TIGA

1403 Words
Baron menatap kesal pada seseorang yang ada di hadapannya. Orang itu tetap tidak mau buka suara pada apa yang telah terjadi. Pagi dini hari dia menerima laporan tentang adanya pembunuhan di klub malam. Seorang pria berusia tiga puluh tahun ditemukan tewas setelah dikeroyok oleh beberapa orang tiba-tiba saja mendatangi klub malam. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka lebam akibat belasan pukulan yang dilayangkan padanya. Pria yang ada di hadapannya adalah satu dari lima pengeroyok. Dia tidak berhasil kabur bersama empat orang lainnya. Menjadi seorang detektif di kepolisian membuat Baron terus berhadapan dengan kasus kematian setiap harinya. Dia harus menyelidiki penyebab kematian korban, siapa pelakunya, apa motif dari pembunuhan itu, serta bagaimana kronologinya. Berhadapan dengan ratusan mayat dalam kondisi mengenaskan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Baron. Di usianya yang baru menginjak dua puluh sembilan tahun, Baron sudah berhasil memecahkan beberapa kasus pembunuhan. Jika dia bisa mempertahankan kinerjanya selama beberapa tahun ke depan, maka tidak sulit bagi Baron untuk dipromosikan menjadi detektif senior. Dia adalah detektif yang cerdas, cekatan, dan teliti. Baron selalu menggunakan logika dan akal sehat dalam menyelidiki kasus yang ada. Dia begitu mencintai pekerjaannya. Tapi di balik itu semua, ada satu alasan mengapa pada akhirnya dia memilih untuk menjadi seorang detektif. Alasan itu berhubungan dengan orang yang sangat dicintainya. Begitu Baron selesai mengintrogasi pelaku, salah seorang junior datang menghampirinya, “Hasil otopsi sudah ditemukan, penyebab kematian korban karena adanya pendarahan di otak.” Jelasnya singkat. Dia mengatakannya saat pelaku sudah dibawa keluar ruangan oleh seorang polisi yang bertugas. “Semua bukti sudah ditemukan?” tanya Baron. “Belum semua, ada satu bukti yang dibawa kabur oleh pelaku lainnya.” “Aku akan memeriksa CCTV dan membuat sketsa wajah pelaku lainnya.” Jawab Baron sambil bergegas keluar ruangan. Sang junior mengangguk patuh. Dia adalah Taka, detektif junior yang kini menjadi rekan satu tim Baron. Taka cukup cerdas dan gesit, hanya saja dia sering ragu-ragu dalam bertindak. Sehingga kesempatan dan peluang yang ada di depan mata terlewat begitu saja. Taka mulai bergabung dengan Tim Baron kurang lebih dua tahun yang lalu. Kasus pertama yang dia tangani saat itu adalah pembunuhan seorang p*****r di kamar hotel. Untuk pertama kalinya Taka melihat seorang wanita tanpa busana tergeletak di kamar mandi hotel. Wanita itu sudah dipenuhi dengan darah yang berasal dari sekujur tubuhnya. Dia mendapat sepuluh luka tusuk dibagian leher, perut, dan payudaranya. Setelah diselidiki Taka cukup shock kala itu. Tubuhnya nyaris runtuh jika saja Baron tidak menahannya, “Tetap konsentrasi, kita harus bisa bersikap professional. Jangan libatkan perasaan dan hatimu, gunakan akal dan logika sebagai gantinya. Kendalikan diri, ini adalah jalan yang sudah kau pilih. Sekarang periksa TKP dengan langkah tegap dan penuh keyakinan kalau kau bisa menangani kasus ini.” Ujarnya. Dan perkataan Baron kala itu benar-benar terus diingat oleh Taka. Baron memperhatikan rekaman CCTV yang sedang diputar olehnya. Dalam rekaman tersebut terlihat ada seorang pria yang sedang minum sambil berjoget lalu kemudian dihampiri oleh lima orang pria berpakaian serba hitam. Mereka semua juga mengenakan topi, sedikit sulit untuk melihat wajahnya karena posisi mereka membelakangi CCTV, terlebih kondisi klub malam yang remang-remang membuatnya semakin sulit untuk mengidentifikasi pelaku. Salah satu di antara pelaku sempat berbicara pada korban. Bila dilihat dari ekpresi korban, dia seperti mengenali mereka berlima. Korban pun nampak tidak percaya saat satu di antara mereka mulai memukulnya. Dia sempat melawan tapi kemudian terlanjur diserang oleh empat lainnya. Mereka berlima seperti sedang kesurupan, memukuli korban tanpa ampun. Seolah ada dendam yang mereka pendam. Dendam yang baru bisa tersampaikan saat itu. Baron memperhatikan dengan cermat wajah keempat pelaku lainnya meski hanya terlihat sedikit. Dia mulai menggerakkan jari jemari di atas buku sketsa yang selalu dia bawa kapanpun dan dimanapun. Perlahan mulai terbentuk gambar wajah manusia dengan pipi tirus serta rambut cepak yang tak beraturan. Pria itu adalah orang yang paling banyak memukuli korban. Matanya sempat melihat ke arah CCTV sebentar, jelas dia tahu persis dimana letak CCTV. Analisisnya terhenti saat ponselnya berdering. Tertera nama Taka di sana. Dengan cepat Baron langsung menjawab panggilan tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun. Itu adalah kebiasaannya, saat menjawab panggilan telephone, Baron selalu membiarkan lawan bicaranya berbicara lebih dulu. Dia tidak akan membiarkan orang asing mendengar suaranya begitu saja. Menjadi seorang detektif selama bertahun-tahun membuat insting Baron menjadi lebih tajam, dia tahu ada banyak orang di luar sana yang ingin mencelakai dirinya. Dan tanpa Baron sadari, kebiasaan itu dia lakukan juga pada orang-orang sekitarnya. Taka tentu bukan orang asing baginya. Taka mulai berbicara begitu Baron berdeham, tanda agar dia segera menyampaikan maksud dan tujuan, “Telah terjadi kasus bunuh diri di sebuah sekolah swasta di daerah Cipatat, Ndan. Dia adalah seorang siswi kelas dua, dia diperkirakan meloncat dari balkon sekolah tadi malam. Seorang petugas keamanan sekolah menemukan tubuhnya terkapar tidak berdaya sekitar pukul lima pagi. Terjadi pendarahan berat di kepalanya, kaki dan tangannya juga patah.” Juniornya itu memang selalu memberi informasi inti dan dasar untuk memberikan gambaran pada Baron. Baron mengusap wajahnya, belum kelar kasus yang satu, sudah muncul kasus lainnya. Dia melihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Sudah beberapa hari ia tidak pulang ke rumah karena banyaknya kasus yang ditangani. Terkadang Baron tidur di kursi kerja atau mess yang memang disediakan untuk para penyidik dan petugas kepolisian lainnya tinggal dan beristirahat. Jika tubuhnya pertama kali ditemukan pukul lima pagi, itu berarti mereka baru menghubungi kepolisian satu jam kemudian. “Saya akan segera ke lokasi.” Ujar Baron cepat. Dia langsung menutup telponenya dan bergegas pergi. Sebagai seorang penyidik atau detektif, Baron dituntut untuk bergerak cepat. Semua barang bukti serta petunjuk bisa saja hilang jika dia tidak cekatan. Dia mengendari mobilnya dengan kecepatan tinggi. Mobil berwarna silver itu merupakan mobil listrik Tesla Model Y keluaran terbaru asal Amerika Serikat yang harganya begitu fantastis. Mobil tersebut dilengkapi dengan sirine dan lampu polisi. Di beberapa negara, sudah banyak yang menjadikan mobil listrik Tesla sebagai mobil kepolisian khususnya bagian detektif atau penyidik. Hal itu karena mobil listrik Tesla memiliki jarak tempuh yang luar bisa, seperti Tesla Model Y misalnya yang mampu menempuh jarak 524 kilometer dalam kondisi baterai terisi penuh. Berbeda dengan mobil lain yang berbahan bakar bensin, mobil listrik ini tidak mengeluarkan suara ketika dikendarai, jalannya pun begitu halus. Sungguh sangat membantu Baron dalam menyelesaikan misinya. Dan tentu saja itu bukan mobil dinas, kepolisian Indonesia belum mampu untuk memberikan para penyidiknya mobil seperti itu. Mobil tersebut Baron dapatkan dari salah satu pengusaha tambang. Beberapa bulan lalu, telah terjadi kasus penculikan pada anak bungsu pengusaha tersebut. Anak berusia delapan tahun itu diculik oleh saingan bisnisnya, berkat kerja keras dan strategi yang dijalankan oleh tim Baron, anak itu berhasil kembali ke pelukan sang ayah dalam keadaan bernyawa, sementara penculik dan dalangnya kini telah dipenjara. Sebagai ucapan terima kasih, pengusaha tersebut memberikan mobil listrik Tesla Model Y untuk Baron, serta uang puluhan juta untuk anggota tim lainnya. Awalnya Baron menolak karena takut dinilai menerima gratifikasi, tapi pengusaha tersebut membuat surat pernyataan resmi dan menyewa pengacara serta notaris sebagai saksi bahwa dia murni memberikan mobil tersebut sebagai rasa terima kasih, tidak ada maksud apapun atau dengan tujuan tertentu. Baron sampai di SMA Cendikiawan III, sudah ada banyak murid yang berkumpul di titik lokasi tempat dimana siswi tersebut ditemukan. Para guru, penjaga sekolah, dan beberapa petugas kepolisian berusaha untuk meminta para murid agar menjauh. Tapi rasa penasaran mereka lebih jauh lebih besar, mereka ingin tahu siapa yang meninggal, bagaimana bisa orang tersebut meninggal, dan mengapa murid itu meninggal. Pihak kepolisian pun sudah memasang garis polisi sejak awal, tanda bahwa siapapun tidak ada yang boleh melewati garis tersebut, kecuali mereka yang memiliki wewenang. Salah satunya adalah Baron. Dia menganggukkan kepala pada Taka yang sudah lebih dulu tiba di TKP. Kesal dengan para murid yang tidak menjauh dari lokasi, Baron memutuskan untuk berbicara dengan seseorang yang dia tahu bagian dari perwakilan sekolah tersebut, “Maaf, tapi bisakah kau menyuruh para murid untuk menjauh dari TKP? Keberadaan mereka akan menghambat proses penyidikan.” Ujarnya to the point. Baron tidak suka basa-basi. Orang itu adalah Julie. Sejak kedatangannya pagi itu, Julie langsung dikejutkan dengan kejadian bunuh diri yang dilakukan oleh siswi kelasnya. Ya, dia adalah anak dari kelas 11 IPS 3. “Saya walikelas dari anak itu.” Malah itu jawaban yang keluar dari bibir Julie. Kemarin, dia baru menghukum anak itu karena tidak mengerjakan tugas serta tertidur di kelas saat jam pelajaran. Julie benar-benar shock, tidak tahu harus berbuat apa. Pikirannya pun melayang-melayang, menduga-duga apa yang menyebabkan anak itu bunuh diri, apakah karena tekanan tugas-tugas sekolah? Julie sungguh takut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD