DUA PULUH EMPAT

1169 Words
Julie memasuki kelas 11 IPS 1 pada pukul 09.00 WIB. Dia ada jadwal mengajar di kelasnya sendiri untuk dua jam mata pelajaran. Meski sedang menyelidiki kasus kematian Karisa, tapi Julie tidak melupakan tanggungjawabnya sebagai seorang guru. Dia sudah menyiapkan materi sebagai bahan ajar hari ini. Kurikulum yang baru menuntut para siswa untuk lebih aktif. Siswa tidak lagi hanya diam di kursi masing-masing, mendengar penjelasan guru, mengerjakan soal yang diberikan, setelah itu pulang ke rumah. Demi mengikuti perkembangan sumber daya manusia yang berkualitas, para siswa-siswi dituntut untuk aktif di dalam kelas. Pada pertemuan minggu lalu, Julie sudah memberikan materi yang akan mereka bahas di hari ini, sebab dia akan mengadakan diskusi dengan cara yang unik. Julie akan membentuk kelompok diskusi yang disertai dengan kuis. Dalam diskusi tersebut, Julie memberi kesempatan bagi para murid untuk berpendapat dan mengeluarkan opininya. Sebenarnya itu agak sedikit sulit, mengingat mata pelajaran yang dia ajarkan adalah Sejarah, yang mana semuanya berisi teori dan sudah ada jawaban pasti karena sudah tercacat dalam Sejarah, bukan contoh kasus yang bisa didiskusikan untuk melihat adanya kemungkinan jawaban lain. Tapi Julie tetap ingin mencobanya. Beberapa murid terlihat antusias, sementara beberapa lainnya berharap agar mata pelajaran Sejarah segera berakhir. Julie tahu karena dia memperhatikan murid-muridnya secara seksama. Kejadian Karisa benar-benar jadi pelajaran untuk Julie. Ketika ada anak yang terlihat murung, tak bersemangat, atau tidak bersikap seperti biasanya, Julie akan langsung mengajak ngobrol anak itu dengan hangat. Dia berharap semua murid kelasnya bisa terbuka dengannya. Julie tidak ingin ada “Karisa-Karisa” yang lain, sebab dia percaya depresi bisa disembuhkan jika seseorang bertemu dengan orang yang tepat. Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin Julie sampaikan kepada murid-muridnya, mengenai betapa pentingnya kesehatan mental. Selama ini, kesehatan mental kurang pendapat perhatian lebih dari masyakarat, beberapa bahkan sama sekali tidak tahu tentang itu. Padahal, gangguan atau penyakit mental, sama bahayanya—atau bahkan jauh lebih berbahaya—daripada penyakit fisik. Namun, orang-orang tidak menganggap itu sebagai hal penting, karena penyakit atau gangguan mental tidak terlihat dengan mata, berbeda dengan penyakit fisik yang dapat dilihat. Dan murid yang hari ini mendapat perhatian lebih dari Julie adalah Fadli serta Demi. Julie masih penasaran mengapa Fadli datang ke rumah Karisa secara sembunyi-sembunyi tempo hari, dan langsung pergi ketika melihatnya. Sementara Demi, dia ingin tahu perkembangan keadaannya. Kemarin, Desi sudah menghubungi Julie, memberitahu bahwa Demi sudah datang ke tempat praktiknya. Hanya sekedar itu, Desi sama sekali tidak memberitahu apa yang mereka bicarakan karena itu merupakan privasi pasien. Julie hanya berpesan pada Desi, “Tolong bantu anak itu.” Ujarnya. Berbeda dengan Fadli dan Demi, Tia terlihat sudah lebih baik sekarang. Entah karena pribadinya yang memang ceria, heboh, dan judes, atau karena Tia tidak terlalu dekat dengan Karisa. Tapi Julie lega karena murid yang sempat dicurigai oleh pihak kepolisian, bukanlah pelakunya. Hanya Fadli, hanya Fadli yang belum terkonfrimasi secara langsung. Dan itu adalah tugas yang harus segera dia selesaikan. Dua jam mata pelajaran pun berlalu, kini saatnya anak-anak untuk beristirahat. Mereka semua segara berhamburan keluar kelas, ada yang ke kantin, menghampiri temannya di kelas sebelah, atau duduk-duduk di pinggir lapangan untuk melihat gebetan yang mereka taksir sedang bermain basket atau futsal. Julie berhenti di depan pintu kelas, dia memperhatikan keceriaan para siswa-siswi yang berlari ke sana ke sini, mengobrol, juga tertawa riang. Mereka adalah anak-anak yang sedang menikmati masa remaja. Hanya perlu memikirkan tentang sekolah dan bermain. Tidak sepatutnya dibebani oleh hal-hal di luar jangkauan mereka. Tapi nyatanya, beberapa anak remaja sudah menghadapi betapa kejamnya dunia serta orang-orang di dalamnya. Karisa bukanlah satu-satunya contoh atas kasus itu. Mendadak pikiran Julie terbawa pada kenangan pahit yang dia lewati di masa lalu. Itu adalah kenangan terburuk dalam hidupnya. Kenangan yang ingin dia lupakan tapi nyatanya membawa dampak trauma untuk dirinya sendiri. Adalah Riani. Sahabat Julie yang meninggal saat keduanya berada di kelas tiga SMA. Riani adalah salah satu anak yang tinggal di Rumah Harapan yang dikelola oleh nenek Julie. Saat itu, Nek Lastri menemukan seorang anak berusia tiga tahun yang sedang berdiri di depan Rumah Harapan. Gadis kecil yang belum tahu apa-apa itu menangis tanpa henti dengan tas kecil di pundaknya. Suara tangisan itulah yang membuat Nek Lastri akhirnya keluar dari dalam rumah untuk menghampiri sumber suara. Betapa teririsnya hati Nek Lastri melihat seorang anak berdiri sendirian dalam keadaan bingung dan ketakutan. Tanpa berpikir panjang, Nek Lastri segera membawa gadis kecil itu masuk ke rumahnya. Hal pertama yang Nek Lastri lakukan adalah memberi s**u dan kue karena anak itu terlihat kelaparan. Saat dia sedang asik melahap makanannya, Nek Lastri membuka isi tas untuk mencari tahu sesuatu, apapun itu. Betapa terkejutnya beliau ketika menemukan sebuah surat dengan tulisan sebanyak tiga paragraf. Pesan dari surat itu ditulis oleh seorang ibu yang ingin menitipkan anaknya karena dia tidak bisa merawat anak itu, tidak disebutkan apa alasannya. Dia hanya memberitahu waktu kelahiran dan nama anak itu. Namanya adalah Riani, hanya Riani. Sang ibu berkata bahwa akan lebih baik bagi Riani untuk tinggal di Rumah Harapan. Dia juga meminta maaf karena tidak bisa menyerahkan Riani dengan layak. Dia memilih untuk meninggalkan Riani sendirian di depan Rumah Harapan yang mana terletak di pinggir jalan, kemudian pergi melarikan diri. Tidak lupa, dia juga memberi catatan tentang penyakit alergi yang diderita Riani. Gadis kecil itu alergi terhadap udara dingin. Saat udara atau suhu terlalu dingin, akan muncul bentol-bentol merah di sekujur tubuh Riani. Nek Lastri tak kuasa menahan tangis setelah membaca “surat wasiat” tersebut. Dia sama sekali tidak keberatan merawat Riani di Rumah Harapan, hanya kecewa dengan sikap ibunda Riani yang tidak bertanggungjawab dengan meninggalkan gadis kecilnya yang baru berusia tiga tahun begitu saja. Sejak saat itu Riani menjadi penghuni Rumah Harapan. Ia tumbuh menjadi gadis pintar yang murah hati dan hangat. Julie yang kala itu sering berkunjung ke Rumah Harapan tiap kali liburan sekolah, menjadi semakin dekat dengan Riani. Selain karena mereka seumuran, Julie merasa nyaman berteman dengan Riani. Mereka selalu bermain bersama di halaman Rumah Harapan, menggambar, atau menyusun puzzle bersama. Saat Julie pertama kalinya pindah ke Cipatat setelah kejadian maut yang menimpa kedua orangtuanya, Riani adalah teman pertama yang memeluknya erat tanpa bertanya apapun. Ia membiarkan Julie “menikmati” kesedihannya tapi selalu ada di samping Julie. Kala itu keduanya sudah tumbuh menjadi gadis remaja berusia lima belas tahun. Nek Lasti akhirnya memutuskan untuk menyekolahkan Julie dan Riani di sekolah yang sama yakni SMA Cendikiawan III. Persahabatan keduanya pun semakin dekat. Namun karena adanya beberapa hal yang terjadi dalam hidup Riani, membuat gadis itu tak seceria saat kecil dulu. Ia seperti menyimpan luka dan kesedihan jauh di dalam hatinya. Riani bahkan pernah merasa minder berada di samping Julie karena latar belakang sosial mereka yang berbeda. Julie adalah cucu Nek Lasti, semua orang di Bandung Barat tampaknya kenal dengan beliau, sementara Riani hanyalah anak yang dibuang oleh ibunya. Rasa rendah diri pun muncul. Beberapa saat terakhir sebelum kematiannya, Riani berubah seperti bukan dirinya. Ya, Riani ditemukan meninggal di ruang lab kimia SMA Cendikiawan III dalam keadaan gantung diri pada kelas dua belas. Itulah alasan mengapa Julie kembali ke SMA Cendikiawan III sekarang, ada sesuatu yang ingin dia selidiki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD