Ada yang bilang waktu bisa mengubah semuanya termasuk perasaan seseorang. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Danial Akram. Setelah apa yang ia lakukan pada Mia di depan Frans, ia masih saja bersikap ketus dan tak acuh pada gadis itu. Tak ada perkembangan yang berarti dan itu membuat perasaan Mia kembali tersakiti. Mia meraba organ pemompa darah miliknya. Selalu berdegup lebih kencang saat ia berdekatan dengan Akram. Tak terkecuali hari ini tiga hari berselang setelah insiden tersebut.
Untuk sekarang, Mia dan Akram sudah harus ke toko demi menemui beberapa karyawan untuk percepatan launching toko tersebut. Ayahnya menaruh harapan besar pada mereka dan memberi pesan : semakin lama menunda, semakin lama pula status mereka sebagai pengangguran.
Pesan yang dikirimkan Frans terus mengusik pikiran Mia. Sejak pagi ia sudah menyibukkan diri di dapur. Setidaknya Mia harus menyiapkan sarapan agar Akram terkesan meski ala kadarnya. Sebelum ia bertemu dengan Frans. Mia sudah mengatur janji dengan kakak angkatnya. Ia merasa perlu menemui Frans setelah insiden itu.
“Sudah siap?” tanya Frans yang menyempatkan datang menjemput Mia dan Akram. Sengaja langsung masuk dan menghambur ke dapur.
“Eh, Kak, bentar lagi,” timpal Mia. Akram masih asyik di dalam kamar.
“Mana bocah itu?” tanya Frans sambil mencomot sandwich buatan Mia.
“Lagi siap-siap paling, Kak.”
Frans pun menoleh. Jam delapan lebih belum siap? Batinnya.
“Kakak belum sarapan?”
“Belum. Tadi nggak sempet. Kirain kalian udah stand by di depan.”
“Maaf, Kak,” ujar Mia seraya mendekatkan segelas teh hangat.
Frans tak menjawab. Ia lebih memilih melahap roti isi tersebut. Mia sejak dulu tidak terlalu pandai membuat makanan.
“Kenapa? Nggak enak, Kak?” tanya Mia khawatir. Ia sendiri belum mencobanya.
Frans terkekeh. Nampak jelas wajah jelek Mia saat sedang ketakutan. “Enak, enak. Bisa diterima lah,” kelakar Frans.
“Alhamdulillah.” Mia pun mengambil satu potong dan mulai menggigitnya. Ia tersentak. “Enak, Kak ternyata.”
Frans mengangguk setuju. Ia sendiri mengakui. “Artinya harus selalu mencoba, Mia. Dengan begitu kamu akan terbiasa.”
Mia mengangguk. Benar, ia hanya tidak pernah mau mencobanya dan selalu takut jika rasanya tidak enak. Keduanya menikmati sarapan sederhana itu sambil bertukar tawa. Mereka tidak tahu jika tak jauh dari dapur ada seseorang yang mengawasi dan menyaksikan aktivitas itu dengan perasaan campur aduk. Akram yang tadinya akan ke dapur untuk meneguk segelas teh, mengurungkan niat. Ia memilih keluar lebih dulu dan menunggu di teras.
Ponsel Frans bergetar. Sebuah pesan dari nomor kontak tanpa nama terlihat pada layar. Frans sempat membacanya.
[Gue tunggu di mobil.]
Frans refleks menoleh. Bisa jadi Akram memang menyaksikan aktivitasnya dengan Mia. Ia pun sengaja memperlambat cara memakan sandwich sambil menatap Mia.
“Udah?” tanya Frans begitu Mia kesulitan meraih tisu yang jauh lebih dekat dengan jangkauannya.
“Udah, Kak.”
“Nih,” ujar Frans sembari membantu Mia.
“Makasih, Kak.”
Frans mengangguk. Ia tersenyum tipis. Meski sebelumnya mereka sempat bersitegang, sebagai kakak ia tak bisa mengabaikan. Saat ayah mereka bilang jemput adikmu dan arahkan ke perkembangan toko, ia tidak bisa menolaknya.
“Ayo, Mia. Akram udah di depan.”
Mia pun terlonjak. “Mas Akram?”
“Iya. Ini WA katanya nggak mau sarapan.”
Ucapan Frans tak pelak membuat Mia kecewa. Mengapa Akram justru memberi pesan kepada kakaknya dan bukan pada dirinya. Harapan Mia memang terlalu tinggi.
“Ayo, entar telat, lo.”
“Ya, Kak.” Mia pun merapikan gelas bekas teh hangat miliknya dan Frans. Ia hendak menutup meja makan itu dengan tudung saji namun pergerakannya terhenti.
“Kakak ke depan dulu aja. Aku mau ke toilet bentar.”
“Beneran?”
Mia mengangguk mantap. Ia menunggu kakaknya berlalu dari dapur itu. Ada hal lain yang ingin ia lakukan.
“Oke. Nggak lama, ya.”
“Iya, Kak.” Frans pun berlalu. Segera Mia mencari kotak makan yang biasa ia pakai. Tidak mungkin ia biarkan suaminya pergi dengan perut kosong. Dua potongan sandwich itu Mia bungkus dengan cukup baik dan ia lesakkan dalam sebuah paper bag. Ia harus membawakannya.
Di dalam mobil Akram dan Frans sudah duduk pada posisi masing-masing. Frans yang mengemudi, Akram berada di sampingnya dan Mia akan duduk di belakang.
“Maaf lama, Mas,” ujar Mia pada Akram. Sejak subuh tadi mereka bahkan belum bertemu. Sepertinya Akram berusaha menghindarinya.
Tak ada jawab dari Akram. Ia justru mengedikan dagu dan meminta Frans melajukan mobil tersebut. Meski jengkel Frans hanya diam. Ia sudah berjanji dengan adiknya untuk tidak membuat masalah dengan Akram.
Di toko yang belum resmi dibuka itu beberapa karyawan menunggu atasannya. Jika biasanya semua hal yang berkaitan toko berurusan langsung dengan juragan utama berbeda dengan yang ini. Agit sudah bilang dari jauh-jauh hari toko ini adalah hadiah pernikahan untuk putrinya. Ia meminta semua orang memperlakukan dengan baik putri dan menantunya kelak.
Kasak kusuk mulai terdengar begitu rombongan yang dikomando oleh Frans sampai di parkiran toko. Satu per satu karyawan menunduk dan membentuk pagar betis. Akram tersentak. Hal ini jelas berlebihan baginya yang dulu bahkan bekerja sebagai salah satu crew toko. Begitu juga dengan Mia. Ia bukanlah perempuan yang gila hormat meski terlahir sebagai anak juragan kelas satu di kotanya.
“Rileks aja. S.O.P nya memang begini,” terang Frans.
“Tapi, Kak....”
“Ck! Tapi terus. Kapan nurutnya?”
Mia urung melakukan pembelaan. Jika kakaknya bersikap seperti itu tandanya semua sudah diperhitungkan dengan matang. Akram lagi-lagi tidak senang melihat bagaimana Frans terlalu mendominasi di antara mereka bertiga.
“Ayo!” ajak Frans pada Mia dan Akram. Ia memimpin langkah karena memang ia yang lebih paham dengan situasi toko.
“Selamat pagi, Pak Frans. Bagaimana kabar anda?” tanya salah satu karyawan.
“Pagi juga. Baik, baik sekali.”
“Selamat pagi Mbak Mia dan Mas Akram,” imbuh karyawan tersebut.
“Pagi, Pak,” jawab Mia dan Akram kompak.
“Mari saya antar ke dalam.”
Frans mengangguk. Ia memang sengaja membuat prosedur sendiri pada toko yang akan diurus adiknya. Ia sudah berjanji pada sang ayah akan mengajarkan semua ilmu yang ia punya.
Akram mengedarkan pandangan. Mau sebesar dan semegah apa pun bangunan toko di depannya, baginya tetap biasa saja. Itu semua bukan murni miliknya. Akram terus melangkah. Ia ada hanya sebagai pelengkap saja. Ia juga merasa tidak perlu terlalu memiliki tempat ini.
“Silakan buka tirainya,” ucap Frans pada karyawan tadi. Uniknya, ia sengaja merahasiakan perwajahan gedung itu dari Mia dan Akram. Ia ingin memberikan kejutan.
Kain penutup bangunan itu pun perlahan turun, sedikit demi sedikit memperlihatkan tulisan yang menjadi icon bangunan tersebut. Akram tidak terlalu antusias. Ia yakin akan sama dengan cabang-cabang toko milik mertuanya sebelumnya. Namun, begitu kain penutup itu sempurna teronggok di lantai dasar, mata Akram membelalak.
“Sport and....”
Frans menoleh. Ia yang sejak tadi memimpin sengaja memberi ruang bagi Akram dan Mia untuk mengamati bangunan itu.
“Selamat, Mia. Sesuai dengan yang kamu harapkan, Bapak membangun toko perlengkapan olahraga. Di mana di dalamnya ada stand khusus sepak bola. Ini mimpi kamu dan Akram.”
Mendengar ucapan Frans membuat Akram semakin tersentak. Impian Mia dan dirinya? Dari mana Mia tau akan hal itu?
Mia mengangguk kecil. Nampak jelas setitik air mata jatuh di pipinya yang bersih. Ia sejak awal sangat paham apa yang menjadi keinginan suaminya. Mia menoleh ke sisi kiri. Ia melihat Akram yang masih terkejut dengan keadaan ini. Namun, ia berusaha menenangkan.
“Bukan aku, Mas. Ini Bapak yang buatkan,” terangnya.
“Atas dasar rekomendasi dari kamu,” imbuh Frans. Mia mengulas senyum pada kakak angkatnya seolah berkata terima kasih lewat tatapan mata.
Sementara Akram terpinga. Impian? Apa ini benar adanya?