Baron mengamati wajah Julie yang terlihat ketakutan. Dia tidak bisa mengharapkan wanita itu untuk membantunya menjauhkan para murid dari kerumunan. Justru Julie lah yang kini perlu ditenangkan. "Aku sungguh tidak tahu kalau semuanya akan berakhir seperti ini." Ucap Julie gemetar. Tapi orang-orang tidak ada yang mendengarnya, semua sibuk melihat korban yang sudah ditutupi dengan kertas koran.
Baron yang tidak mengerti maksud perkataan Julie segera memintanya untuk tetap tenang dan diam. Apapun yang terjadi, Julie jelas tidak boleh berkata sembarangan. Jika ada pihak lain yang mendengar dan menyalahartikan ucapannya, dia bisa saja ditetapkan sebagai tersangka. Tidak semua orang secerdas dan secermat Baron. "Lebih baik sekarang anda menjauh dari sini, nanti pihak kepolisian akan berbicara dengan pihak sekolah untuk membahas kasus ini lebih lanjut.
Dengan langkah getar serta ragu, Julie balik badan menunju ruang guru, menyisakan Baron dan petugas kepolisian lainnya, juga perwakilan pihak sekolah seperti petugas keamanan dan wakil kepala sekolah. Pagi itu, Adiwiyata terlambat datang ke sekolah karena baru saja pulang dari luar kota. Tiga hari kemarin beliau pergi ke Jakarta untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan khusus kepala sekolah di seluruh Indonesia. Sehingga Pak Wira—sang wakil kepala sekolah—lah yang ditugaskan untuk berhadapan dengan pihak kepolisian, setidaknya hingga Adiwiyata tiba di sekolah.
Baron lalu mulai mengidentifikasi korban bersama dengan tim forensik. Tubuh siswi itu sudah dilumuri dengan darah, tulang kaki dan tangannya sudah jelas patah seperti yang dikatakan oleh Taka. Dia hanya mengenakan satu sepatu berwarna putih sementara yang satunya entah kemana. Kaca jam tangan yang dikenakan korban juga sudah hancur lebur menyisakan tali kulit yang masih melingkar di pergelangan tangannya. Baron melihat nametag yang masih terpasang di seragam namun sudah dipenuhi dengan percikan darah. Di nametag tersebut tertera tulisan, “KARISA” itu adalah namanya. Wajah mungilnya kini sudah terlihat pucat karena darah yang terus mengalir dari kepalanya. Baron memperhatikan sekitar dengan detail dan teliti agar tidak ada barang bukti yang tertinggal. Dia kemudian menyimpan beberapa barang bukti seperti sepatu bagian kiri milik korban, buku paket Sejarah kelas XI, juga jam tangan yang telah hancur. Baron menyimpannya dalam kantong plastik bening, memastikan barang bukti itu tersimpan dengan baik. Identifikasi jenazah di TKP berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam, jenazah kemudian dibawa oleh tim forensik dan penyidik lainnya untuk dilakukan autopsi lebih lanjut. Baron berjalan keluar garis polisi, menemui Wira dan petugas keamanan yang sejak tadi menunggu di sana. Baron memang meminta Taka berbicara pada mereka untuk tetap menunggu di TKP, hal itu agar mereka bisa membantu proses penyidikan.
Wira yang sedang berbicara dengan seseorang di balik ponsel langsung mengakhiri panggilannya begitu melihat Baron berjalan ke arahnya. “Identifikasi jenazah sudah selesai dilakukan dan kini sedang dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Bandung Barat untuk dilakukan proses autopsi lebih lanjut. Kami telah melihat nametag yang terpasang di seragamnya, jenazah bernama Karisa.” Jelas Baron. Dia belum selesai dengan kalimatnya, “Apa benar anda adalah orang yang pertama kali menemukan jenazah Karisa?” Tanya Baron pada seorang petugas keamanan yang berdiri di samping Wira.
Pria berusia empat puluh lima tahun dengan kumis tebal itu membenarkan pertanyaan Baron, “Ya, benar. Saya menemukan jenazah ketika sedang berkeliling mengecek kemanan sekolah, sekitar pukul lima pagi.” Jelasnya.
Baron melihat tanda pengenal yang juga terpasang di seragamnya, “Pak Yudi, saya perlu berbicara dengan anda sebagai saksi di kantor kepolisian siang ini setelah saya selesai mengidentifikasi TKP.” Ucapnya tegas, membuat siapapun lawan bicara tidak bisa menolaknya.
Yudi mengangguk setuju, “Baik Pak, saya bersedia.” Ketika pertama kali menemukan jenazah Karisa, Yudi sangat terkejut. Meski sudah menjadi petugas keamanan selama dua puluh tahun tapi baru kali ini dia melihat mayat persis di depan matanya. Biasanya Yudi hanya berhadapan dengan kasus-kasus pencurian atau perampokan. Tapi Yudi tetap harus bersikap kooperatif dan professional, dia harus siap menjadi saksi dalam kasus kematian itu.
Baron beralih pada Wira, “Dan Pak Wira, saya juga perlu beberapa orang dari pihak sekolah untuk dijadikan sebagai saksi, tidak menutup kemungkinan saksi akan terus bertambah setiap harinya menyusaikan dengan petunjuk yang kita terima. Jadi kami berharap pihak sekolah dapat bekerjasama secara kooperatif dalam mengawal kasus ini.” Ujarnya seraya menyodorkan tangan kanan pada Wira, tatapan tegas itu laki-laki mampu mengintimidasi lawan bicara, Yudi dengan cepat menjabat tangan Baron. Dia juga setuju untuk bersikap professional dan kooperatif.
Tidak heran mengapa Baron dijuluki Si Mata Teleskop, dia mampu melihat semua hal-hal kecil yang seringkali terlewat oleh mata manusia normal. Bahkan untuk beberapa hal yang kelihatannya hanya sekelibat, tapi Baron mampu merekam semua hal yang dia lihat dan menyimpan dalam memorinya. Itu adalah kemampuan istimewa yang Tuhan beri untuknya, tidak semua orang bisa melakukan itu. Biasanya Baron akan langsung menulis atau menggambar hal-hal yang dia anggap penting, sebelum memorinya hilang dalam waktu dua puluh empat jam. Ya, entah itu kutukan atau harga yang harus dibayar oleh Baron karena kemampuan istimewanya, tapi hal-hal yang telah direkam dan disimpan dalam memorinya akan hilang dalam waktu dua puluh empat jam. Tentu saja itu hanya berlaku untuk hal-hal yang sengaja dia “rekam”, tidak untuk kejadian sehari-hari. Baron melanjutkan tugasnya untuk memeriksa TKP bersama Taka. Biasanya Baron akan menghabiskan waktu kurang lebih dua jam dalam memeriksa TKP, hingga dia memastikan tidak ada lagi barang bukti dan petunjuk yang terlewat oleh Mata Teleskopnya.
Baron berjongkok, memperhatikan pot tanaman yang terkena percikan darah jenazah, menurut dugaannya kepala Karisa sempat mengenai pot berbahan tanah liat itu sebelum tubuhnya terkapar di aspal sekolah. Posisi terakhir jenazah juga berada dalam keadaan terlentang, itu menguatkan dugaan Baron jika tubuh Karisa sempat mengalami perubahan posisi selama di udara. Meski beberapa orang yakin bahwa itu adalah kasus bunuh diri, tapi Baron tidak bisa menyimpulkan secepat itu. Dia harus mempelajari semua barang bukti, petunjuk, dan kemungkinan-kemungkinan yang berhubungan dengan peristiwa itu. Baron membuka buku catatan yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi, mencatat dan menggambar semua petunjuk yang dia lihat di TKP.
Taka menghampiri seniornya yang selalu terlihat sibuk pada hari pertama ditemukannya kasus kematian. “Saya baru saja memeriksa balkon sekolah tapi tidak menemukan sepatu bagian kiri milik jenazah.” Lapor Taka. Dia memang baru saja ditugaskan oleh Baron untuk memeriksa balkon sekolah, tempat Karisa terjatuh. Tapi tentu saja nanti dia akan memeriksanya lagi untuk memastikan dengan mata kepalanya sendiri.
Baron meraba daun yang juga terkena percikan darah dengan tangan kanan yang telah mengenakan sarung tangan khusus agar tidak merusak sidik jari di TKP, “Sudah ada informasi yang kau dapatkan mengenai korban?” Tanya Baron, matanya tetap fokus melihat daun-daun itu.
Taka mengangguk, kali ini dia mengecilkan volume suaranya agar tak jadi pusat perhatian dari orang-orang sekitar, “Jenazah merupakan seorang siswi kelas XI IPS 3, dia anak yang pendiam dan tidak aktif di kelas. Temannya juga tidak banyak, hanya satu dua orang yang kebetulan pernah sekelompok belajar dengannya.” Baron mengangguk paham, dikit sekali informasi yang dia dapatkan tentang siswi itu. Maka tugas Baron pun semakin berat, dia harus mencari informasi tentang anak yang tertutup di sekolah.
“Saya sudah mencatat semua petunjuk yang saya temukan di TKP, tolong tetap jaga TKP agar tidak dimasuki oleh orang-orang yang tidak berkepentingan. Saya akan pergi menemui pihak sekolah untuk pemeriksaan lebih lanjut.” Ujarnya sambil berlalu meninggalkan Taka yang siap menjaga TKP hingga beberapa jam ke depan.
“Siap, laksanakan!” Jawabnya patuh. Baik Baron ataupun Taka keduanya sama-sama bisa menempatkan diri, saat sedang bertugas mereka tetap bersikap professional layaknya penyidik senior dan junior, tapi di luar pekerjaan hubungan mereka begitu akrab layaknya seorang sahabat.
Kondisi sekolah sangat ramai karena kejadian itu, padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Bel masuk terlambat berbunyi karena guru piket sibuk mengurusi ini dan itu. Beberapa dari mereka berbincang-bincang di depan kelas, membicarakan betapa terkejutnya mereka dengan kasus tersebut, satu siswa yang sempat melihat kaki jenazah dari sela-sela tubuh polisi yang berdiri menghalangi bercerita bahwa jenazah hanya mengenakan satu sepatu. Ada juga sekumpulan anak yang sibuk mempertanyakan siapa Karisa dan dari kelas mana dia berasal. Karena pendiam dan tidak memilik banyak teman, tidak banyak murid yang kenal dengan Karisa. Yang tahu Karisa hanya orang-orang yang pernah sekelas dengannya.
Baron melewati kerumunan siswa-siswi yang mendadak berubah jadi detektif dadakan karena kesoktahuan mereka akan kasus itu, dia berjalan menuju ruang guru untuk menemui beberapa pihak. Suasana ruang guru pun tidak kalah “rusuh”, beberapa guru terlihat risau karena takut kasus tersebut akan membawa masalah bagi sekolah mereka. Salah satunya adalah April, dia daritadi tak henti-hentinya berbincang dengan para guru lainnya, mereka yang pernah mengajar Karisa bercerita tentang bagaimana sikap sisiwi itu ketika sedang berada di dalam kelas, meski hanya sedikit yang mereka ketahui. Di ujung sana juga ada Mei yang lebih memilih untuk tetap diam sejak mendengar kebar mengejutkan itu. Dia terlihat sedang mengoreksi tugas siswa-siswi dengan wajah cemas yang tidak berhasil dia sembunyikan.
Dan yang menjadi pusat perhatian Baron adalah seorang guru wanita muda yang dia temui di TKP tadi, Julie, wanita itu terlihat sedang menenangkan diri di mejanya sambil sesekali melihat catatan akademik milik Karisa. Julie belum lama mengajar Karisa, dia tidak tahu banyak tentang anak itu. Yang jelas, kemarin ini dia baru saja menghukum Karisa karena tidak mengerjakan tugas dan terus-terusan tidur di dalam kelas. Julie berdiri sambil membenarkan letak kacamatanya, menyambut Baron yang berjalan mendekatinya.
“Apakah anda adalah walikelas dari siswi bernama Karisa yang baru saja ditemukan meninggal di halaman sekolah?” Tanya Baron to the point.
Julie mengangguk cemas, “Ya, saya Julie, walikelas dari IX IPS 3.”
“Bisa kita bicara sebentar?”
Wanita itu tampak ragu, dia tidak mungkin menolak permintaan dari penyidik yang sedang menangani kasus itu, Julie pun menyetujuinya, mereka lalu memutuskan untuk berbincang di ruangan konseling, tempat teraman untuk membicarakan hal-hal rahasia.
Seorang guru bimbingan konseling memberikan dua botol air mineral untuk Julie dan Baron, dia kemudian berjalan keluar, meninggalkan dua orang yang akan bicara serius. “Terima kasih, Bu.” Ujar ucap Julie, sementara Baron hanya mengangguk ke arah guru itu. Keduanya sama-sama berdiri tegak, Julie membiarkan Baron untuk bicara lebih dulu, “Ada hal yang ingin saya tanyakan kepada anda terkait dengan Karisa.”
“Apakah ini sudah termasuk proses intrograsi?”
Baron menggeleng, “Tidak, tapi anda akan segera ditetapkan sebagai saksi. Dan sebelum anda menjawab semua pertanyaan penyidik di kantor polisi, saya ingin memastikan beberapa hal.”
Meski sedang ragu dan cemas tapi Julie tetap berusaha untuk mawas diri, dia tidak ingin salah langkah. Baron tentu saja bisa tahu apa yang sedang Julie pikirkan saat itu. “Anda tidak perlu khawatir, saya adalah orang yang bisa dipercaya. Justru saat ini saya sedang berusaha untuk membantu anda agar tidak salah melangkah.” Ujarnya, Baron menatap mata Julie.
Itu adalah kesempatan bagi Julie untuk tahu apakah Baron sedang berbohong atau tidak. Dia menatap mata Baron lamat-lamat hingga mendengar suara pikiran Baron yang berkata, “Anda bisa saja dalam bahaya kalau salah melangkah, dan saya bisa membantu anda.” Itu adalah suara pikiran Baron yang tidak bisa didengar oleh siapapun. Hanya Julie yang bisa mendengarnya. Kemampuan itu diperoleh ketika dia terlibat dalam kecelakaan maut yang melibatkan mendiang orangtuanya. Sejak kejadian itu, Julie jadi bisa mendengar suara pikiran orang lain dengan cara menatap bola matanya lamat-lamat. Hal itu tidak bisa terjadi jika lawan bicara menolak kontak mata atau tatapan mata yang kabur dan tidak fokus. Awalnya Julie merasa terganggu dengan kemampuan itu, dia sering mendengar suara pikiran yang tidak seharusnya dia dengar. Tetapi lama kelamaan, Julie justru merasa bersyukur dengan kemampuan itu, dia bisa membantu siswa-siswinya yang seringkali memendam masalah yang tengah mereka hadapi. Tapi tidak dengan Karisa. Siswi itu selalu menolak kontak mata dengan siapapun, dia seperti takut untuk menatap mata orang lain. Jadi Julie benar-benar tidak tahu tentang isi pikiran Karisa.
“Baik, apa yang ingin anda tanyakan?” Ujar Julie, kini dia sudah berhasil mengendalikan diri, tidak terlalu cemas seperti sebelumnya.
“Mengapa anda berkata seperti itu saat di TKP tadi?”
Meski baru beberapa saat bersama Baron tapi Julie sudah menyukai kepribadiannya yang selalu berterus terang dan tidak bertele-tele. “Itu karena saya takut kalau Karisa bunuh diri setelah saya hukum sebelumnya.”
“Anda menghukum Karisa?”
Julie mengangguk, “Saya menyuruhnya untuk membersihkan toilet sekolah karena dia tidak mengerjakan tugas dan terus menerus tidur saat jam pelajaran.”
Itu adalah hukuman yang wajar. Jaman dulu di beberapa sekolah, hukuman yang diberikan untuk siswa-siswi yang melanggar peraturan bahkan lebih dari itu. Baron tidak menganggap itu adalah hal yang bisa menyebabkan seorang siswi nekat untuk bunuh diri. Dia justru memiliki pikiran yang berbeda dengan orang lain, “Tapi apa anda yakin kalau Karisa benar-benar bunuh diri?” Tanyanya tegas.
Julie menatap bola mata Baron, “Saya merasa ada kejanggalan dalam kasus ini.” Dan itu membuat Julie jadi ikut berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain.