Target pertama Baron hari ini adalah ayahanda Imam. Ia mengendarai mobilnya menuju alamat rumah yang tertera di berkas profile. Adalah Sudrajat, pria berusia lima puluh tahun yang merupakan ayah dari tiga orang anak. Kegiatannya sehari-hari adalah bekerja di perusahaan ekspor-impor produk makanan Korea sebagai kepala gudang. Sementara istrinya merupakan seorang wiraswasta yang menjual berbagai pakaian muslim. Mereka memiliki toko di Pasar Rajamandala, salah satu pasar terbesar di Bandung Barat. Pasangan itu memiliki tiga anak, anak pertama bernama Imam yang merupakan calon suami Mayang, anak kedua bernama Ida yang sedang menempuh Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia, dan anak kedua bernama Ardi yang saat ini duduk di bangku SMA.
Sejujurnya Baron masih merasa gambling mengenai adanya hubungan antara Sudrajat dengan kematian Mayang. Ia tidak yakin apakah hanya karena sebuah restu seseorang bisa menghabisi nyawa orang lain? Bila dipikir dengan akal sehat rasanya tidak mungkin sekali. Tapi lagi-lagi tidak semua orang di dunia ini menggunakan akal sehat mereka dalam bertindak. Dalam perjalanan menuju rumah Sudrajat, Baron sudah menyiapkan beberapa pertanyaan penting yang dia catat di dalam otaknya. Ia kemudian melihat jam di tangan kirinya, sudah pukul setengah tujuh malam, Sudrajat pasti sudah pulang dari kantornya, pikir Baron.
Hanya butuh waktu kurang lebih empat puluh lima menit untuk tiba di rumah Sudrajat karena jalanan sedang ramai lancar. Setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah Sudrajat, Baron mengetuk pintu pagar seraya berkata, “Permisi…” dengan suara yang cukup keras.
Seorang perempuan muda kemudian membukakan pintu pagar untuk Baron, ia bisa pastikan bahwa itu adalah Ida. “Maaf, cari siapa ya?” Tanya Ida.
Sebagai seorang penyidik yang lebih sering bekerja di lapangan, Baron memang jarang mengenakan seragam polisi, ia lebih sering mengenakan baju bebas seperti celana bahan atau sesekali celana jeans, serta kaos polos yang dia padukan dengan jaket berbahan sedikit kaku. Terkadang Baron juga mengenakan kemeja polos lengan panjang yang dia gulung hingga siku. Jadi wajar saja bila orang-orang tidak tahu jika dirinya adalah seorang polisi.
Baron kemudian mengeluarkan tanda pengenal dari saku celana, “Saya Baron, penyidik dari Polres Bandung Barat. Apa benar ini adalah rumah Bapak Sudrajat?”
Terlihat sekali jika Ida terkejut karena rumahnya tiba-tiba didatangi oleh seorang polisi, “I…iya benar. Ada apa ya, Pak?” Tanyanya gugup.
“Apa Pak Sudrajat ada di dalam? Boleh saya masuk?” Baron tidak ingin kedatangannya menimbulkan kehebohan pada warga sekitar, sebab semuanya masih belum pasti.
“A…ada.” Jawab Ida.
“Boleh saya masuk?” Tanyanya sekali lagi.
Ida mengangguk kemudian membiarkan Baron masuk ke rumah orangtuanya.
Perempuan muda itu kemudian berjalan cepat untuk memanggil kedua orangtuanya. Muncullah Sudrajat dan istirinya yang baru saja selesai makan malam. Keduanya tampak kebingungan dengan kedatangan Baron. Ida pasti sudah cerita kalau Baron merupakan seorang polisi. “Maaf, ada apa ya pak?” Tanya Sudrajat.
Baron mengulurkan tangan kanan seraya memperkenalkan diri, “Sebelumnya perkenalkan, saya adalah Baron, penyidik dari Polres Bandung Barat. Kedatangan saya ke sini berhubungan dengan kematian mendiang Mayang, calon istri saudara Imam yang meninggal beberapa hari lalu.” Sang istri terlihat cemas, begitupun dengan Sudrajat yang tidak bisa menyembunyikan ekpresi bingungnya.
“I…iya pak, tapi Imam sedang tidak ada di rumah, dia masih bekerja.” Ucap Sudrajat.
Penasaran dengan apa yang terjadi di ruang depan, Ida beserta adiknya Ardi akhirnya muncul dan berdiri di belakang orangtua mereka.
“Saya datang ke sini bukan untuk bertemu dengan Imam, saudara Imam sudah kami interogasi pada hari kejadian. Kedatangan saya ke sini adalah untuk bertemu dengan Bapak Sudrajat.”
“Ber…bertemu dengan saya?” tanyanya gugup.
Baron mengangguk, “Bisa kita bicara empat mata?”
Sudrajat kemudian melihat ke arah istri dan anak-anaknya, mereka semua saling bertatapan cemas, sejak tadi tangan sang istri tak lepas memegang lengan suaminya. “Maaf pak, tapi kenapa bapak ingin bicara dengan suami saya? Suami saya tidak melakukan kesalahan apapun pak.” Ia hampir menangis jika saja tak ada anak-anaknya di sana, tapi Baron tahu betul bahwa setiap orangtua selalu berusaha untuk terlihat tegar dan kuat di depan anak-anaknya.
Tak ingin melihat keluarganya khawatir, Sudrajat akhirnya meminta sang istri dan kedua anaknya untuk masuk ke kamar, sementara ia berbicara dengan Baron di ruang tamu. Baron senang karena sejauh ini Sudrajat cukup kooperatif. Sebagai permulaan, Baron memberitahu tentang kematian Mayang pada Sudrajat. Kepala keluarga itupun menanggapi, “Sejujurnya saya dan keluarga juga sangat terkejut dengan kematian Mayang yang tiba-tiba. Terlebih beberapa bulan lagi Mayang akan menikah dengan putra sulung saya, namun sayang, takdir berkata lain. Putra saya sangat terpukul dengan kematian calon istrinya. Bahkan hingga saat ini dia terlihat seperti kehilangan semangat hidup. Namun hidup tetap harus berjalan, dia tetap harus menjalankan tanggungjawabnya seperti bekerja, dan lainnya.”
Sejauh ini tidak ada gerak-gerik mencurigakan dari Sudrajat, namun Baron harus tetap fokus dan teliti agar tidak terkecoh, “Berdasarkan informasi yang saya terima, anda tidak merestui Imam menikah dengan Mayang. Apa benar begitu?”
Ekspresi wajah Sudrajat lalu berubah menjadi ekpresi penyesalan, “Ya, saya sangat egois kala itu. Karena Imam adalah putra sulung saya, saya berharap dia bisa mendapat wanita yang jelas bibit, bebet, dan bobotnya, bukan seorang pegawai kasir yang hanya tinggal dengan adiknya dengan orangtua yang tidak jelas keberadaannya. Bahkan hingga mereka tunangan pun, saya masih tidak merestui keduanya. Saya merasa bahwa Imam bisa mendapat wanita yang lebih baik dari Mayang. Apa…apa Mayang mengakhiri hidupnya karena tidak mendapat restu dari saya?” Tanya Sudrajat gemetar.
“Mengapa anda berpikir bahwa Mayang mengakhiri hidupnya?”
“Sebab Imam bercerita pada saya bahwa Mayang ditemukan tidak bernyawa setelah meminum teh yang mengandung racun. Jadi saya pikir…dia sengaja meminumnya.”
“Apa anda pernah bertengkar dengan Mayang secara langsung?” Tanya Baron.
Sudrajat menggeleng, “Sejujurnya Mayang adalah anak yang baik. Dia tidak pernah neko-neko, tidak ada hal lain yang tidak saya suka darinya selain status sosialnya. Mayang juga anak yang penurut, jangankan dengan saya, dengan Imam saja dia tidak pernah bertengkar. Jadi jika saya memperlihatkan ketidaksukaan saya terhadap Mayang secara terang-terangan rasanya aneh sekali. Itulah mengapa saya hanya bersikap dingin pada Mayang sebagai ungkapan bahwa saya tidak merestuinya.”
“Kapan terakhir kali anda bertemu dengan Mayang?”
“Pada saat acara pertunangan mereka beberapa bulan lalu. Saya berusaha untuk menghindari pertemuan dengan Mayang demi menjaga kesehatan mental saya.”
Jika Taka berkata bahwa Mayang tidak pernah bertemu dengan ayah kandung dan kakak sepupunya dalam satu tahun terakhir, itu berarti ayahanda Mayang tidak datang ke acara pertunangan putrinya, entah karena alasan apa. Yang perlu Baron lakukan hanya lah memastikan kebenaran dari ucapan Sudrajat.
Semakin lama Baron merasa bahwa pernyataan Sudrajat semakin menjauh dari target, meski tidak merestui Mayang untuk menjadi istri putra sulungnya, tapi sepertinya Sudrajat tidak akan bertindak sejauh itu. Akal sehatnya sebagai orangtua masih berfungsi dengan baik. Demi mempermudah pekerjaannya, Baron harus membuat targetnya mengerucut. “Ada orang yang sengaja menaruh racun sianida ke dalam cangkir teh Mayang.” Saat mengatakan itu, Baron benar-benar memperhatikan gerak-gerik, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh Sudrajat untuk melihat bagaimana reaksinya ketika mendengar fakta tersebut.
“Innalillahi wainna ilaihi rojiun, jadi…jadi maksud bapak Mayang dibunuh? Si…siapa orang yang tega melakukan itu pada Mayang?”
“Kami masih menyidiki kasus ini, itulah mengapa saya menginterogasi beberapa pihak untuk mendapatkan informasi.”
Meski tak menyukai Mayang, tapi Sudrajat juga merasa kehilangan. Ia kini menyesal karena sudah bersikap dzolim pada Mayang. “Maafkan saya karena tidak bisa memberi informasi apapun tentang Mayang. Kami tidak pernah mengobrol, padahal Mayang selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan cara mengajak saya bicara. Tapi saya selalu mengacuhkannya, akibatnya saya tidak tahu apapun tentang Mayang atau masalah yang sedang dia hadapi.”
Baron mengerti, dia sadar tidak banyak informasi yang bisa dia dapatkan dari Sudrajat. Baron pun mengakhiri interogasi dan berpamitan pulang. Dalam perjalanan menuju rumah, Baron menerima panggilan dari Julie. Wanita itu mengajak Baron untuk bertemu besok karena Adrian berkata ada hal yang ingin dia sampaikan. Baron setuju, mereka akan bertemu di rumahnya pukul lima sore.
******
Suasana pagi di hari Rabu diawali dengan cuaca yang cerah. Matahari tak malu-malu menunjukkan dirinya, dia terlihat sudah menyinari bumi sejak pukul setengah 6 pagi. Julie keluar dari rumah, ia sudah bersiap memulai hari dengan semangat positif. Dikenakannya helm berwarna biru muda, serta tidak lupa jaket dan sarung tangan untuk melindungi kulitnya dari panas sinar matahari dan polusi kendaraan. Dalam perjalanan menuju SMA Cendikiawan III, Julie menyempatkan diri untuk berhenti ketika dia melihat beberapa kucing sedang berkumpul. Julie lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tasnya. Itu adalah makanan kucing yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi. Julie percaya hidupnya akan berkah jika dia membantu sesama makhluk hidup, dan makhluk hidup bukan hanya manusia saja, tapi juga hewan dan tumbuhan. Manusia harus sadar bahwa bukan hanya mereka saja yang hidup di alam semesta ini, jadi sudah sepatutnya jika kita saling menghargai dan melindungi satu sama lain. Contoh yang paling sederhana tapi seringkali dilupakan adalah membuang sampah sembarangan hingga merusak ekosistem yang berdampak pada kehidupan hewan liar dan tumbuhan.
Julie tersenyum seraya mengelus-elus kucing berwarna abu-abu itu. “Kau mungkin berpikir bahwa lebih enak jika hidup menjadi manusia karena mereka adalah makhluk paling sempurna di muka bumi ini. Tapi jika aku diberi kesempatan untuk terlahir kembali, aku lebih memilih untuk terlahir menjadi seekor kucing peliharaan yang tidak perlu bekerja dan menyaksikan kejahatan-kejahatan yang manusia lakukan. Ya, manusia tidak seistimewa yang dibayangkan oleh makhluk-makhluk lain, banyak manusia jahat yang justru tidak berprikemanusiaan. Doakan aku agar bisa menangkap orang-orang jahat itu ya, Meng.” Ujar Julie. Dia percaya bahwa kucing bisa mengerti apa yang manusia katakan. Dan bercerita pada kucing lebih aman daripada bercerita dengan manusia, setidaknya kucing tidak akan mengkhianati tuannya, begitu pikir Julie.
Setibanya di sekolah, Julie langsung disambut dengan sapaan ceria dari April. “Halo, selamat pagi Ibu Julie…” Sapanya heboh. Julie bersyukur memiliki rekan kerja seperti April, wanita itu selalu membawa energi positif di tengah-tengah suasana sekolah yang sedang muram.
Julie tersenyum, “Pagi, Bu April.” Mereka kini berjalan beriringan menuju ruang guru. Tapi tiba-tiba Julie teringat sesuatu, “Eh ngomong-ngomong, Bu April sudah sarapan belum?”
“Emmm…” April berpikir sejenak, “Belum sih, tadi baru makan siomay doang satu porsi. Kenapa, Bu?”
Julie tertawa, “Kalau gitu saya traktir sarapan nasi uduk di kantin mau gak?”
Tentu saja April langsung mengiyakan ajakan Julie. Hampir semua guru di SMA Cendikiawan III sudah tahu kalau porsi makan April setara dengan porsi makan pria. Jika ada acara makan-makan di sekolah, April lah orang yang paling heboh dan siap sedia menyapu bersih sisa-sisa makanan. Mereka berdua akhirnya memesan dua porsi nasi uduk beserta dua gelas teh tawar hangat. Sebenarnya Julie punya alasan tersendiri mengapa tiba-tiba dia mengajak April pergi ke kantin sekolah.
Julie berdeham, dia meletakkan sendoknya di atas piring dan memulai pembicaraan, “Bu, ada yang ingin saya tanyakan deh sama Bu April.”
April yang tengah sibuk mengunyah kerupuk lantas menjawab, “Boleh, Bu Julie mau nanya apa?” Wanita itu terlihat menikmati sekali sarapan paginya, nasi uduk di kantin sekolah SMA Cendikiawan III memang sudah terkenal kelezatannya. Banyak para guru dan murid yang sudah menjadi langganannya.
“Mengenai olimpiade Geografi tahun lalu, kau pernah bercerita bahwa awalnya pihak sekolah menetapkan dua kandidat untuk menjadi perwakilan sekolah, bukan?”
April membenarkan pertanyaan Julie, “Dua orang itu diambil berdasarkan nilai rapor dan nilai ujian Geografi. Saat itu almarhumah Karisa dan Demi memiliki jumlah nilai yang sama, sehingga pihak sekolah memutuskan untuk menyeleksi mereka berdua melalui berbagai test, mulai dari test tulis, test lisan, hingga praktik. Semua murid dan guru tahu kalau keduanya sama-sama bekerja keras untuk olimpiade itu. Mereka bahkan terkenal sebagai pasangan sahabat yang sama-sama ambis. Selama kurang lebih satu bulan menjalani serangkaian test yang ada, pihak sekolah akhirnya memutuskan untuk memilih Karisa sebagai perwakilan sekolah.”
“Karena hasil test Karisa lebih bagus dari hasil test Demi?” Tanya Julie.
April tidak langsung menjawab pertanyaan Julie, dia menoleh ke kanan dan kiri dulu lalu kemudian berkata, “Sebenarnya saat itu nilai dari hasil test Demi lebih besar daripada Karisa, tapi entah mengapa Pak Wira lebih memilih Karisa.” Ujarnya pelan.
“Kok seperti itu?”
April mengendikkan bahu, “Entahlah. Tapi saat itu saya salut dengan Demi karena dia berbesar hati menerima ‘kekalahan’ dan tetap mendukung sahabatnya. Karena tidak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah menaruh harapan tinggi padanya, Karisa akhirnya belajar mati-matian selama kurang lebih tiga bulan untuk olimpiade Geografi. Sebab hadiah dari olimpiade itu tidak main-main, pemenangnya akan mendapat beasiswa full untuk kuliah dimana saja sampai lulus, dan pihak sekolah juga akan mendapat penghargaan serta dana bantuan dari pemerintah pusat.”
“Luar biasa sekali hadiahnya…” Ujar Julie. Jelas itu merupakan olimpiade bergengsi dimana hanya murid-murid terpilih yang bisa ikut serta.
“Yap, luar biasa banget. Itulah mengapa semua orang, khususnya pihak sekolah menaruh harapan tinggi pada Karisa. Dan mungkin karena hal itu juga Karisa jadi merasa tertekan, ia seperti memikul beban berat di pundaknya, ya, beban yang merupakan ekspektasi dari orang-orang di sekitarnya. Saat olimpiade berlangsung, Karisa terlihat tidak fokus. Dia bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mudah yang merupakan dasar dari Geografi. Dan Bu Julie tahu? Di hari terakhir pelaksanaan olimpiade, Karisa bahkan menangis histeris seperti sedang melihat hantu. Dia tidak bisa menjawab satu soal pun.”
Itu adalah fakta yang baru Julie ketahui. Dia tidak tahu jika ternyata pelaksanaan olimpiade Geografi berlangsung sedramatis itu. “Tunggu…tadi Bu April bilang di hari terakhir olimpiade? Memang olimpiade berlangsung berapa lama?”
“Satu minggu, olimpiade dilaksanakan di Jakarta selama seminggu.”
“Siapa yang mendampingi Karisa selama di Jakarta?”
“Tentu saja Pak Wira selaku guru pembimbing dan Bu Mei selaku wali kelas Karisa kala itu.”
Julie mengangguk paham. Rasanya sudah untuk mengorek informasi dari April hari itu, ia tidak ingin membuat rekan kerjanya merasa tak nyaman. Julie pun beralih pada topik lain namun masih saling berhubungan, “Ngomong-ngomong soal Bu Mei, bagaimana ya cara mendekatinya? Aku ingin sekali akrab dengannya.”
April akhirnya meletakkan sendok di atas piring yang sudah kosong, sama sekali tak tersisa satu butir nasi di piringnya. Ia kemudian menyipitkan kedua mata dan berkata, “Itu adalah sebuah misteri yang belum terpecahkan. Jika aku tahu caranya, kita pasti sudah makan nasi uduk bertiga sekarang.” Jawabnya dengan nada sok misterius.
Julie tertawa kecil melihat tingkah April, meskipun usianya lebih muda dari Julie, tapi terkadang April masih bertingkah kekanak-kanakan. Wajar jika April merasa senang dengan kehadiran Julie di sana, sebab kepribadian April yang ceria dan berjiwa muda, bertolak belakang sekali dengan kepribadian guru-guru SMA Cendikiawan III yang lain. Namun berkat perbincangan dengan April pagi tadi di kantin sekolah, Julie jadi memiliki beberapa rencana yang akan dia jalani hari ini.