Mia bolak balik melihat ponselnya. Sudah sejak tadi Frans menghubungi namun Mia mengabaikan.
"Ada apa, Nduk? Diangkat dulu kalau penting," ujar Danu. Ia tak bodoh untuk melihat kegelisahan menantunya.
"Emmmm, nggak, Pak."
Akram melirik sekilas. Mungkin pria menyebalkan itu berusaha mengacaukan semua. Akram pun bersikap masa bodoh dan melanjutkan sesi makan siangnya bersama Danu dan Mia.
"Gimana perkembangan toko, Mia? Sudah beres semua?" tanya Danu teringat akan hal itu.
"Emmmm, sebenarnya...."
"Masih persiapan, Pak," sambar Akram. Mia pun melihat ke arah suaminya.
"Ya, Pak. Masih persiapan," tutur Mia.
"Tapi beres semuanya, kan? Bapak kamu bilang tinggal launching aja?"
Mia mengangguk kecil. Ia tidak yakin karena ia sendiri belum pernah ke toko lagi. Harusnya hari ini.
Drrt....Drrt.... Nomor tak dikenal masuk ke ponsel Akram yang teronggok di meja makan. Semua bisa melihatnya.
"Nggak diangkat?"
"Paling orang iseng, Pak."
"Diangkat dulu siapa tau penting."
"Kalau penting nanti juga ngubungin lagi," jawab Akram cuek. Ia masih asyik dengan hidangan makan siang di meja. Hingga akhirnya ia tak tahan karena nomor itu terus menghubunginya.
"Ya, halo?"
Balik ke rumah sekarang atau aku beberkan semua rahasia kalian!
Sentak seseorang di balik panggilan itu.
"Halo ini siapa?"
Mana Mia? Bilang ke dia buat angkat telepon dari aku. Sekarang, kalian aku tunggu di rumah.
"Siapa kamu nyuruh-nyuruh aku? Suka suka aku mau pulang kapan," ucap Akram ketus.
Danu pun memerhatikan Mia menguntai tanya. Namun, Mia menggeleng kecil.
Pulang sekarang juga atau aku beberkan kalau pernikahan kalian....
Buru-buru Akram mematikan sambungan itu. Ia berdecak kesal. "Orang gila!"
Danu tersentak. Tak biasanya putranya bersikap seperti itu. Akram adalah anak yang penurut lagi baik. Danu merasakan sedikit perubahan pada sikap putranya.
"Udahan, Nduk? Nggak nambah?"
Mia menggeleng. "Sudah kenyang, Pak."
"Oh, begitu. Ini kalian ada janji nggak sama orang lain? Jangan sampai malah kelamaan di sini.
"Nggak ada, Pak. Hari ini free," sambar Akram lagi. Mia bahkan belum sempat menjawab pertanyaan Danu.
"Ndak usah bohong, Kram. Kamu nggak bakat. Dah, kalau habis makan balik ke aktivitas kalian. Nggak usah pikirin yang di sini."
"Tapi, Pak...."
"Ibu cuma syok. Nanti baikan lagi. Masalah sakitnya, besok kalau udah jatahnya kontrol Bapak kasih tau."
Suapan terakhir dari piring Akram menjadi kurang nikmat. Ia mau tidak mau kepikiran lagi tentang kesehatan sang ibu dan tentunya tentang nasihat itu. Akram menyudahi sesi makan siangnya.
"Udah, Mas?" tanya Mia. Ia akan membawa piring itu ke belakang.
"Aku bisa sendiri," jawab Akram malas.
Mia menghela napas. Setidaknya ia ingin membantu bukan mengganggu. Mia pun mengabaikan sikap Akram. Ia menyusul Akram ke dapur.
"Yang dari tadi nelpon, Frans?" tanya Akram sambil membilas piring yang sudah ia bersihkan.
"Iya, Mas." Mia mengambil busa pencuci piring.
"Harus banget sekarang?"
Mia berusaha tetap tenang. Ia nikmati momen mencuci piring itu. Akram sedang mengawasi.
"Bapak minta kita buat ketemu orang-orang toko, Mas. Sebelum nanti kita mulai kerja di sana."
"Bapak apa Frans?"
"Kak Frans itu hanya membantu, Mas."
"Penting banget acara hari ini?"
Mia mengangguk kecil. Tak berani langsung menjawabnya karena ia sendiri tidak enak jika harus pergi tanpa suaminya.
"Bisa jadi iya, Mas."
Akram menghela napas. Sungguh, kalau bukan karena ucapan Frans, ia mau-mau saja.
"Ya udah aku ganti baju sebentar."
"Ganti baju?" tanya Mia heran.
"Mau aku pake baju bekas nglayat?" Mia melihat kaus yang dikenakan suaminya. Masih sama dengan yang semalam.
"Belum mandi, Mas?"
Akram mengangguk. "Baru sikat gigi."
Mia pun tersentak. Sejak tadi rupanya ia bersama pria yang bahkan belum membersihkan badannya. Refleks Mia memencet hidungnya. Akram pun meninggalkan Mia dengan aktivitas dapur. Tak berani menanggapi tingkah manis sang istri.
*
Sesampainya di rumah, Mia dan Akram disambut dengan tatapan tak mengenakan dari Frans. Pria itu duduk bersedekap di sofa ruang tamu.
"Duduk!" pinta Frans. Dari nada bicaranya terdengar kekesalan.
Mia dan Akram saling pandang. Mereka bicara lewat tatapan mata yang kemudian mengangguk kecil.
"Sejak kapan?" todong Frans. Ia menahan segala macam bentuk kekecewaan.
"Apa, Kak? Kapan apanya?"
"Kamu sepakat dengan itu semua, Mia? Kamu nggak ngrasa dosa?"
Mia mengernyit. Ia tidak mengerti dengan ucapan Frans begitu juga Akram. Frans menatap ke arah lantai dua.
"Kalian bahkan tidak tidur satu kamar? Kalian benar-benar anggap ini lelucon?" desak Frans.
Deg!
Mia dan Akram meninggalkan seorang yang tidak seharusnya berada di rumah mereka. Frans meski cukup tahu tentang kondisi pernikahan yang mereka jalani, bisa jadi berpikiran lain. Mia merasa bersalah.
"Maksudnya apa? Jangan sok tau," timpal Akram.
"Jangan munafik. Kalian bahkan mengabaikan semua nasihat orangtua," sahut Frans.
"Nasihat yang mana? Kita baik-baik aja, kok." Akram berlagak santai. Ia merangkulkan lengannya ke pundak Mia. Sontak Mia menjengit.
"Kalian mau jujur apa mau hancur?" Entah apa yang membuat Frans melakukan ini. Yang pasti ia kesal sekali saat Mia mengabaikannya.
"Kamu tuh nggak tau apa-apa!" Akram menatap tajam ke arah Frans. Pria itu bahkan berani menghinanya. Sungguh hal yang menyebalkan.
"Jangan berkamuflase. Aku tahu karena Mia juga cerita. Yang nggak aku tahu cara kalian berpura-pura luar biasa."
"Kak," pekik Mia.
"Kamu diam, Mia. Mau sampai kapan diperlakukan seperti itu oleh suamimu."
Akram mendecih. Sejak awal melihat Frans, ia memang sudah tak suka.
"Apa maumu? To the point!" Akram menjadi semakin berani. Adrenalinnya terpanggil.
"Tunjukkan sikap asli kalian. Jangan terus-terusan berbohong pada orang tua terutama kamu, Kram."
"Apa yang harus ditunjukkan, Frans. Orang tua kita nggak pernah nuntut apa-apa."
Ya, Akram merasa semuanya berjalan baik. Meski tak ada perkembangan dari perasaanya ia masih bisa menjalani pernikahan ini.
Tangan Frans mengepal. Ia benar-benar kesal karena satu alasan. Ia menjadi tak bisa mengontrol dirinya. Frans berdiri. Ia hampiri Akram yang duduk bersebelahan dengan Mia dan menarik kaus Akram.
"Kak Frans!" sentak Mia berusaha melerai. Namun, Frans justru menatap tajam ke arah Akram.
"Jangan sekali-kali sakiti adik gue apalagi sampai ngrusak semuanya. Gue nggak bakal terima."
"Lo apa-apaan, sih Frans. Bacot lo!"
Bug!
Satu pukulan mendarat di wajah Akram.
"Kak Frans!" teriak Mia.
Setelah melampiaskan amarahnya, Frans melepas cengkeramannya di kaus Akram. Ia sedikit menjauh.
"Kamu nggak apa-apa, Mas?" tanya Mia khawatir. Nampak sudut bibir Akram memerah.
Akram mengangguk kecil. Tak masalah ia dipukul. Bisa jadi ia memang pantas. Terlebih apa yang ia kirimkan dalam bentuk pesan ke nomor Frans cukup menyinggung perasaan pria itu. Akram merasa menang.
"Kalian, terutama kamu kalau sampai nggak nurutin arahanku, aku bongkar semua kebohongan kalian!" Frans masih marah.
"Kak Frans ada apa sebenarnya? Kenapa begini?" protes Mia. Ia mulai kalut melihat ketegangan suami dan kakak angkatnya.
"Ini urusan cowok, Mia. Kamu nggak mungkin tau."
Akram mendecih. Frans menjadi cukup lucu. Akram kembali meraba sudut bibirnya.
"Awww!"
"Sakit, Mas?" Akram mengangguk.
"Aku ambilin kotak P3k dulu, Mas." Mia hendak berdiri untuk mengambil peralatan itu. Namun, Akram mencegahnya.
"Nggak usah."
"Tapi, Mas...."
"Duduk aja. Aku mau konfirmasi sesuatu."
Mia mengernyit. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang dibahas Frans dan Akram. Ia tidak tahu apa-apa. Frans menatap jengah ke arah Akram. Berandal kecil ini memang menyebalkan.
"Mia," panggil Akram.
"Ya, Mas."
"Kita perlu melakukannya biar tau seperti apa rasanya."
Mia mengerjap bingung. Melakukan apa?
"Maafin aku, Mi," ucap Akram seraya menangkup pipi Mia. Dan apa yang menjadi harap Mia selama ini menjelma nyata. Pelan nan lembut bibir itu menyapu permukaan bibirnya.
"Sialan lo, Kram!" desis Frans.
Hal itu sontak membuat Mia bergeser. Namun, Akram menariknya. Ia sengaja menunjukkannya di depan Frans. Akram tahu Mia belum berpengalaman. Ia biarkan gadis itu menerima hal baru yang ia berikan sambil terus membimbingnya.
"Jangan ditahan, ikuti nalurimu," lirih Akram.
Mia tak bisa menolak. Ia hanya akan pasrah dengan kedekatan pertamanya itu bersama Akram. Ia percaya suaminya tak akan menyakiti.
Sementara Frans meninggalkan ruang tamu dengan api yang membakar hati. Ia tidak mengira akan mendapatkan pembuktian murahan dari Akram. Sejatinya, ia hanya ingin menjauhkan Mia dari laki-laki tak bertanggung jawab seperti Akram.