DUA PULUH SEMBILAN

2467 Words
Di hari itu, setelah bertemu dengan Desiree, Baron dan Taka bergegas menuju steam mobil tempat Mayang bekerja. Masih ada dua target yang belum mereka selidiki, yaitu bos pemilik steam mobil serta rekan kerja Mayang dan Imam. Sebelumnya, Desiree sengaja membawa wewangian itu dan memberikannya kepada Baron untuk dijadikan sebagai referensi, “Aku yakin betul aromanya seperti ini. Aroma kemenyan yang sangat menyengat, persis yang biasa digunakan untuk sesajen.” Ujar Desiree. Baron lalu membawa dan menyimpannya dalam kotak berukuran kecil. Baron berniat untuk langsung menginterogasi keduanya. Namun sayang, begitu mereka tiba di sana si bos pemilik steam mobil sedang tidak ada di tempat. Dia memang tidak setiap hari datang ke steam, dalam satu minggu hanya 3-4 kali datang untuk mengawasi para pegawainya. Sisa waktunya dia gunakan untuk bersenang-senang di atas harta istrinya. Untungnya rekan kerja yang Taka ceritakan ada di lokasi, dia sedang memeriksa mesin steam yang rusak entah karena apa. Steam mobil tempat Mayang bekerja cukup besar. Totalnya kurang lebih ada dua puluh pegawai yang bekerja di sana, sudah termasuk kepala steam, kasir, bagian keuangan, bagian teknisi mesin, purchasing, serta pegawai-pegawai yang tugas utamanya adalah mencuci mobil. Jika jabatan kepala steam atau kepala toko dipegang oleh Imam, maka rekan kerja yang diceritakan oleh Taka ditempatkan di bagian purchasing, yang mana tugas utamanya adalah memastikan kebutuhan operasional steam terpenuhi dengan membeli berbagai keperluan. Jika sabun yang ada di steam habis, maka dia lah yang bertugas untuk membelinya sesuai dengan jumlah stok yang sudah diperhitungkan. Itu hanya contoh kecilnya saja, ada banyak hal yang harus dilakukan oleh bagian purchasing. Hanya saja memang, jabatannya berada di bawah kepala steam/ kepala toko. Jadi, masuk akal bila terjadi persaingan antara Imam dan rekan kerjanya itu. Apalagi usia rekan kerjanya itu jauh lebih tua dari Imam. Dia pasti merasa jika dirinya lah yang lebih pantas mengisi jabatan kepala steam. Sikut-sikutan dalam dunia kerja sudah menjadi rahasia umum, bukan? Sebelumnya Baron dan Taka sudah melihat foto semua target mereka, jadi mereka langsung mengenalnya ketika melihat pria itu. Keduanya pun berjalan dengan langkah cepat, “Selamat siang, apa benar anda adalah saudara Ipul?” Tanya Baron. Pria yang jauh lebih tua dari Imam itu mengibas-ngibaskan tangannya yang kotor karena habis memegang oli. Dia terpaksa harus memeriksa mesin yang rusak karena bagian teknisi tidak bisa datang hari ini. Pria itu mengangguk pelan, “Ya, saya Ipul. Anda siapa, ya? Ada keperluan apa?” Kali ini Baron lupa membawa identitas kepolisiannya, jadilah dia meminta Taka untuk memperkenalkan diri. Taka mengacungkan ID Card yang terpasang di lehernya, “Perkenalkan, saya Taka, penyidik dari Polres Bandung Barat. Dan ini atasan saya, Baron.” Ujarnya memperkenalkan diri sendiri serta seniornya. Ipul yang tadinya terlihat sedikit galak kini mulai merenggang, “Maaf, ada apa ya, Pak?” Tanyanya sekali lagi. Baron membiarkan Taka untuk “menangani” target yang satu ini. Dia akan turun tangan jika diperlukan. Dia ingin melihat perkembangan kemampuan interogasi juniornya itu. Taka lalu mengajak Ipul untuk berbicara di tempat yang tenang dan aman. Sementara itu, dari kejauhan Imam sedikit terkejut melihat dua orang polisi ada di tempat kerjanya. Imam datang menghampiri saat ketiganya sedang berbicara. “Selamat siang, Pak Baron dan Pak Taka?” Ujarnya. Ia ingin memastikan jika dirinya tidak salah orang. “Selamat siang.” Jawab Baron. Sementara Taka hanya tersenyum dan mengangguk. “Maaf, kalau boleh tahu, apa ada sesuatu yang bisa saya bantu?” Hari itu Imam mengenakan celana hitam bahan serta kemeja polos berwarna biru air laut. Ia tampak sangat rapi, sesuai dengan posisinya di tempat kerja. Mungkin itu alasan mengapa pada awalnya kedua orangtua Imam tidak setuju jika putra mereka menikah dengan wanita yang hanya berprofesi sebagai seorang kasir. Mayang benar-benar melewati hidup yang tidak mudah. “Pak Imam, bisa siapkan kami sebuah ruangan? Kami harus menginterogasi saudara Ipul terkait dengan kematian mendiang Mayang.” Ucap Baron tanpa ragu. Taka menelan ludah, bagaimana tidak, secara tidak langsung Baron memberitahu Imam jika rekan kerjanya itu mungkin saja berhubungan dengan kasus kematian calon istrinya. Ekspresi wajah Imam berubah. Ia kemudian melihat rekan kerjanya dengan tatapan terkejut sekaligus kecewa. Meski belum pasti, tapi ia menyayangkan mengapa Ipul masuk dalam daftar target pihak kepolisian. Hal yang sama seperti yang dia rasakan kala tahu bahwa ayahnya didatangi oleh Baron. Ya, adik Imam akhirnya bercerita mengenai kedatangan Baron. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Imam tanyakan pada Baron dan Taka. Tapi dia tahu jika kedua penyidik itu tak memiliki banyak waktu, dia akhirnya segera mengantar mereka bertiga menuju ruangan kerjanya. Sebagai seorang kepala steam/ kepala toko, Imam mendapat fasilitas berupa ruang kerja sendiri. Tidak besar memang, tapi cukup nyaman. Imam mempersilakan Baron, Taka, dan Ipul untuk duduk, ia lalu menyediakan minuman sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan. Ia tahu jika dirinya tidak bisa bergabung dalam sesi interogasi tersebut meski dia begitu penasaran. Baron sengaja mengambil posisi duduk di samping Ipul sementara Taka di depan Ipul, mereka berdua saling berhadapan. Alasan mengapa Baron duduk di samping Ipul adalah karena dia ingin sedekat mungkin dengan Ipul agar dapat mencium aroma tubuh atau bajunya. Meski tak yakin, namun Baron tetap mencoba berbagai kemungkinan. Taka kemudian mengajukan berbagai pertanyaan, mulai dari hubungan Ipul dengan Mayang, hingga hubungannya dengan Imam. Selain itu, pertanyaan yang tidak terlewat adalah apakah pada malam kejadian, begitu jam kerja usai, Ipul langsung pulang ke rumah atau pergi ke satu tempat dulu. Dengan lantang dan yakin Ipul menjawab bahwa dia langsung pulang ke rumah. Dia lalu membuktikan dengan struk belanjaan minimarket di dekat rumahnya. Perjalanan dari tempat kerja ke rumahnya membutuhkan waktu tiga puluh menit. Dia pulang dari steam mobil pukul 08.30 WIB dan pada pukul 08.53 dia berhenti di minimarket untuk membeli beberapa keperluan dapur seperti minyak goreng dan gula pasir. Tidak ada yang mencurigakan dari jawaban-jawaban Ipul, semuanya terkonfrimasi dengan baik. Tinggal satu hal yang harus mereka pastikan, Baron pun mulai turun tangan, “Saudara Ipul, demi kelancaran proses penyidikan, kami akan menggeledah isi tas dan loker Anda.” Ujar Baron. Dia pun bersikap kooperatif dengan langsung menyerahkan tas dan kunci lokernya. Setiap pegawai memang mendapatkan loker pribadi untuk menyimpan barang-barang mereka. Baron lalu menggeledah isi tas Ipul seraya mencium aromanya. Tidak tercium aroma seperti yang Desiree maksud, yang ada hanya bau rokok yang menyengat. Setelah itu, mereka juga memeriksa isi loker Ipul. Tidak ada barang-barang yang mencurigakan, hanya ada baju ganti, satu bungkus rokok, air mineral, serta beberapa faktur p********n bekas pembelian barang-barang untuk di steam mobil. Saat Baron memeriksa faktur p********n tersebut, Ipul sedikit gelisah. Aneh, kenapa tidak disimpan di meja kerja atau langsung diberikan ke bagian keuangan? Tapi sudahlah, jika memang Ipul melakukan korupsi dari uang belanja perusahaan, tentu itu bukan urusan Baron. Hanya saja Baron jadi paham mengapa karier Imam lebih cepat berkembang daripada Ipul, pasti karena kejujuran dan kinerja yang baik. Di zaman sekarang, ada banyak orang yang cerdas dan berkompeten, tapi sedikit dari mereka yang tetap mengutamakan kejujuran. Baron melirik kepada juniornya, memberi sinyal bahwa penyidikan sudah bisa diakhir. Mereka lalu berpamitan pada Ipul, mengucapkan terima kasih serta meminta maaf karena sudah mengganggu waktu kerjanya. Saat itulah Ipul berkata, “Saya mungkin memiliki masalah dengan Imam, calon suaminya Mayang, tapi saya tidak akan menyakiti Mayang karena dia adalah wanita yang baik.” Baron hanya mengangguk paham, sedangkan Taka menepuk pundak Ipul sebagai isyarat bahwa dia menangkap maksud ucapannya. Dalam perjalanan menuju mobil, Imam berlari kecil menyusul Baron dan Taka. Ada satu hal yang sungguh ingin ditanyakan dan tidak bisa dia tahan, yaitu alasan mengapa penyidik menjadikan ayahnya dan Ipul sebagai target yang berhubungan dengan kasus kematian Mayang. “Pelaku diperkirakan berusia di atas tiga puluh tahun, seorang pria yang sudah cukup berumur. Kami menemukan rekaman yang memperlihatkan pelaku masuk ke rumah Mayang. Kami kemudian mendapat beberapa daftar pria dengan ciri-ciri tersebut yang berhubungan dengan Mayang. Apa Mayang pernah cerita jika dia memiliki masalah dengan seorang pria? Atau kau pernah melihat Mayang berkomunikasi dengan pria yang cukup berumur?” Tanya Baron. Imam menggeleng pelan. Ia meratapi diri yang tidak tahu apa-apa tentang calon istrinya sendiri. Ia bahkan tidak tahu siapa saja orang yang berhubungan dengan Mayang. “Mayang tidak pernah menceritakan masalahnya pada saya, dia tidak ingin membuat orang lain cemas dan khawatir akan dirinya. Dan karena menjaga privacy satu sama lain, kita juga tidak pernah saling memeriksa ponsel satu sama lain. Hanya saja memang, dalam beberapa bulan terakhir Mayang lebih sering melamun. Saya kira itu karena dia banyak pikiran sebab orangtua saya sempat tidak merestui hubungan kami, tapi di sisi lain waktu terus berjalan dan hari H pernikahan semakin dekat. Jadi ya, saya kira perubahan sikap Mayang berhubungan dengan itu. Tapi sepertinya saya salah. Dia mungkin sedang menyembunyikan masalah dari saya. Masalah besar hingga dia tidak ingin orang lain tahu.” Baron memanfaatkan waktu untuk mendapat informasi sebanyak-banyaknya, mumpung mereka lagi bertemu, tidak ada salahnya menanyakan beberapa hal. “Apa kau tahu tentang kasus antara atasanmu dengan Mayang? Maksudku, pemilik steam mobil ini pernah mencoba untuk menggoda Mayang, bukan?” “Ya, tentu saja aku tahu. Kejadian itu sudah hampir satu tahun yang lalu. Sejak ketahuan oleh istrinya, lelaki hidung belang itu jadi lebih sering mencari-cari kesalahan Mayang agar bisa memarahinya. Si b******n itu bahkan mengajak Mayang berpacaran padahal dia tahu Mayang adalah pacarku. Yang lebih membuatku muak adalah aku tidak bisa berbuat banyak karena masih membutuhkan pekerjaan ini. Itulah mengapa setelah menikah, aku setuju jika Mayang berhenti bekerja di sini. Aku tidak ingin melihat Mayang terus diganggu olehnya. Dan saat aku sudah mendapat ilmu, pengalaman, dan tabungan yang cukup, aku juga berencana untuk mencari pekerjaan lain. Pria itu benar-benar tidak tahu diri. Dia terus menikmati harta istrinya sambil merayu wanita-wanita muda.” Terlihat jelas sekali jika Imam menceritakan bosnya dengan penuh emosional. Dia sepertinya sudah tidak tahan bekerja di sana, hanya saja keadaan yang memaksanya. Di saat-saat seperti ini tidak mudah untuk mendapat pekerjaan baru. Dia harus mempertahankan posisinya selama beberapa tahun dulu agar memiliki “bekal” yang layak untuk mencari pekerjaan selanjutnya. “Bisa kau beritahu kami di mana alamat bosmu?” Imam mengangguk, dia lalu menuliskan alamat lengkap bosnya di buku kecil milik Baron. “Tapi dia jarang ada di rumah. Dia lebih sering pergi ke tempat-tempat hiburan yang ada di kota seperti karaoke, hotel, bahkan club malam.” Ujarnya seraya menyerahkan kembali buku kecil itu kepada Baron. “Aku sangat berharap kasus Mayang bisa cepat selesai. Orang yang telah mencelakai Mayang harus mendapat balasan yang sesuai dengan tindakannya.” Itu adalah permohonan dari Imam kepada dua penyidik yang ada di depannya. Jika seorang dokter seringkali merasa terbebani dengan keluarga pasien yang menaruh harapan besar agar keluarganya bisa selamat meski dalam kondisi kritis, pun dengan seorang penyidik atau detektif. Keluarga korban selalu menaruh harapan yang besar kepada penyidik agar pelaku yang telah mencelakai orang terkasihnya bisa ditangkap dan mendapat hukuman yang setimpal. Tentu itu bukan hal yang salah, dan memang seperti itulah seharusnya. Namun ada banyak hal yang tidak bisa Baron jelaskan kepada keluarga korban, bahwa ada pihak-pihak yang bisa membuat hukum yang runcing menjadi tumpul. Ya, itu adalah salah satu ironi dari negeri ini. ****** Setelah mendapat petunjuk dari April, Julie bergegas menemui guru Biologi dan bertanya mengenai tikus kecil berwarna putih yang sering digunakan oleh murid-murid jurusan IPA untuk praktikum. Dia menunjukkan foto tikus tersebut, sang guru Biologi pun membenarkan. Ia berkata bahwa siswa-siswi kelas 12 jurusan IPA menggunakan jenis tikus seperti itu dalam praktek Biologi. Salah satu materi yang ada di dalam mata pelajaran Biologi adalah Anatomi Hewan. Dimana para murid harus membedah Rattus norvegicus atau tikus putih. Beliau juga berkata jika di dalam Lab. Biologi tersimpan beberapa stok tikus putih karena memang saat ini mereka sudah memasuki pembahasan materi Anatomi Hewan. Pernyataan tersebut membuat Julie semakin yakin jika pelaku yang meneror Tia adalah salah satu murid di SMA Cendikiawan III. Namun, informasi itu saja tidak cukup untuk mengetahui siapa pelakunya. Julie harus mengumpulkan informasi lainnya. Tapi setidaknya Julie tahu harus pergi ke mana setelah ini. Usai mengucapkan terima kasih, Julie bergegas menuju Lab. Biolog. Saat itulah dia bertemu dengan sang kepala sekolah, Adiwiyata. “Bu Julie, bisa kita bicara sebentar?” Ucapnya. Sepertinya masalah terror yang dialami oleh Tia sudah sampai di telinga Adiwiyata. Kali ini mereka tidak berbicara di ruangan Adiwiyata melainkan di koridor sekolah. Tidak ada orang di sana karena seluruh murid dan para guru sedang menjalani kegiatan belajar mengajar. “Saya sudah mendengar tentang bangkai tikus yang ada di dalam tas salah satu siswi kita. Bagaimana perkembangan kasusnya?” Tanyanya to the point. “Saat ini saya masih mengumpulkan berbagai informasi untuk mencaritahu siapa pelakunya. Saya rasa kasus ini perlu ditangani lebih serius. Jika benar hal ini dilakukan oleh salah satu murid SMA Cendikiawan III, maka kita harus membimbing dan memberikan punishment agar dia sadar jika segala hal yang dia lakukan memiliki konsenkuensi. Ini jelas bukan tindakan jahil ala anak-anak remaja, ini adalah terror yang menyeramkan dan membahayakan.” “Sepertinya anda sangat menyukai kegiatan seperti ini, bukan?” Ucap Adiwiyata. Julie tidak mengerti dengan maksud perkataan pimpinannya itu. “Maksud saya, Anda begitu memperhatikan siswa-siswi Anda dengan baik. Baiklah, saya setuju. Masalah ini harus diselesaikan hingga tuntas, sebab orangtua Tia adalah salah satu donator untuk sekolah ini, kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Tolong selesaikan masalah ini dengan tenang, jangan sampai masalah ini terdengar hingga keluar sekolah. SMA Cendikiawan III sudah cukup mendapatkan perhatian publik dalam hal negatif karena kasus kematian Karisa, jangan sampai masalah ini malah memperkeruh keadaan.” Adiwiyata memegang pundak Julie seraya melanjutkan perkataannya, “Saya serahkan semuanya pada Anda.” Setelah itu, dia lalu pergi meninggalkan Julie di koridor sekolah. Julie mendesah kesal, lagi-lagi yang dibahas adalah nama baik dan citra sekolah. Seolah itu adalah hal yang paling penting, melebihi keselamatan murid-murid. Julie sadar, sebagai sekolah swasta, SMA Cendikiawan III harus mempertahankan citra baiknya di mata publik, dengan begitu mereka akan mendapat banyak donator serta kuota pendaftaran murid setiap tahunnya akan terus terpenuhi. Tapi bukankah kondisi murid-murid yang ada di dalamnya tetaplah nomor satu? Keadaan itu jadi membangkitkan ingatan Julie tentang sahabatnya, Riani. Pada saat hari dimana Riani ditemukan gantung diri di sekolah, tidak ada pemeriksaan apapun. Pihak kepolisian dan pihak sekolah langsung menetapkan kasus Riani sebagai kasus bunuh diri. Tidak ada olah TKP, tidak ada penyelidikan, tidak ada interogasi, apalagi penyidikan. Semuanya berlalu begitu saja. Tidak ada yang memperhatikan Riani karena dia hanyalah anak yang tinggal di rumah sosial. Tidak seperti Karisa yang masih memiliki Ibu yang terus berjuang untuk keadilannya. Riani hanya punya Julie. Dan saat itu, Julie belum memiliki kekuatan untuk melakukan apapun. Kematian Riani sangat membuatnya terpukul. Begitupun dengan Nek Lastri yang sudah tidak berdaya untuk mengurusi banyak hal karena masalah kesehatan. Bertahun-tahun Julie mempersiapkan diri agar dia bisa menyelidiki ulang kasus sahabatnya itu. Dan ini adalah saatnya, alasan mengapa dia kembali ke SMA Cendikiawan III. Julie harap, dia tidak hanya bisa menemukan jawaban atas kematian Riani, tapi juga bisa menyelesaikan kasus Karisa dengan baik. Namun, apakah Julie bisa melakukannya?    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD