Bab 55 : Alasan

1033 Words
Sebelum Mia dan Akram datang, seorang tamu mengetuk pintu rumah bergaya minimalis itu. "Ya, sebentar!" ujar Frans. Ia langsung membuka pintu meski tidak ada tuan rumah di sana. "Kau siapa?" tanya laki-laki berperawakan tinggi. "Kau?" tunjuk Frans. "Akram nggak ada?" tanya Hilmi sambil melihat ke arah dalam. Sesuatu yang dirasa tidak sopan. Namun, ia tak peduli. "Ada urusan apa?" tanya Frans. "Kamu siapanya Akram? Apa gadis itu?" Frans mengernyit. Gadis katanya. "Aaaaaa kamu juga menyadari kalau dia masih gadis?" Frans mendesis. "Apa maksudmu?" Hilmi melangkah maju. Ia dekatkan mulutnya ke telinga Frans. "Dengarkan baik-baik karena aku tidak akan mengulanginya. Sampaikan ke Akram untuk tidak mendekati Nasha lagi. Dia sudah punya istri. Jangan sampai aku yang mengambil alih posisinya." Frans memicingkan mata. Ia tak suka dengan kata-kata Hilmi. Sangat provokatif. Hilmi menegakkan badan. Ia kembali mengedarkan pandangan dan menatap seisi rumah Akram dengan tatapan penuh benci. Hilmi menepuk pundak Frans dan berlalu tanpa beban. "Tunggu!" sergah Frans. Hilmi pun menoleh. Frans melangkah maju. "Apa yang sebenarnya sudah dilakukan Akram? Mengapa anda harus repot-repot ke sini." Hilmi mendecih. Rupanya Frans penasaran. Ia pun membalikkan badan. "Tanya sendiri dengannya." "Dia tidak mungkin menjawab." Hilmi terkekeh. Ia mulai berpikir kalau pria di depannya itu juga tidak suka dengan Akram. "Dia sembarangan memeluk kekasih orang," tukas Hilmi. Frans membelalak. Akram melakukan itu? Hilmi menanggapi keterkejutan Frans dengan mengangkat tangan. "Aku serius dengan ucapanku. Jadi tolong kau jaga saudaramu," pungkas Hilmi untuk kemudian benar-benar pergi. Ucapan Hilmi membuat Frans kesal. Apa yang diasampaikan pria itu semakin menguatkan dugaannya. Akram memang sembarangan dalam menanggapai pernikahannya dengan Mia. * Frans pun menepikan mobil dan membanting stir. Bayangan tentang Akram dan Mia yang berciuman membuatnya sakit hati. Sungguh ia benci. Ia tak mengira Akram akan sejauh ini. "Dasar!" umpat Frans. Ia menghindar sejauh mungkin dari rumah itu, namun tidak bisa mengabaikan adegan Mia dan Akram yang saling bertukar saliva. Frans meraih ponsel. Ia baca ulang apa yang dikirimkan Akram padanya. Hal itu membuatnya semakin tersulut emosi dan menyebabkannya memukul Akram. [Kau tak perlu ikut campur. Urusan Mia menjadi urusanku. Sibuklah dengan urusanmu sendiri. Lagian yang suaminya Mia itu aku bukan kamu.] "Sial," desis Frans. Dan tiba-tiba ponsel itu bergetar. "Ya, Pak." Di mana kalian? Kenapa belum datang? tanya Agit dari sambungan itu. "Maaf, Pak. Kami sepertinya terlambat." Kenapa bisa? Ada hal yang mendesak? Frans terdiam. Ia bisa saja menyampaikan semua hal yang ia tahu tapi rasanya sulit. "Akram dan Mia sedang di rumah Akram, Pak. Katanya ibu Akram sakit. Innalillah, Mbak Yurika? "Iya." Ya sudah kalau begitu. Yang penting kamu ke sini Frans. Urus toko dan orang-orang dulu. Jangan buat orang-orang semakin lama menunggu. Frans menghela napas berat. Ia selalu menjadi penutup segala kegagalan yang dilakukan Mia. "Baik, Pak." Oke. Bapak tunggu. Sambungan pun terputus. Frans melihat layar ponselnya. Ia membenci dirinya sendiri yang tak berani memberontak walau satu kali. Frans memainkan ponselnya dan memutuskan membuka galeri foto. Melihat bagaimana Mia kecil sangatlah manis. Berbeda dengan Mia yang sekarang. Frans menyandarkan punggungnya. Ia harus melupakan gadis manis itu. Ia harus benar-benar menghapuskan segala rasa. Tanpa sadar setetes air bening lolos dari pelupuk matanya. * "Awww!" pekik Akram. Ia terlalu bersemangat melakukan aksinya hingga tanpa sadar sudut bibirnya yang terluka menjadi semakin sakit. Mia pun membuka mata. "Maaf," refleksnya. Akram tersenyum kecil. Ia tidak mau mengakui bahwa ia dan Mia telah.... "Nggak apa-apa. Aku yang minta maaf." Mia mengerjapkan mata. "Emmmm, kenapa?" Akram menggeleng. "Nggak apa-apa." Mia meremas ujung jilbab. Ia bingung harus berbuat apa. Suasana menjadi canggung. Mia dibuat salah tingkah. "Ke tokonya besok aja, ya. Aku ngantuk mau istirahat." Mia mengangguk lagi. Selalu setuju dengan apa pun yang diucapkan Akram. "Dari jam satu pagi?" "Iya. Belum sempat tidur." "Baik, Mas." Mia beranjak dari posisinya. Hal itu membuat Akram sedikit kecewa. "Mau ke mana?" "Ambil obat, Mas." Akram memegang sudut bibirnya. "Oh, iya." Mia mengulas senyum. Ia berjalan ke arah dapur di mana peralatan P3K itu tersimpan. "Nggak kenceng-kenceng," celetuk Akram setelah Mia kembali. "Iya, Mas. Aku pelan-pelan." Mia mulai membubuhkan cotton bud dengan sedikit obat. "Aaaaa!" "Sakit Mas? Maaf? Akram menggeleng. Ia hanya sedang bercanda. Tanpa sadar ia juga tersenyum manis pada Mia. "Nyebelin," celetuk Mia "Kamu berharap aku kesakitan? Iya?" Mia menggeleng. "Nggak, lah." Gadis itu pun kembali melanjutkan pengobatannya. "Maafin Kak Frans ya, Mas. Aku nggak ngerti kenapa dia begini." Akram mengangguk malas. Di saat seperti ini mengapa Mia harus menyebut nama pria itu. Akram tidak suka. "Kak Frans orangnya baik, lemah lembut. Nggak pernah mukul orang. Eh malah mukul kamu Mas. Maafin banget, ya." "Hmmm," timpal Akram. Ia menikmati garis wajah Mia yang jika diperhatikan dengan jarak dekat tampak cantik. Kulit bersih, bulu mata yang lentik, hidung mancung dan... bibir yang ranum. Akram menelan ludahnya. "Mas...." "Hmmmm." "Maafin kak Frans," ujar Mia masih dengan gerakan tangan membersihkan luka di sudut bibir Akram. "Males." Sontak Mia mendongak. Hal itu mengakibatkan tatapan mereka bertemu. Sejak tadi Akram sedang mengawasi. Mia dilanda gugup. Ia tak bisa mengabaikan pesona suaminya. Sungguh, ia bersyukur bisa sedekat ini tapi sulit baginya mengendalikan diri. "Urusan cowok, Mi," jawab Akram mengambil kata-kata Frans. Mia pun mengernyit heran. "Udah ngobatinnya?" tanya Akram. Ia sengaja merangkum wajah Mia dengan menatapnya intens. Bayangan akan kecupan tadi terputar di depan Mia. Gadis itu semakin salah tingkah. Semakin gugup tak terkira. Dadanya kembang kempis menahan rasa. Mia menunduk dengan cepat. "Udah," ujarnya sembari membereskan peralatan. "Oke. Makasih." Akram pun berdiri. "Mau ke mana, Mas?" "Tidur lah." Akram mengayunkan langkah menuju kamar di lantai satu. Sikapnya berubah lagi. Jelas sekali mode suka-suka. Mia memastikan semua peralatan P3K sudah masuk ke dalam kotak. Ia berjalan kecil meninggalkan sofa ruang tamu menuju kamarnya di lantai dua. Aneh memang saat mereka memilih tidur di kamar masing-masing. Mia berjalan pelan sambil meraba bibirnya. Pengalaman pertama yang sulit untuk ditepis sensasinya. Mia menggeleng, ia tidak boleh berpikir terlalu jauh. Sementara Akram di dalam kamar mengacak rambutnya kasar. Ia cukup bodoh karena nyaris terbawa perasaan. Anehnya, hatinya sedikit berdebar. Wajah bersih Mia, bulu mata yang lentik, hidung mancung dan bibir yang... Akram menelan ludah. Ini bukan yang pertama baginya. Ia sudah pernah melakukannya dengan Nasha. Namun, saat itu Mia.... Akram menggeleng lagi. Ia tidak boleh terlalu berpikir macam-macam. Namun, ia tetaplah laki-laki normal. Aksinya tadi tentu berbuntut panjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD