Dania melakukan banyak hal di rumah Akram. Sadar betul kalau harus menumpang beberapa hari, ia mengambil alih pekerjaan dapur.
“Panggilin Mia, Kram. Kita makan malam,” ujarnya.
“Kakak udah masak?”
Dania mengangguk. Ia melepas celemek berwarna biru yang mungkin milik Mia dan siap menikmati makan malamnya di rumah itu.
“Kak,” panggil Akram. Sebelum makan, ia harus memastikan beberapa hal.
“Apa?” timpal Dania seraya meletakkan piring.
“Bukan kakak yang nyalahin, kan? Bukan karena kakak yang terus berhubungan dengan Mas Danang?” Akram benar-benar penasaran.
“Maksud kamu apa, Kram? Siapa yang bilang? Mas Pram?” Dania menuntut balik penjelasan dari adiknya. Selama ini ia bahkan tak pernah berkomunikasi lagi dengan Danang.
Akram menggeleng. “Akram cuma mau mastiin, Kak. Akram coba ambil kesimpulan sendiri.”
Dania sedikit kesal. Ia mengenyakkan diri di kursi makan seraya mengambil nasi dalam rice cooker.
“Itu berita tidak benar. Kasihan Mas Danang nggak tau apa-apa malah jadi kebawa. Kamu harus hati-hati, Kram.”
Akram menunduk. Cukup takut sebenarnya karena ia bicara sesukanya. “Maaf, Kak.”
Dania mengulas senyum masam. “Oke, Kram. Sekarang panggil Mia, ya.”
Akram mendorong kursi dengan kaki. Ia harus kembali ke lantai dua setelah sebelumnya pun berusaha membujuk gadis itu dan berakhir dengan penolakan. Ia mendengkus kesal.
Tok! Tok! Tok!
Akram mengetuknya lebih dulu. Takut Mia sedang berganti pakaian atau barangkali sedang tidak mengenakan jilbab. Mereka masih belum terbiasa.
“Masuk, Mas,” jawab Mia dari dalam. Perlahan Akram membuka pintu kamar mereka. Ya, malam ini kamar itu menjadi kamar mereka berdua bukan lagi kamar Mia.
“Kamu nggak makan?” Akram bersandar di gawang pintu.
Mia menggeleng. Sejak siang perutnya terasa penuh. Ia juga merasakan mual dan pusing kepala yang membuatnya tidak berselera.
“Ditungguin Kak Dania.”
“Maaf, Mas,” lirih Mia. Tampak sekali wajah gadis itu pucat pasi.
Akram pun menghentakkan kaki. Ia melangkah maju, mendekati Mia yang terbaring di tempat tidur. Akram berinisiatif melakukan sebuah pemeriksaan awal.
“Kamu demam?” tanyanya saat telapak tangan miliknya menempel di dahi Mia.
“Enggak, Mas.”
“Enggak gimana? Ini panas banget.”
Mia menggeleng. Ia merasa tidak baik-baik saja tapi tidak ingin membuat suaminya khawatir.
“Aku cari termometer dulu.”
Mia terus menggeleng. Baginya tidak perlu. “Nggak usah.”
Akram menoleh. Ia menatap tak suka ke arah Mia. Gadis yang selalu membantahnya. Akram pun keluar dari kamar itu seraya mencari peralatan P3K di lantai satu.
“Cari apa, Kram?”
“Termometer, Kak.”
“Termometer? Mia demam?”
Akram mengangguk. “Panas banget.”
Tanpa menunggu lagi, Dania bergegas ke lantai dua. Ia periksa kondisi Mia sambil menanti termometer yang dicari Akram.
“Mia Kamu kenapa?” tanya Dania seketika.
Mia menggeleng. Ia masih bisa merespons namun pandangannya mulai kabur. Rasanya seluruh tubuh menggigil, panas dingin dan lemas.
“Sadar, Mia. Jangan pingsan,” tutur Dania. Ia menyandarkan kepala Mia pada lengannya. “Mia,” panggil Dania lagi.
“Ini, Kak,” seru Akram. Ia berhasil membawa termometer untuk istrinya.
Segera Dania melakukan pemeriksaan. Keduanya tersentak dengan angka yang ditunjukkan pada alat tersebut.
“Kita ke rumah sakit, Kram. Bawa ke IGD,” ucap Dania panik.
Akram mengangguk. Ia jelas sama paniknya. “Iya, Kak.”
Segera Dania bertukar posisi dengan Akram. Ia membiarkan Akram menggendong Mia sedangkan dirinya memesan taxi online.
“Kakak tunggu di bawah, kebetulan langsung ada yang nyantol drivernya.”
“Iya, Kak.”
Mia sudah lemas. Ia hampir tak sadarkan diri meski masih bisa mendengar sayup-sayup percakapan Akram dan Dania. Mia mengukir senyum tipis. Ia tahu ada lengan kokoh yang sedang mengangkatnya.
Mas Akram
*
“Bagaimana kondisi istri saya, Mbak?” tanya Akram pada perawat yang menangani Mia di IGD.
“Nanti kita tunggu hasil lab dulu, ya, Mas.”
“Hasil lab?”
Perawat itu hanya mengangguk seraya berlalu. Membuat Akram cukup gusar.
“Bagaiamana ini, Kak?”
“Kita tunggu saja, Kram. Ngikut saja.”
Akram hanya mengangguk. Ia perhatikan wajah Mia yang semakin pucat. Gadis itu memejamkan mata.
“Pingsan?” tanyanya.
Mia menggeleng. “Eh, kedengeran?”
Mia mengangguk. Ia sudah sadar meski belum sepenuhnya. Akram pun menggaruk tengkuk. Sementara menunggu informasi lebih lanjut tentang kondisi Mia, Akram dan Dania memainkan ponselnya.
“Mas Pram,” lirih Akram.
Dari story WA kakak iparnya, tampak jelas Malka sedang bermain bersama Mas Pram dan seorang perempuan. Akram berdecak. Cukup keterlaluan di saat mereka belum resmi berpisah.
Waktu bergulir begitu saja. Akram tetap asyik dengan ponselnya hingga tak sadar Dania pun baru saja meninggalkan IGD tersebut dan telah kembali lagi.
“Kram,” panggil Dania.
“Ya, Kak.”
“Kamu nggak coba hubungin keluarga Mia?” tanya Dania khawatir. Sudah cukup lama menunggu namun perawat tadi tak kunjung kembali.
“Keluarga?”
“Iya mertua kamu, Kram. Kabarin mereka.”
Akram diam sejenak. Sudah akan larut malam. Ia takut menganggu istirahat mertuanya.
“Apa nggak besok aja, Kak?”
“Mending sekarang, Kram.”
Jawaban Dania membuatnya sedikit ragu. Akram mempertimbangkan saran itu dan berpamitan keluar dari ruangan.
Di luar, Akram melihat kembali ponselnya. Ia hanya menyimpan nomor ibu mertuanya. Akan tetapi, sungkan untuk menelepon nomor tersebut. Hingga ekor matanya menangkap ke arah log panggilan tak terjawab. Ada satu nomor di sana.
“Ya, di RSUD.”
Sungguh ini hal yang sangat Akram paksakan. Selain Frans, jelas tidak ada orang lain lagi. Akram mendesah. Ia sengaja menunggu kakak iparnya di tempat tunggu ruangan IGD. Ia enggan masuk kembali karena memikirkan keadaan Mia. Akram berharap kondisi Mia baik-baik saja.
“Mana Mia?” tanya Frans yang datang setengah jam kemudian.
“Di dalem.”
“Masih di IGD?”
Akram mengangguk. “Nunggu hasil lab.”
Frans melirik ke arah Akram. Memandang remeh suami adiknya itu. “Kamu nggak tanya ulang?”
“Tanya?”
Frans pun menggeleng. Kondisi Mia jauh lebih penting. Tak ada waktu untuk meladeni Akram. Segera Frans melangkah ke dalam IGD dan menemukan orang yang sangat ia khawatirkan. Bahkan, saat menyetir untuk datang, nyaris saja ia menabrak seekor kucing.
“Mia. Kamu baik-baik aja?” tanya Frans seraya mendekat pada brangkar tempat Mia terbaring.
Mia mengangguk lemah. “Baik, Kak.”
“Diinfus?” Mia mengangguk lagi.
Dania memerhatikan interaksi Mia dan Frans. Ia belum tahu banyak hal. Sementara Akram hanya mengangguk kecil. Pria tersebut bagian dari keluarga istrinya.
“Oh,” respons Dania.
“Kamu cari perawat yang tadi, Kram,” perintah Frans.
“Perawat?”
“Iya. Tanyakan segera hasilnya. Tanyakan juga kapan Mia dipindah ke kamar inap.”
Akram kebingungan. Ini pertama kalinya ia merawat orang sakit. Akram ragu untuk bertindak.
“Maaf, sepertinya tidak secepat itu,” timpal Dania.
Frans pun menatap sinis ke arah Dania. Jika memungkinkan ia ingin mendebatnya.
“Permisi, pasien atas nama Ibu Mia akan kami pindah ke kamar inap, ya,” ujar perawat lain yang tiba-tiba muncul.
“Kenapa baru sekarang, Sus?”
“Maaf Bapak, ada beberapa prosedur. Kebetulan tadi ruangan penuh.”
“Penuh? Katanya tunggu tes lab dulu, Mbak?” timpal Akram. Ia tidak mungkin salah dengar informasi dari perawat sebelumnya.
“Emmm bisa jadi itu sekalian.” Perawat tersebut pun mengulas senyum.
Akram menggaruk tengkuk. Ia benar-benar bingung. Sementara Frans sigap membantu perawat dengan mendorong brangkar Mia. Ia tak ubahnya seorang yang sangat menjaga Mia dan takut terjadi apa-apa pada perempuan itu.
Akram menghentikan langkah. Di sini ia merasa menjadi orang aneh karena ia malah disalahpahami. Frans seakan menuduhnya tidak melakukan hal yang benar.
Mengapa Frans peduli sekali?
Akram mendengkus kesal.