Pada pertemuan malam itu mereka akhirnya menemukan fakta baru yang dapat digunakan untuk mengumpulkan “kepingan puzzle”, dimana pada malam itu Karisa bertemu dengan seseorang di SMA Cendikiawan III. Tugas mereka saat ini adalah mencari tahu siapa orang itu. Juga ada hal lain yang harus mereka lakukan, mengunjungi toko bunga tempat dimana Karisa memesan ojek online, plat motor pengemudi ojek online, serta ponsel pribadi Karisa.
Berbekal apa yang dilihat saat melakukan proses kilas balik, mereka bertiga akhirnya mencari alamat lengkap dari toko bunga “Reverose Florist”. Namun sayang, pihak Google atau sang pemilik sepertinya belum mencatat lokasi dari toko bunga tersebut di Google. Adrian lalu mencoba untuk mendeskripsikan bentuk fisik dari toko bunga tersebut, serta bagaimana lingkungan di sekitarnya. Adrian berkata bahwa bangunan toko bunga itu berbentuk sebuah kios yang berjejeran dengan kios lainnya. Bagian plank-nya berwarna biru air laut, dan terdapat banyak penjual makanan di sepanjang jalan dekat toko bunga. Baron kemudian berpindah tempat menuju meja komputer. Dia menyalakan komputer pribadi, membuka situs pelacakan data yang hanya bisa diakses oleh pihak kepolisian. Baron akhirnya menemukan alamat lengkap toko bunga “Reverose Florist” yang ternyata baru dibuka sebulan lalu. “Letaknya ada di kawasan pertokoan, tepatnya di jalan Hayam Wuruk. Di sana terdapat banyak ruko-ruko, mulai dari penjual pakaian, makanan, aksesoris wanita, dan lainnya.
“Besok pagi aku akan datang ke toko bunga itu.” Ucap Baron.
“Maaf, aku tidak bisa menemanimu, aku harus mengajar.” Ujar Julie dengan perasaan menyesal.
“Tak apa. Kau bisa tetap menjalankan tugasmu di sekolah. Tolong cari lagi informasi sebanyak-banyaknya mengenai olimpiade Geografi yang Karisa ikuti.” Baron seperti sedang membagikan tugas untuk anggotanya. Naluri seorang detektif pemimpin sudah sangat melekat pada dirinya. Saat Julie dan Adrian dia izinkan untuk bergabung dengan tim mandirinya, itu berarti Baron sudah menganggap mereka sebagai “seorang professional”.
“Ada sesuatu yang harus aku lakukan juga besok. Aku ingin bertemu dengan salah satu reporter yang sempat meliput kasus kematian Karisa juga pada awal-awal kasus ini muncul. Barangkali ada informasi yang bisa dia berikan dan belum aku ketahui.”
Baron mengangguk setuju. Walau satu tim, tapi akan lebih baik jika mereka berpencar menjalankan tugas yang bisa dilakukan, itu akan membuat penyelidikan menjadi lebih efektif dan efisien. “Baiklah, kalau begitu kita bertemu lagi lusa. Tapi aku minta maaf jika tidak bisa memberikan energi, tenaga, serta waktuku secara seratus persen untuk kasus ini, karena bagaimanapun juga aku harus menyelesaikan kasus-kasus lainnya yang ada di kepolisian. Pimpinan dan rekan kerjaku tidak ada yang tahu jika aku melakukan penyelidikan mandiri ini, ini adalah misi yang aku kerjakan secara sembunyi-sembunyi.”
“Lantas bagaimana jika pimpinanmu tahu?” Tanya Julie khawatir sekaligus penasaran.
Baron mengendikkan bahu, “Entahlah, tapi yang aku yakini, aku sedang melakukan hal untuk menegakkan keadilan, dan tidak ada yang salah dengan itu.”
Julie dan Adrian bingung harus menanggapi apa, mereka yakin bahwa Baron pasti sudah tahu konsekuensi apa yang akan diterima. Keduanya lalu bersiap untuk pulang tepat saat waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Adrian mengenakan tas ranselnya yang selalu dia bawa kemanapun dan kapanpun, seraya bertanya, “Ngomong-ngomong, sepertinya aku tidak melihat motormu di halaman depan?” Tentu saja kalimat itu ditujukan untuk Julie.
“Uuum…ya, tadi Baron menjemputku karena hujan sangat deras. Jadi aku meninggalkan motorku di parkiran sekolah.” Jawabnya sambil melihat ke arah Baron yang sedang menonaktifkan komputernya. Baron pura-pura tak mendengar padahal dia memperhatikan perbincaran Julie dan Adrian.
“Oh, begitu. Yasudah kalau gitu sekarang kau pulang denganku saja.” Ujar Adrian.
“Eh…gak perlu, aku tidak ingin merepotkanmu.” Jawabnya cepat.
“Gak apa-apa, sama sekali tidak merepotkan kok. Lagi pula ini sudah malam. Kau mau pulang naik apa? Ojek online? Berbahaya.” Adrian benar-benar cerewet karena mengkhawatirkan Julie.
“Tapi memangnya kau bawa helm dua?”
Adrian sempat diam sejenak, ia lalu berjalan menghampiri Baron, “Boleh aku pinjam helm-mu? Kau tidak mungkin mengantar Julie pulang, kan?” Entah mengapa pertanyaan Adrian seperti pertanyaan pancingan untuk Baron.
“Ada di garasi, nanti akan ku ambilkan.” Jawabnya singkat. Adrian hanya mengangguk sambil tersenyum penuh makna.
Malam itu akhirnya Julie pulang bersama Adrian dengan menggunakan helm milik Baron. Jalanan masih basah bekas hujan seharian tadi, aroma setelah hujan pun masih bisa Julie rasakan. Ya, aroma tanah yang dibasahi oleh air hujan. Aroma yang belakangan menjadi aroma kesukaan banyak orang. Konon katanya, aroma itu bisa menenangkan pikiran atau sedikit menghilangkan perasaan stress.
Di perjalanan, Adrian mengajak Julie untuk makan wedang ronde dan sekoteng sebentar. Julie setuju, selain mie instan, wedang ronde dan sekoteng adalah makanan yang wajib dinikmati saat hujan atau cuaca dingin. Ada satu penjual wedang ronde langganan Adrian sejak beberapa tahun terakhir. Saat membutuhkan asupan kehangatan, dia selalu pergi ke sana. Keduanya duduk di meja panjang tanpa kursi, sehingga semua pengunjung duduk lesehan di lantai yang sudah dilapisi dengan karpet tipis.
Adrian memesan wedang ronde, sementara Julie memesan sekoteng. Tidak lama, hanya butuh waktu lima menit hingga pesanan mereka datang. Terlihat juga ada beberapa orang yang sedang makan di meja sebelah. Baron menyuap ronde sambil tersenyum pada Julie. “Kenapa?” Tanyanya heran, Julie kebingungan.
Sekarang Adrian justru tertawa kecil, “Jelas sekali bahwa ada hal yang ingin kau tanyakan padaku, bukan? Rupanya kau tidak terlalu pintar menyembunyikan sesuatu.”
Julie tersedak, bagaimana bisa Adrian membaca pikirannya? Padahal biasanya dia yang membaca pikiran orang lain. “Eh…um…apa terlalu jelas?”
Adrian mengangguk, lagi-lagi sambil tersenyum. Sepertinya dia tidak bisa tidak tersenyum saat sedang bersama Julie. “Silahkan tanyakan saja.”
Sebenarnya Adrian tahu apa yang akan Julie tanyakan. Wanita itu pasti akan bertanya mengapa ia tidak melakukan kilas balik dengan menggunakan barang-barang mendiang sang adik untuk mengetahui penyebab kematian Mia. Dan benar saja. Julie bertanya akan hal tersebut dengan begitu hati-hati.
Adrian meletakkan sendok di mangkoknya, dia melihat Julie, “Aku pernah bilang bahwa terkadang kemampuan ini terasa seperti kutukan, bukan? Entah mengapa, sekeras apapun aku berusaha untuk melakukan kilas balik kematian Mia, aku tidak pernah menemukan jawaban apapun. Sudah ratusan bahkan ratusan kali aku menyentuh barang-barang Mia dengan penuh konsentrasi, beberapa kali bahkan tubuhku harus jatuh sakit, ya, seolah energi yang ada di dalam tubuhku tidak mampu menyerap kilas balik terkait kematian Mia. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Itu terasa seperti kutukan. Di saat aku bisa membantu orang lain dengan kemampuan yang aku miliki, aku justru tidak bisa berbuat apa-apa untuk adikku. Ingin sekali rasanya aku berbicara pada Abah dan bertanya mengapa? Mengapa aku tidak bisa melakukan kilas balik untuk adikku sendiri? Tapi sejak kematian Mia, Abah sudah tidak pernah lagi datang ke mimpiku. Padahal biasanya, aku sering berkomunikasi dengan Abah melalui mimpi.”
“Apa itu hanya berlaku pada Mia? Maksudku, kau bisa melihat kilas balik semua kematian orang lain, tapi tidak dengan Mia?” Julie kembali memastikan.
Adrian menganguk, terlihat sekali bahwa dia seperti sedang menyalahkan dirinya sendiri. Julie meraih pundak Adrian yang duduk di sampingnya. Ia menepuk-nepuk pundak Adrian, lalu berkata, “Itu sama sekali bukan salahmu. Kau sudah melakukan yang terbaik, Adrian. Kau sudah berusaha keras untuk Mia.” Dan pada detik itu, Adrian langsung jatuh cinta pada Julie.