Setelah izin tidak masuk sekolah selama satu hari pasca kejadian teror yang menimpanya, Tia kini sudah kembali ke sekolah. Memang benar apa yang Julie duga, Tia adalah anak yang tobatnya tobat sambal. Bukannya insaf karena sudah mengalami hal yang tidak mengenakkan—yang mungkin diakibatkan dari perbuatannya juga—Tia justru kembali berulah dengan menyindir di depan kelas, tidak jelas ia sedang menyindir siapa, tapi dia berharapa pelaku akan ketakutan setelah mendengar perkataannya. Tia bersama dua dayang-dayangnya sudah berdiri di depan kelas tepatnya di samping meja guru. Mereka sudah siap untuk memulai “drama” tersebut. Di awali dengan teman sebangku Tia yang bertanya, "Ti, aku kangen banget deh gak ketemu kamu seharian kemarin." Ujarnya, terlihat sekali jika dialog itu sudah dia hafalkan. Lalu disambut dengan sayang yang satunya lagi,"Iya nih, gak ada kamu gak ramai tau, Ti." Padahal dia sendiri terkadang tidak dikasih kesempatan untuk bicara oleh Tia.
Kini giliran ratu drama masuk ke dalam skenario, sambil melintir-lintir rambut dengan jari telunjuknya, Tia berkata, "Aduh, maaf ya gaes, aku masih syok banget gara-gara kejadian teror waktu itu. Jadinya mami-ku izin ke kepala sekolah supaya aku gak masuk sekolah dulu." Ucapnya dengan suara keras. Sontak semua murid di dalam kelas dapat mendengar perbincangan mereka bertiga. Saat ini memang sedang jam pelajaran kosong. Sebenarnya tidak kosong-kosong amat. Guru kesenian mereka tidak datang ke sekolah karena harus menemani istrinya yang sedang hamil tua dan tiba-tiba mengalami pendarahan. Beliau memberikan tugas kepada para murid untuk membuat lukisan pasir. Beberapa orang terlihat antusias dan fokus melukis, beberapa lagi masih bingung ingin membuat apa, dan sisanya memilih untuk menjadikan itu sebagai pekerjaan rumah. Salah tiga contohnya adalah Tia beserta kedua temannya.
Suasana kelas sedikit ramai tapi tetap kondusif. Mereka senang karena bisa berkreasi tanpa pengawasan guru. Pertunjukkan drama Tia tidak berhenti samapia di situ. Teman sebangku Tia yang bernama Inka lalu bertugas untuk menanggapi ucapan Tia barusan, “Ya ampun, jadi mami kamu langsung izin ke kepala sekolah??? Oh iya, aku lupa, mami kamu kan salah satu donatur sekolah ini ya. Hemmm, berarti Pak Adiwiyata tahu tentang masalah teror itu dong???” Ujarnya heboh. Pancingan Tia berhasil, beberapa murid kini melihat ke arah mereka bertiga. Tampak penasaran dengan lanjutan dari cerita Tia.
Tia tersenyum senang, “Iya, Pak Adiwiyata tahu masalah itu. Dan…”
“Dan apa, Ti?” Tanya Vivi cepat.
“Dan Pak Adiwiyata memutuskan untuk memeriksa masalah ini secara serius. Beliau udah janji ke mamiku untuk menemukan orang yang naruh BANGKAI TIKUS di dalam tasku. Pokoknya, siapapun pelakunya, pasti akan ketangkep dan dapet hukuman. Tunggu aja sebentar lagi!” Tia sengaja membesarkan volume suara dan memberi penekanan pada kata “Bangkai Tikus”. Jika pelakunya merupakan anak kelas 12 IPS 1, dia harap dengan begitu maka pelaku akan merasa terintimidasi.
Inka menutup mulut dengan tangan kanannya, sok-sok-an memasang ekspresi wajah terkejut dan ketakutan, “Wow, serem banget dong ya. Berarti mau pelakunya sembunyi dimanapun juga pasti akan ketahuan, secara kepala sekolah udah ngeluarin perintah gitu kan?! Ihh, aku jadi gak sabar liat muka pelaku ketakutan dan ngemis-ngemis minta maaf sama kamu, Ti.” Ekpresi dan kalimat-kalimat Inka yang hiperbola benar-benar menarik perhatian murid-murid kelas. Mereka kini mulai berbisik-bisik, ikut penasaran tentang siapa pelaku teror tersebut dan halaman apa yang akan dia terima. Sedangkan Demi terlihat tidak memperdulikan apapun dan tetap fokus dengan lukisan pasirnya.
"Ya, aku gatau sih hukuman apa yang akan kepala sekolah berikan buat orang itu. Tapi yang pasti, mamiku gak mau kalau masalah ini diselesaikan secara baik-baik. Bahkan sekalipun pelakunya adalah teman sekelasku sendiri, aku kayaknya gak bisa maafin dia deh. Ya, dia harus tanggungjawab lah sama tindakannya sendiri." Saat mengucapkan teman sekelas, mata Tia melirik ke tempat duduk Demi, beberapa anak yang menyadari hal itu lantas ikut-ikutan melihat Demi.
Drama masih berlanjut, kali ini giliran si lemot Vivi yang mengucapkan dialognya, "Lho, emang pelakunya anak kelas kita, Ti? Kamu udah tahu siapa pelakunya??? Bisikin ke aku dong, Ti, bisikin. Aku penasaran banget nih!"
Tia tersenyum sinis, "Hemmm...aku sih sebenernya gak enak ya mau ngomong ini, tapi kayaknya ya kayaknya, dia tuh gak suka sama aku karena dulu aku sempat ada masalah sama almarhumah sahabatnya." Kali ini ucapan Tia sangat jelas mengarah ke siapa. Semua murid di kelas tidak lagi bisik-bisik tapi sudah menyebut nama Demi dengan volume suara normal.
Meski sejak tadi Demi berusaha untuk mengabaikan pertunjukkan drama yang digelar oleh Tia dan datang-datang nya, tapi kini dia tak tahan lagi. Demi mungkin masih bisa tahan emosi jika Tia hanya menyindir dirinya, tapi begitu Tia membawa-bawa almarhumah Karisa dalam kasus itu, Demi tidak bisa tinggal diam. Dia meletakkan penggaris di atas meja dengan kasar seraya meniup poni dengan ekspresi marah dan kesal. Dia lalu berdiri dari tempat duduknya, menyilangkan kedua tangan di depan d**a, dan berjalan ke depan kelas untuk menghampiri si pembuat onar, Tia. "Maksudnya apaan ngomong kayak gitu?" Tanya Demi tanpa basa-basi. Dia kini sudah berdiri di depan Tia, posisinya keduanya hanya berjarak beberapa centimeter.
Seluruh murid tambah heboh. Kebanyakan dari mereka senang karena bisa melihat "pertunjukkan" gratis. Ya, keributan adalah pertunjukkan yang paling seru untuk ditonton. Salah seorang murid yang bercita-cita jadi Youtuber nomor satu di Indonesia bahkan sudah mengeluarkan ponselnya dan siap merekam kejadian itu. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk diunggah ke media sosial, dengan begitu dia akan tenar dan murid-murid SMA Cendikiawan III akan mengikuti akun Instagramnya. Tia tidak lagi takut seperti saat mereka berada di depan tempat praktik Psikolog, Tia merasa aman karena berada di sekolah dan banyak teman-teman yang menyaksikan kalau-kalau Demi bertindak macam-macam.
Tia mengibaskan rambutnya ke belakang, "Lho, memangnya aku ngomong apa?" Tanyanya sok polos. "Apa aku menyebut namamu? Atau kau merasa tersindir karena memang kau pelakunya?" Lanjutnya. Tia sengaja memancing emosi Demi, dia ingin menunjukkan kepada teman-teman sekelas mengenai sisi lain Demi. Selama ini Demi selalu berhasil menahan emosi ketika diganggu olehnya. Dan Tia tidak suka itu, dia akan lebih puas jika korbannya bereaksi. Bukan mengacuhkannya seperti yang selalu dilakukan oleh Karisa dan Demi.
Namun Demi cukup berhasil mengendalikan emosinya, dia hanya berkata seperlunya, tidak ingin membuat Tia merasa puas, “Jangan bawa-bawa almarhumah Karisa ya, kalau punya masalah denganku selesaikan saja denganku. Lagi pula apa kau punya bukti jika aku yang menaruh bangkai tikus ke dalam tasmu?” Demi menatap dengan tatapan sinis seraya menggeleng, “Maaf, aku tidak punya waktu untuk itu.” Lalu tersenyum sinis.
Sang ketua kelas takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ia pun berlari ke ruang guru untuk melaporkan kejadian tersebut ke wali kelas mereka, Julie. Julie yang kala itu sedang mengoreksi tugas murid-murid segera berjalan cepat menuju ruang kelas. Dalam hati dia mengeluh mengapa masalah di kelasnya tak kunjung selesai. Begitu Julie masuk kelas, seluruh murid sudah mengerubungi Tia dan Demi. Julie pun membelah kerumunan ini, “Cukup! Ada apa ini?” Tanyanya tegas. Tia dan Demi tak berkutik. Mereka tidak tahu jika sang ketua kelas melaporkan kejadian itu kepada Julie.
Julie lalu meminta para murid untuk Kembali ke tempat duduk masing-masing, sementara dia membawa Tia, Demi, dan sang ketua kelas menuju ruang bimbingan konseling, di sana adalah tempat terbaik untuk menyelesaikan masalah. Setelah diceritakan mengenai kronologis kejadiannya oleh si ketua kelas, kini giliran Julie menyidang Tia dan Demi. “Tia, jika itu berhubungan dengan terror yang kau alami, maka kau salah jika menuding Demi sebagai pelakunya.” Ucap Julie.
“Tapi saya sama sekali tidak menyebut nama Demi, Bu.” Ujarnya membela diri.
Julie menatap mata Tia lekat-lekat, “Tapi yang kau maksud adalah Demi, bukan?”
Tia tidak menjawab, dia merasa terintimidasi dengan tatapan Julie, dan menunduk. “Pelakunya bukan Demi, Tia. Dia sama sekali tidak terlibat dalam kasus ini.”
Tia Kembali mengangkat wajahnya, “Jadi maksudnya, Ibu sudah tahu siapa pelaku yang menaruh bangkai tikus di tas saya?”
Julie hendak menjawab, tapi kemudian dia melihat ke arah Demi. Dia tidak bisa mengatakan itu di depan Demi. Julie pun memutuskan untuk menyelesaikan perkara perkelahian mereka terlebih dahulu. “Dan kau, Demi…” dia beralih pada Demi, “Kau bisa langsung melapor ke Ibu jika sikap Tia sudah keterlaluan. Oke?”
Baik Tia dan Demi sama-sama kaget karena Julie hanya berkata seperti itu, dia sama sekali tidak memarahi Demi karena Julie sudah tahu siapa sumber masalahnya. Demi mengangguk, “Baik, Bu.” Jawabnya.
“Yasudah, sekarang kamu bisa Kembali ke kelas.” Demi pun berjalan meninggalkan ruang bimbingan konseling.
Kini hanya ada Julie, Tia, dan satu guru Bimbingan Konseling yang sedang sibuk membaca data murid. Tia tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, dia mendesak Julie untuk memberitahu siapa pelaku terror itu. “Jadi siapa orang yang melakukan itu, Bu?”
“Ibu sudah tahu siapa pelakunya. Tapi Ibu ingin kau sedikit intropeksi diri. Apakah selain dengan Demi dan adik kelas itu, kamu tidak sedang bertengkar dengan orang lain? Maksud ibu, dalam waktu dekat ini.”
Ekspresi wajah Tia langsung berubah. Sepertinya dia tahu siapa yang Julie maksud. Ada satu orang yang besar kemungkinan bisa melakukan hal itu padanya. Orang yang harga dirinya sudah diinjak-injak oleh Tia. Seseorang yang mungkin dapat mencelakai Tia, lebih dari sekedar menaruh bangkai tikus di dalam tasnya. Badan Tia mulai gemetar, ia gugup dan takut jika orang yang ada di pikiranny adalah orang yang sama dengan yang Julie maksud. Dengan ragu Tia berkata, “Apa mungkin….apa mungkin pelakunya adalah….”
Julie menatap mata Tia, dia lalu mengangguk, “Ya, dia pelakunya.”