwa mental Karisa belum siap dalam mengikuti olimpiade. Wira bahkan tidak ragu menyebut Karisa stress ringan hingga mengakibatkan anak itu hilang kendali dan berhalusinasi. Menurut Wira, Karisa mungkin takut mengecewakan orang-orang yang sudah mendukungnya. Selain itu, Karisa juga seperti memendam rindu kepada orangtuanya, karena ternyata selama persiapan olimpiade Geografi, Karisa lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah daripada di rumah. Dia harus belajar dan berlatih mengerjakan soal-soal hingga pukul delapan malam. Dan besoknya, pukul enam pagi, dia harus sudah berangkat ke sekolah lagi. Menurut Wira, Karisa tidak keberatan melakukan hal tersebut karena dia sangat ingin mendapat beasiswa untuk kuliah. Semua orang sudah tahu jika Karisa bukan berasal dari keluarga kaya raya. Dan mendapat beasiswa kuliah adalah salah satu impiannya agar bisa meringankan beban sang ibu.
Julie merasa sudah cukup baginya mengorek informasi dari Wira di hari itu. Jangan sampai sang wakil kepala sekolah itu curiga pada Julie karena bertanya terlalu detail. Dia harus pintar-pintar menyusun strategi. Di lain waktu Julie akan mengorek informasi dari Wira lagi dengan cara yang lebih halus, tidak terlalu terang-terangan seperti tadi. Dia pun pamit pada Wira karena lima belas menit lagi dirinya harus mengajar di kelas 11 IPS 2. “Kalau begitu saya pamit dulu ya pak, sebentar lagi jam pelajaran saya mulai.” Ujarnya sembil berdiri kemudian berjalan meninggalkan ruangan wakil kepala sekolah. Julie merasa senang karena hari itu dia mendapatkan informasi yang cukup berguna untuk dibahas pada pertemuan nanti sore.
******
Di tempat lain, Ibunda Karisa sedang menatapi makan putri sulungnya. Tanpa diketahui oleh siapapun, beliau selalu datang ke makam Karisa setiap hari untuk berdoa serta “berbicara” dengan Karisa. Dia percaya bahwa di atas sana sang putri bisa mendengar segala ucapannya. Dan entah mengapa, beliau selalu merasa lebih baik setelah pulang dari makam Karisa. Rasanya ada yang kurang jika dia tidak “menjenguk” Karisa walau hanya sehari. Beberapa orang yang melihat Ibunda Karisa jalan sendirian ke Tempat Pemakaman Umum sempat berpikir bahwa beliau stress setelah ditinggal oleh Karisa. Namun Ibunda Karisa sadar betul bahwa dirinya masih waras. Dia hanya ingin melepas rindu dengan sang anak.
Diam-diam beliau juga mulai berpikir untuk melakukan sesuatu demi mendiang putrinya. Ibunda Karisa memiliki tabungan yang rencananya akan dia gunakan untuk masa depan Karisa dan adiknya, seperti dana pendidikan dan kesehatan. Sekarang dia sedang mempertimbangkan ingin menggunakan tabungan tersebut untuk menyewa seorang pengacara. Ya, Ibunda Karisa ingin kasus ini diselesaikan secara hukum. Beliau memang buta hukum, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan agar kasus Karisa bisa diselidiki kembali oleh pihak kepolisian. Oleh karena itu beliau butuh bantuan dari seorang pengacara. Bukan tanpa alasan mengapa dirinya berani bertindak sejauh itu. Dia merasa selalu memiliki feeling yang kuat sejak menjadi seorang ibu. Terlebih tentang segala hal yang berhubungan dengan anak-anaknya. Dan kali ini, beliau yakin betul bahwa Karisa tidak bunuh diri. Jika benar ada orang lain yang terlibat dalam kematian putrinya, maka dia harus memastikan bahwa orang itu mendapat ganjaran atas perbuatannya.
Langit seolah tahu sebesar apa tekad ibu tunggal itu untuk memperjuangkan keadilan bagi putrinya. Langit pun seperti memberi dukungan dengan mengeluarkan petir dan suara gemuruh. Hingga beberapa menit kemudian hujan turun membahasi bumi. Membasahi gundukan tanah yang merupakan rumah terakhir manusia. Serta membasahi tubuh wanita yang sedang terduduk di samping makam putrinya.
Hujan rupanya masih ingin bertegur sapa dengan penduduk bumi, hingga sore hari Kabupaten Bandung Barat masih dibasahi dengan guyuran air hujan. Hari ini sekolah selesai pukul setengah empat sore. Beberapa anak sudah pulang dengan modal nekat menerobos hujan dan sebagian lagi menggunakan paying mereka hingga ke tempat pemberhentian angkutan umum. Bodohnya Julie, hari itu dia tidak bawa jas hujan. Julie memilih untuk menunggu di sekolah hingga hujan berhenti, atau setidaknya sedikit lebih reda dari yang sekarang. Namun hingga pukul setengah lima sore hujan tak kunjung berhenti, yang ada justru semakin deras. Padahal sore itu dia punya janji dengan Baron dan Adrian. Karena tidak ingin kedua rekannya menunggu lama, Julie pun menghubungi Baron untuk berkata bahwa mereka berdua bisa mulai berdiskusi tanpa dirinya.
Baron menjawab panggilan telpone Julie dalam hitungan lima detik. “Jadi kau masih di sekolah sekarang?” Tanya Baron. Suaranya beradu dengan suara hujan. Pria itu memang sedang di halaman depan rumahnya. Julie mengiyakan pertanyaan Baron.
Baron diam sejenak, membuat Julie sedikit kebingungan, “Halo?” Ujar Julie untuk memastikan bahwa Baron masih ada di sana.
“Yaudah kalau begitu biar aku jemput saja.” Ucapnya, entah ada angin apa tiba-tiba Baron ingin menjemput Julie.
“Eh? Gak perlu, rumah kau kan cukup jauh dari SMA Cendikiawan III, lagi pula nanti jadinya malah bolak-balik.”
“Lalu, apa ada opsi lain?” Tanyanya dingin.
Julie tidak menjawab, saat ini memang tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu hujan reda. Julie tidak ingin menerobos hujan sebab terakhir kali dia melakukan itu, dia malah demam tinggi. Maklum, fisiknya tidak sekuat seperti saat dia remaja dulu.
Tanpa banyak basa-basi, Baron akhirnya bergegas menjemput Julie dengan mobil kesayangannya. Tiga puluh menit yang lalu Adrian menghubungi Baron dan berkata bahwa dia baru bisa datang ke rumah Baron pukul setengah 7 malam karena ada keperluan mendadak yang entah apa. Jadi Baron berpikir lebih baik jika dia datang menjemput Julie agar waktu tidak terbuang sia-sia. Setidaknya dia bisa berdiskusi dengan Julie sambil menunggu kedatangan Adrian. Begitu tiba di depan SMA Cendikiawan III, Baron segera menghubungi Julie, dan beberapa menit kemudian guru muda itu terlihat berlari keluar dari gerbang sekolah untuk meminimalisir tubuhnya menjadi basah kuyup. Dengan gerakan cepat Julie membuka pintu mobil Baron, “Sore…” Ucapnya sedikit canggung.
Baron hanya mengangguk. Merasa tak enak hati karena sudah merepotkan Baron, Julie berkata, “Kau seharusnya tidak perlu repot-repot untuk menjemputku begini, lho…” Ucapnya seraya mengibas-ngibas kecil rambut dan bajunya yang basah karena air hujan.
Namun bukannya menanggapi perkataan Julie, Baron justru mencondongkan tubuhnya ke arah Julie hingga membuat wanita itu terkejut, tapi kemudian sadar bahwa Baron sedang berusaha untuk mengambil tissue yang ada di jok belakang mobilnya. “Nih.” Ujarnya seraya menyodorkan tissue pada Julie.
Julie bengong, seperti sedang menyaksikan peristiwa langka terjadi di depan wajahnya. “Ini, bersihkan baju dan rambutmu. Aku tak ingin jok mobilku kotor karena air hujan.”
Baru saja Julie merasa tersanjung dengan sikap Baron, tapi ternyata Baron tetaplah Baron. Pria tegas yang tetap cuek dan sedikit dingin. Lagi pula kenapa juga Julie berpikiran akan hal lain? Fokusnya saat ini adalah menyelesaikan kasus kematian Karisa untuk menemukan fakta-fakta yang ada bersama dengan Baron dan Adrian. Julie mengambil tissue yang diberikan oleh Baron, “Makasih.” Ucapnya. Baron hanya mengangguk dan mulai mengendarai mobilnya menuju kediamannya. Selama perjalanan keduanya tidak banyak bicara. Baron fukos menyetir sementara Julie fokus memperhatikan Baron yang sedang fokus menyetir.