DUA

1093 Words
Julie memarkirkan sepeda motor di halaman sekolah. Dia melepas helm sambil memperhatikan sekitar. Sudah banyak murid yang berdatangan, padahal waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Sewaktu Julie bersekolah di sana, bel masuk sekolah berbunyi tepat pukul tujuh pagi. Namun belakangan Julie tahu kalau sekolah itu kini memajukan jam masuknya menjadi pukul setengah tujuh pagi. Bangunan SMA Cendikiawan III tergolong cukup baik, tidak reyot seperti bangunan sekolah yang berada di pedalaman, juga tidak mewah seperti bangunan sekolah yang berada di pusat kota. Sekolah yang terdiri dari dua lantai itu adalah milik keluarga Adhitama, seorang pendidik ternama yang memiliki banyak uang hingga bisa mendirikan sekolah. Adhitama sebenarnya bukan hanya seorang pendidik, dia juga seorang pengusaha minuman teh kemasan yang dijual hampir di seluruh wilayah Indonesia. Adhitama mewarisi kebun teh miliki orangtuanya. Jadi mau tidak mau dia harus mengelola kebun teh tersebut di samping menjalani kegiatannya sebagai seorang pendidik. Sambil mengurusi bisnisnya, Adhitama sesekali mengajar di Sekolah Cendikiawan III sebagai guru Biologi. Kecintaannya pada dunia pendidikan begitu besar. Kini setelah Adhitama meninggal, SMA Cendikiawan III diwarisi pada anak sematawayangnya yang bernama Adiwiyata. Tidak seperti ayahnya yang mengajar di kelas, Adiwiyata lebih memilih untuk menjadi kepala sekolah di SMA Cendikiawan III. Pria berusia lima puluh lima tahun itu terkenal dengan sikapnya yang bijaksana dan mengayomi para guru dan murid. Dia beberapa kali mendapat penghargaan sebagai Kepala Sekolah terbaik dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Barat atas segala pencapaian yang diraihnya.  Salah satu sikap Adiwiyata yang dikagumi oleh banyak orang yakni ketepatan waktu. Pria itu tidak pernah telat, dia selalu datang lebih awal bahkan sebelum para guru dan murid datang ke sekolah. Itulah mengapa Julie langsung menuju ruangan Adiwiyata begitu dia tiba di sekolah. Sang kepala sekolah masih mengenali Julie sebab dia merupakan salah satu siswi berprestasi ketika sekolah dulu. Setelah dipersilahkan duduk oleh Adiwiyata, Julie melihat sekeliling kemudian tersenyum. Dia kagum karena ruangannya begitu rapi, bersih, dan wangi. Di tengah-tengah ruangan terdapat sofa dan meja yang memang disediakan untuk para tamu. Di depan sofa tamu terdapat kursi dan meja kerja yang biasa dia gunakan sehari-hari. Meja kerjanya dipenuhi dengan kalender, beberapa berkas, telephone kabel, serta sebuah bingkai yang menampilkan foto keluarganya. Adiwiyata terkenal sebagai family man. Dia selalu mengisi waktu luang bersama istri dan kedua anak perempuannya. Anaknya yang pertama baru saja menikah dan sedang hamil, sementara anaknya yang kedua kini duduk di bangku kelas dua SMP. Adiwiyata juga selalu merapikan piagam penghargaan yang diperolehnya selama ini dalam sebuah lemari berwarna coklat. Lemari dengan material kaca bagian depan itu menampakkan banyaknya piagam penghargaan yang dia peroleh selama menjabat sebagai kepala sekolah. Di sudut ruangan, terdapat lemari lain yang dipenuhi dengan puluhan buku, dia memang gemar mengoleksi buku. Adiwiyata memberikan sebotol air mineral pada Julie. Dia sengaja meminta petugas kebersihan untuk menyediakan beberapa dus berisi air mineral di ruangannya, hal itu dilakukan untuk mempermudah dia dalam menjamu tamu. Julie tersenyum ramah seraya mengucapkan terima kasih. “Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat bergabung sebagai tenaga pendidik di SMA Cendikiawan III. Semoga Mbak Julie nyaman ya bekerja di sini.” Ucapnya hangat. “Saya juga mau mengucapkan terima kasih kepada bapak karena telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengajar di sekolah ini. Saya yakin ketika itu pasti banyak sekali pihak yang melamar pekerjaan di sini dengan segala kemampuan dan kompetensi yang mereka miliki. Tapi bapak memberi kesempatan pada saya untuk menjadi bagian dari SMA Cendikiawan III lagi. Mengajar di sekolah ini adalah salah satu impian saya, sekali lagi terima kasih banyak, Pak.” Julie mengulurkan tangan kanan yang kemudian disambut oleh Adiwiyata.  Di hari pertamanya menjadi guru di SMA Cendikiawan III, Julie memperkenalkan diri kepada guru-guru lain yang sudah berkumpul di ruang guru. Semua guru terlihat antusias menyambutnya, hanya ada satu guru yang sejak tadi diam, seolah tidak memperhatikannya. Guru muda itu sibuk menulis sesuatu dalam bukunya, sesekali dia merapikan rambut panjangnya yang diikat tengah. Saat Adiwiyata memintanya untuk memperkenalkan diri, dia hanya berdiri sebentar dan berkata, “Saya Mei, walikelas sebelas IPS II, mengajar bahasa Indonesia.” Ucapnya singkat. Dia terlihat murung dan tidak bersemangat. Julie bingung, bagaimana bisa seorang guru bahasa Indonesia pendiam seperti itu. Berbanding terbalik dengan April, seorang guru Biologi yang sangat ceria dan banyak bicara. Sejak awal dia seperti sudah menunggu kehadiran Julie. Kabar tentang adanya guru baru di SMA Cendikiawan III memang sudah mengudara di kalangan guru dan murid sejak beberapa hari lalu. Dan entah mengapa April seperti sangat bahagia dengan kehadiran Julie. Mungkin karena sebagian besar guru-guru di sana sudah berusia empat puluh tahun ke atas, hanya dia dan Mei yang seumuran. Mereka berdua sama-sama berusia dua puluh delapan tahun. Tapi mereka tampak tidak dekat karena perbedaan karakter. Mungkin April menganggap kehadiran Julie bisa membawa angin segar untuknya. Dia butuh rekan kerja yang sefrekuensi dalam beberapa hal. Selama ini April hanya bergaul dengan para guru yang sudah menikah dan memiliki anak, sehingga topik pembicaraan mereka seringkali berbeda. Sedangkan Mei, selalu menyendiri dan tidak pernah bergabung dengan guru-guru lainnya. Dengan antusias, April menemani Julie berkeliling sekolah, dia mengenalkan semua bagian sekolah dari mulai ruang kelas, lab, perpustakaan, toilet, hingga kantin, sepertinya dia punya banyak waktu untuk itu. “Ternyata sudah banyak berubah, ya.” Ujar Julie ketika mereka melewati ruangan yang kini menjadi gudang, seperti penjelasan wanita bertubuh mungil itu. “Kau pernah berkunjung ke sekolah ini sebelumnya?” Tanya April heran. “Dulu aku bersekolah di sini.” Jawabnya ramah. “Eh…” April seperti salah tingkah, dia sedikit malu karena awalnya berpikir jika Julie tidak tahu apa-apa tentang sekolah itu, jadi April bertingkah seperti orang yang paling tahu sedunia. “Kau angkatan berapa?” tanyanya penasaran. “Aku lulus tahun 2013.” April mengangguk paham, “Berarti kau lebih muda dariku…” dia kemudian mengibaskan tangan kanannya, “Tapi kau tenang saja, aku tidak menyukai sistem senioritas kok.” Ucapnya cepat, padahal pikiran Julie sama sekali tidak mengarah ke sana.  April izin pamit meninggalkan Julie karena sudah waktunya mengajar. Di hari Senin, jadwal mengajar April tidak terlalu padat, dia hanya mengisi dua kelas. Berbeda dengan Julie yang jadwal mengajarnya begitu padat di hari Senin. Dia kemudian mengecek agenda, sebentar lagi Julie harus masuk di kelas sebelas IPS III yang mana itu adalah kelasnya. Ya, Julie dipercaya untuk menjadi walikelas sebelas IPS III. Kelas itu berada di lantai dua, letaknya persis di kanan tangga. Julie memejamkan mata seraya menghela napas, “Kuatkan dirimu, Julie. Semua ini demi Riani.” Kakinya mulai melangkah menaiki anak tangga pertama. Sejak tragedi itu, Julie selalu takut menginjakkan kaki di lantai dua sekolah. Bertahun-tahun Julie mengatasi rasa trauma karena tragedi itu. Kini dia kembali untuk menyelidiki semuanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD