TIGA PULUH SATU

2679 Words
Baron dan Taka berjalan menuju mobil pribadi Baron setelah urusan mereka di steam mobil selesai. Taka menawarkan diri untuk menyetir, tapi Baron menolaknya. Dia tidak ingin masuk rumah sakit karena Taka menyetir dalam keadaan ngantuk. “Kau tidur saja. Biar aku yang menyetir.” Ucap Baron. Karena waktu sudah menunjukkan pukul dua siang dan mereka belum makan siang, Baron akhirnya mengajak Taka untuk makan di salah satu kedai yang menyediakan masakan rumahan. Sesekali Baron rindu masakan seperti itu, bukan makanan cepat saji yang biasa dia santap. Taka setuju, hari ini dia memutuskan untuk tidak kembali ke kantor, dia ingin istirahat sebelum besok kembali menangani kasus yang tidak ada habisnya. Cuaca hari itu sangat teduh, cenderung mendung. Jika dugaan Baron tidak melesat, beberapa saat lagi pasti akan turun hujan. Dia menikmati berkendara dalam keadaan tenang, mumpung juniornya yang cerewet itu lagi terlelap tidur. Begitu tiba di kedai makan, Baron membangunkan Taka, “Kau mau ikut makan atau aku tinggal di mobil?” Tanyanya tanpa basa-basi, lalu turun dari mobil. Taka yang sudah biasa dengan sikap Baron tidak berkomentar apapun, dia segera turun mengikuti seniornya. Baron memesan seporsi nasi, sayur sop daging, bakwan jagung, kentang balado, dan tidak lupa sambal goang. Sementara Taka memesan seporsi nasi, sayur asem, ikan asin, perkedel kentang, serta tempe goreng, Taka tidak suka pedas, jadi dia tak mengambil sambal apapun. Mereka menyantap makanan dengan lahap tanpa bersuara. Ya, kebiasaan seperti itu sudah biasa mereka lakukan sejak dalam masa pendidikan. Makan harus cepat dan bersih, tidak boleh ada makanan yang tersisa. Hal itu membuat mereka jadi terbiasa dengan porsi makan yang banyak. Selesai makan, keduanya baru meneguk segelas air putih. Setelahnya, Taka tiba-tiba saja senyum-senyum sendiri sambil melihat Baron. "Tenang saja, aku yang bayar makanan hari ini." Ucap Baron, dia tampaknya cukup peka dengan sikap Taka. Tapi Taka buru-buru menggeleng sambil mengelap mulutnya dengan tissue, "Tidak, bukan itu maksudku." Baron menaikkan satu alis, bertanya tanpa bicara. Taka lalu menjawab, "Aku hanya merasa senang karena hari ini kita akhirnya bertugas berdua lagi setelah sekian lama. Bisa melakukan penyelidikan dan makan siang denganmu adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku. Kau tahu kan, Bang? Kau adalah panutanku di dunia kepolisian. Jika tidak ada kau, aku mungkin sudah menyerah entah sejak kapan. Aku selalu ingin menjadi seperti dirimu, yang selalu siap pasang badan untuk menegakkan keadilan, walau sekarang aku belum seberani itu. Nyatanya, ada banyak oknum-oknum seprofesi dengan kita yang justru menentang penegakkan keadilan. Selama kau tidak ada di kantor, aku seperti kehilangan panutan. Aku tidak tahu harus mendengarkan perintah siapa. Para pimpinan memberikan arahan yang bersebrangan dan tak pasti. Aku rindu bekerja denganmu lagi di kantor." Entah mengapa Tala menjadi melow hari itu. Semenjak Baron melakukan penyidikan mandiri untuk kasus Karisa, mereka memang jadi jarang bertemu. Baron tersenyum kecil mendengar ucapan Taka. Dia melihat juniornya yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri, "Kau harus mengerti kalau kehidupan tidak selalu berjalan sesuai dengan yang kita inginkan. Meski kita tidak selalu bekerja bersama, tapi aku akan selalu mendukungmu. Tidak usah pusingkan orang-orang yang tidak melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik. Cukup lakukan hal yang benar menurut nuranimu. Saat ini aku sedang membantu seseorang untuk mendapatkan haknya. Jika waktunya sudah tepat, aku pasti akan memberitahumu. Dan hei, mengapa kau jadi semelow ini? Kau sedang bertengkar dengan kekasimu?” Ujar Baron. Mendengar itu lantas Taka tertawa, “Kekasih yang mana, Bang? Aku sudah putus. Tidak bisalah aku bertahan lama-lama dengan wanita yang tidak paham akan profesiku. Masa dia ingin aku selalu membalas pesannya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit? Apa dia pikir aku ini staff layanan pelanggan? Tak habis pikir aku sama dia.” Begitulah Taka, dia langsung bercerita panjang lebar tentang percintaannya, padahal hanya dipancing sedikit. Alhasil Baron hanya tertawa-tertawa saja mendengar cerita Taka. Anak itu kembali bicara, kali ini dengan topik yang berbeda. “Oh iya Bang, kemarin masuk laporan kasus pembunuhan baru di daerah Imam Bonjol. Korbannya adalah seorang ibu berusia enam puluh tahun. Dan kau tahu siapa pelakunya? Pelakunya adalah anaknya sendiri. Dia kesal karena sang ibu enggan memberinya warisan. Si anak yang sudah kesetanan akhirnya mengambil golok dari pemilik kelapa muda yang berjualan di depan rumahnya, lalu dia membacok ibunya. Sungguh gila, bukan? Hanya karen warisan. Lagi pula, ibunya masih hidup, mengapa juga dia membahas-bahas warisan?” Taka bercerita dengan penuh emosi. Itu adalah kali pertamanya dia menerima laporan secara langsung tentang anak yang membunuh orangtuanya. Sementara Baron yang sudah bertahun-tahun menjadi penyidik khusus bagian kriminalitas sudah tidak asing lagi dengan kasus-kasus semacam itu. Baron menepuk pundak juniornya, “Di zaman yang sudah gila ini, uang adalah masalah yang paling serius. Semua orang bisa gelap mata hanya karena uang. Uang tidak hanya dapat menyebabkan kekerasan fisik saja, tapi juga sebagai “media” dari beragam kasus, penyuapan misalnya. Ke depannya, kau akan menerima lebih banyak kasus-kasus yang membuat kau geleng-geleng kepala, tidak menyangka jika makhluk bernama manusia, bisa melakukan tindakan seperti itu. Jadi siapa yang menangani kasus pembunuhan itu?” Taka menuang air putih dari dalam teko ke gelasnya, kedai makan itu menyediakan air putih sepuasnya untuk para pelanggan. “Ketua tim 02 tentu saja langsung mengajukan diri untuk menangani kasus itu, dan Pak Bambang setuju. Kau tahu sendiri, tim itu hanya mau menangani kasus-kasus yang sudah jelas saja. Mereka tidak pernah mau berhadapan dengan kasus yang belum jelas siapa tersangkanya, kelihatan sekali kalau tidak mau bekerja ekstra.” Taka benar. Saat ini Baron merupakan ketua atau pemimpin dari tim 01. Tim Baron selalu menangani kasus-kasus yang butuh penyelidikan ekstra karena tidak diketahui siapa pelakunya. Tim 01 harus selalu memecahkan teka-teki agar kasus tersebut bisa terselesaikan dengan baik. Tapi Baron tidak keberatan dengan itu. Dia selalu suka hal-hal baru yang menantang, tidak suka dengan pekerjaan yang itu-itu saja, cenderung membosankan. Sementara tim 02, lebih memilih untuk menangani pekerjaan-pekerjaan yang lebih ringan dan tidak ribet. Ketua tim mereka tidak suka bekerja keras di lapangan. Ambisinya adalah menduduki jabatan kepala polres yang memiliki sejuta wewenang. Hampir semua anggota sudah tahu jika dia pintar mengambil hati Bambang. Dia cenderung menuruti semua perintah Bambang meskipun perintah tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada, sangat berbanding terbalik sekali dengan Baro. Tapi sejauh ini Baron tidak peduli. Selagi dia tidak mengganggu Baron dan merecok kasus-kasus yang sedang Baron tangani, maka Baron hanya akan tetap fokus bekerja. Lagi pula Baron sama sekali tidak tertarik dengan jabatan Kepala Polres. Menurutnya jabatan itu hanya bisa membuatnya kehilangan integritas sebagai seorang Polisi. “Yasudah, biarkan saja. Biarkan tim itu bekerja dengan caranya, dan tim kita bekerja dengan cara kita. Dalam hidup, kita harus pintar-pintar mengatur diri, siapa saja orang-orang yang harus kita abaikan, dan kapan kita harus menutup mata serta telinga.” Seperti biasa, Baron selalu memberi nasihat pada Taka jika juniornya itu mengeluh tentang kinerja tim 02. Taka berdecak kagum, dia memasang ekpresi wajah yang membuat Baron geli melihatnya, “Tidak salah aku menjadikanmu sebagai panutan. Kau benar-benar yang terbaik! Aku mencintaimu, Bang!!!” Jika saja Baron tidak menahannya, Taka mungkin sudah memeluk Baron di depan banyak orang. Baron buru-buru berjalan pergi meninggalkan Taka, tak tahan dengan sikap manja juniornya itu.   ****** Demi yang baru kembali dari ruang bimbingan konseling berhasil mendapat perhatian dari para murid. Meski saat itu mereka sedang mendengarkan penjelasan dari Mei, tapi Ketika Demi berjalan memasuki kelas, semua mata tertuju padanya. Mei meminta para murid untuk tetap fokus ke depan, tapi karena dia tidak setegas Julie, beberapa anak terlihat seperti mengabaikan perintahnya. Demi sungguh merasa tidak nyaman dilihat seperti itu oleh teman-teman sekelasnya, terutama Fadli yang memberi tatapan misterius. Saat Tia dan Demi bertengkar di depan kelas, diam-diam Fadli memperhatikan dari tempat duduknya. Ada perasaan senang dalam dirinya karena dia tidak perlu bersusah payah “menyenggol” Demi. Diam-diam, Fadli bahkan sempat menahan sang ketua kelas agar tidak melaporkan kejadian tersebut ke ruang guru. Dia ingin lebih lama menyaksikan pertengkaran antara Tia dan Demi. Tapi untunglah sang ketua kelas tidak mendengarkan ucapan Fadli. Sebelum duduk, mata Demi sempat beradu tatap dengan mata Fadli. Keduanya memberikan isyarat yang entah apa. Demi lalu duduk di tempatnya dan mencoba untuk tetap fokus mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia meski saat itu ada belasan pasang mata tertuju padanya. Jam pelajaran Bahasa Indonesia pun berakhir. Mei pamit keluar kelas untuk kemudian digantikan dengan guru Ekonomi, dan biasanya pada saat jeda pergantian pelajaran seperti itu, para murid memanfaatkan waktu untuk ke toilet atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Demi memilih untuk mengenakan earphone agar tidak mendengar desas-desus dari teman-teman sekitar. Tak di sangka-sangka, Fadli datang menghampiri meja Demi. Dia tidak berkata apapun hingga Demi melepas earphone-nya. “Sudahku duga reaksimu akan seperti itu. Tapi wow, ternyata kau pintar juga menyembunyikan siapa dirimu yang sebenarnya, ya?” Ucap Fadli seraya tersenyum sinis. Demi berdiri, menatap Fadli tak kalah sinis, “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” Tanya Demi, dia seperti menantang Fadli. Lagi-lagi Fadli mendekatkan tubuhnya, ia lalu berbisik di samping telinga Demi, “Kau sungguh ingin aku mengatakannya di sini?” lalu melangkah mundur, penasaran dengan ekpresi wajah lawan bicaranya. Perkataan Fadli selalu berhasil membuat Demi merasa terintimidasi. Karena tidak ingin terus menjadi pusat perhatian oleh teman-teman sekelasnya, Demi berjalan keluar kelas, diikuti dengan Fadli yang berjalan di belakangnya. Demi sengaja berjalan menuju koridor sekolah bagian ruangan-ruangan yang kini dijadikan sebagai Gudang. Itu adalah tempat yang paling sepi di sekolah, jarang sekali ada orang yang datang ke sana. Demi berbalik badan, menghadap Fadli yang sejak tadi ada di belakangnya. Gadis itu mengeluarkan gaya andalan, kedua tangan terlipat di depan d**a, “Sebenarnya apa maumu?” tanyanya. Fadli tersenyum sinis, matanya melihat ke sembarang arah sebelum akhirnya fokus menatap tajam ke Demi. “Aku ingin hidupmu tidak tenang dan selalu dilanda masalah. Bahkan sebenarnya kau tidak layak untuk tetap hidup. Apa kau masih ingat betapa menderitanya Karisa karena sikapmu?” “Aku tidak mengerti dengan maksud ucapannya.” Jawab Demi seraya terus mengendalikan ekpresi wajahnya. Ia ingin terlihat tetap tenang di depan Fadli. Kali ini Fadli tertawa mengejek, “Ha…ha…ha…Demi, Demi, jangan pikir aku tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu. Beberapa hari yang lalu kau pergi ke Psikolog, kan? Untuk mengobati penyakit mentalmu itu?” Fadli memajukan wajahnya. Tanpa sadar, Demi melangkah mundur. “Kau menguntitku?” tanyanya tak percaya. Namun bukannya menjawab, Fadli justru kembali bertanya, “Kau baru sadar sekarang? Aku bahkan tahu apa saja yang kau lakukan Ketika berada di rumah. Aku tahu pukul berapa kau bangun, hari minggu kau makan siang dengan lauk apa, aku bahkan tahu pakaian apa yang kau kenakan saat tidur.” Fadli mengatakan itu dengan ekpresi wajah layaknya seorang psikopat. Itu benar-benar membuat Demi takut. Kini tubuh Demi gemetar, dia mulai keluar keringat dingin, “Kau…kau…apa yang sebenarnya kau inginkan? Apa saja yang sudah kau lakukan padaku? Mengapa….mengapa kau melakukan itu?” Tanyanya gugup. Fadli kembali tertawa meledek, lebih keras dari sebelumnya. Tertawanya persis seperti saat dia mengunjungi rumah Karisa secara sembunyi-sembunyi. Fadli memiringkan kepalanya sambil terus menatap Demi, “Kenapa? Kau takut denganku? Ha…ha…ha. Kau hanya perlu bertanggungjawab atas kematian Karisa dengan cara menyusulnya. Bukankah itu ide yang bagus?” dengan ekspresi senyum seram. Demi begitu ketakutan mendengar ucapan Fadli, belum pernah dia lihat sosok Fadli yang seperti ini. Selama Karisa masih hidup, ketiganya cukup berteman baik, hanya saja memang beberapa bulan terakhir sebelum kematian Karisa, hubungan mereka bertiga merenggang. Namun Demi tidak menyangka jika Fadli mampu bersikap seperti itu padanya. Mata Demi berkaca-kaca karena ketakutan, kedua tangannya mengepal menahan rasa marah dan kecewa, kakinya melangkah mundur karena takut, “Tidak…kau…kau benar-benar gila. Kenapa kau terus menuntut aku harus bertanggungjawab atas kematian Karisa? Bukankah Karisa menderita karena tindakanmu? Kau…kau yang membuat hidup Karisa hancur! Kalau saja malam itu kau tidak melakukannya, Karisa tidak akan menjadi seperti sekarang!!!” Ucapnya seraya berteriak, ia meluapkan amarah dan rasa takutnya. Dia ingin mengatakan itu tapi terlalu takut jika perdebatan semakin menjadi-jadi. Demi berharap ada seseorang yang tidak sengaja lewat, mendengar suaranya, lalu datang menghampiri mereka. Dengan begitu maka perdebatan itu tidak akan berlanjut. Demi benar-benar takut, tapi tidak tahu cara mengakhirinya. Dan rupanya, dewi keberuntungan sedang berpihak pada Demi. April tiba-tiba keluar dari salah satu gudang seraya membawa penggaris kayu papan tulis berukuran panjang. Sontak Demi dan Fadli pun menoleh ke belakang, April tersenyum, “Halo anak-anak…” sapanya santai. “Ummm…Fadli, bisa tolong bantu Ibu untuk membawakan satu kursi ke kelas 10? Ibu sedang mengajar di sana dan butuh satu kursi tambahan.” Pinta April. Fadli mengangguk, lalu berjalan masuk ke dalam gudang. Saat itulah April tersenyum pada Demi dan memberikan sinyal agar Demi bisa segera pergi dari sana. Demi yang sudah sangat ketakutan hanya mengangguk dan berjalan pergi. Ya, April bersikap seolah dia tidak tahu apa-apa, padahal dia mendengar semua percakapan antara Demi dan Fadli. ****** Julie masih menatap Tia lamat-lamat, ada banyak kalimat yang bisa dia dengar dari tatapan itu. Pikiran Tia saat ini sedang berkecamuk. Dia memikirkan banyak hal. “Sepertinya tanpa Ibu beritahu kamu sudah tahu siapa orang yang Ibu maksud. Ibu berniat untuk memanggilnya saat jam pulang sekolah, tapi karena sekarang kau sudah berada di sini, jadi Ibu ingin mendengar cerita tentang hubungan kalian darimu dulu. Bisa kau bercerita sejujur-jujurnya pada Ibu? Kau harus jujur agar ibu bisa membantumu.” “Apakah…apakah pelakunya adalah Arifin anak kelas 11 IPA 1, Bu?” tanyanya pelan. Julie mengangguk, “Ya, dia pelakunya.” Julie lalu diam, menunggu Tia untuk bercerita. Dia pun mulai bercerita. Arifin adalah anak kelas 11 IPA 1 yang sudah menaruh hati pada Tia sejak kelas 10. Secara kepribadian, Arifin tergolong anak yang pintar, rajin, kurang pergaulan, dan sedikit aneh. Temannya tidak banyak, dia datang ke sekolah hanya untuk belajar, mengerjakan tugas, dan makan di saat jam istirahat. Tapi meskipun begitu, dia selalu berusaha untuk menunjukkan rasa pada Tia. Dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Keduanya pertama kali bertemu saat masa orientasi siswa, Tia dan Arifin berada di satu kelas yang sama saat itu. Setiap hari-hari special, seperti hari ulang tahun Tia atau hari valentine, Arifin selalu memberikan hadiah untuk gadis pujaannya itu. Tapi selama ini Tia selalu mengabaikan Arifin dan menganggapnya tak ada. Dia juga tidak pernah menyentuh barang-barang pemberian Arifin. Sampai suatu ketika, Tia yang pada dasarnya selalu bersikap seenaknya, merasa harus memberi pelajaran pada Arifin. Dia pun mengutus dayang-dayangnya, Vivi dan Inka untuk datang ke kelas Arifin, menyampaikan pesan bahwa Tia sudah menunggunya di kantin sekolah. Arifin sedang bukan kepalang. Perjuangannya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Tia akhirnya tahu kalau ada makhluk Bernama Arifin di dunia ini yang suka padanya. Dengan langkah gugup, Arifin berjalan menuju kantin saat jam istirahat sekolah. Itu adalah hal yang jarang ia lakukan karena Arifin lebih senang membawa bekal dan makan di dalam kelas. Ia selalu merasa tidak percaya diri jika harus bertemu banyak orang di kantin. Tapi demi Tia, dia mengalahkan rasa takut dan ketidakpercayaan dirinya. Setibanya di kantin, sudah ada Tia serta kedua dayang-dayangnya. Mereka ketawa-ketawa sendiri melihat kedatangan Arifin, siswa itu tampak kelihatan cupu bagi mereka bertiga. “Tia…kamu panggil aku?” tanyanya gugup. Tia yang belum berhenti tertawa akhirnya berdiri dari kursi kantin. “Situ Arifin?” tanyanya sinis dan jutek. Arifin mengangguk, keringat dingin bercucuran di dahinya. “Iya…aku Arifin anak kelas 11 IPA 1.” Tia melihat Arifin dari ujung rambut hingga ujung kaki, dia lalu meletakkan tangannya di pundak Arifin, berjalan memutari tubuh Arifin. “Berani-beraninya ya anak kayak lo naksir sama gue? Lo pikir lo bisa dapetin gue? Lo harusnya ngaca kalau kita gak selevel. Lo siapa, gue siapa???” Ucapnya berteriak. Sontak kejadian itu mendapat perhatian dari seluruh pengunjung kantin. Arifin hanya diam saja, dia sangat-sangat terkejut dengan perkataan Tia. Dia pikir Tia akan mengajaknya makan siang bersama, tapi ternyata Tia hanya ingin mempermalukannya. Tak ingin berlama-lama, Tia pun menyiram jus alpukat ke dari atas kepala Arifin. “Kayaknya lo perlu disiram deh supaya sadar diri.” Cairan kental itu akhirnya mengalir di kepala, wajah, dan seragam Arifin. “Kalau setelah ini lo masih berani deketin gue, lo terima sendiri akibatnya. Lo itu bukan siapa-siapa, jadi lo sama sekali gak berhak untuk suka sama gue!” bentaknya, mereka bertiga lalu tertawa puas dan berjalan pergi meninggalkan Arifin. Dan sejak saat itu, rasa suka Arifin terhadap Tia, berubah menjadi rasa benci dan dendam.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD