Bab 62 : Insecure?

1230 Words
Setelah dilakukan pemeriksaan menyeluruh dan melakukan tes darah di hari ketiga, Mia positif terkena demam berdarah. Tampak beberapa ruam mulai muncul di tangan dan wajahnya. “Maaf, Kak. Ngrepotin,” ujarnya. Saat ia bangun hanya ada Frans di kamar inap itu. “Nggak sama sekali. Kok bisa kena DBD? Banyak nyamuk?” kelakar Frans. Mia menggeleng seraya tersenyum tipis. “Lagi dikasih jatah sakit.” “Iya, iya. Tapi seenggaknya nggak mendekati launching toko, Mi.” “Astaghfirulloh, aku lupa, Kak. Terus bagaimana?” “Ntar nunggu Bapak sama Ibu ke sini. Tadi udah datang tapi kamu masih tidur, ini lagi solat sama Akram juga.” Dalam hati Mia bersyukur. Rupanya suaminya menjaganya. “Iya. Yang nungguin ya Akram, lah. Masa kakak. Ah ya kadang gantian sama kakaknya.” “Kak Dania?” “Ya itu yang perempuan kadang datang.” “Kak Dania namanya.” “Ya itulah.” Frans benar-benar kesal. Ia merasa bersalah karena gagal menjaga adiknya. Dua hari lagi acara penting bagi gadis itu. “Kak,” lirih Mia. Frans yang mensedekapkan tangan menimpali dengan santai. “Apa?” “Boleh minta tolong?” “Hemmmmm....” Derap langkah kaki orang berjalan terdengar. Mia mengurungkan niatnya. “Kenapa?” Mia menggeleng. “Nanti saja, Kak.” “Alhamdulillah, Nak. Kamu udah bangun?” sapa Sufi yang langsung memeluk putrinya. “Sudah, Bu. Maaf buat ibu khawatir.” Mia berusaha meraih telapak tangan ibunya. “Nggak, Nduk. Kami ndak khawatir.” “Masih sakit, Nduk?” tanya Agit. Ia jauh lebih tenang daripada Sufi. “Alhamdulillah, Pak.” “Ini loh suami kamu nggak mau ngasih tau. Baru tadi pagi ke rumah buat ngabarin. Tak jitak tenanan iki,” kelakar Agit. “Maaf, Pak,” ujar Akram. Ia hanya bisa menunduk malu. Sebenarnya meski sudah menjadi menantu di keluarga itu masih ada perasaan sungkan yang ia kembangkan. Keluarga Mia berbeda dengan keluarganya. Wajah Mia sedikit berseri. Terlebih melihat Akram yang pura-pura menggaruk kepala. Mempraktikkan seperti apa pukulan kecil ayahnya itu. Sudah seperti obat bagi penyakitnya sekarang. “Mia sehat, kok, Pak.” “Sehat kok masih harus mondok, Nduk. Piye?” Mia tak bisa membantahnya. Ya, kondisi tubuhnya belum fit. Ia pun hanya bisa mengangguk. “Nggih, Pak.” “Launching toko kapan, Frans?” Agit beralih ke pembicaraan lain. Ia teringat saat tadi berjalan bersama Akram dan ternyata pemuda itu belum mengetahuinya. “Dua hari lagi, Pak.” “Nah dua hari, Kram. Kamu belum mendengarnya?” Akram menggeleng. “Belum, Pak.” “Persiapan gimana, Frans?” “Sudah beres semua. Ndak mungkin dibatalkan, Pak. Frans nggak enak sama karyawan. Undangan juga udah mulai disebar.” Agit memegang dagunya. Ia ikut memikirkan solusi jika dua hari lagi Mia belum sembuh. “Wes wes jan, Bapak sama Frans itu yang dibahas kerjaan aja. Mbok ya biarin Mia istirahat. Sana bertiga bahas di luar!” protes Sufi. “Wah, galak tenan ibu kamu, Mi.” Mia pun terkekeh. “Nggak apa-apa, Bu. Mia sehat.” Sufi menggeleng. Ia jelas tidak setuju. Ia tetap berusaha mengusir tiga laki-laki di kamar inap tersebut. Perlakukan itu tak pelak membuat Mia bahagia. Namun, saat matanya bersirobok dengan pandangan Akram, ia tak bisa menafsirkan arti kebahagiaan. Dalam hati Mia bertanya apakah Akram dan Nasha akan sama dengan Kak Dania dan Mas Danang. Mia kembali mengingat ucapan Akram saat mereka berdua di kamar. “Ibu kupasin buah apel ya, Nduk. Maem sik uakeh.” Mia mengangguk setuju. Ia memang sedang ingin memakan buah karena mulutnya masih terasa pahit. Ia abaikan segelintir perasaan resah tadi dan kembali menanggapi cerita sang ibu tentang dapur, bunga hingga toko. Menjelang siang, Agit dan Sufi berpamitan. Mereka pulang diantarkan oleh Akram. Frans yang mengaturnya karena ia ingin membahas beberapa hal dengan Mia tanpa sepengetahuan Akram. “Gimana hasilnya, Kak?” tanya Mia saat orangtuanya sudah pulang dan Frans hanya mengantar sampai depan rumah sakit. “Ditunda kata Bapak nggak apa-apa. Sampai kamu sembuh.” Mia sontak menggeleng. “Kenapa emang?” “Aku mau minta bantuan kakak.” “Soal?” “Biarkan Mas Akram yang menggantikan Mia. Mia pengen Mas Akram latihan bertanggung jawab.” Deg! Frans cukup kaget dengan opening permintaan tolong dari Mia. “Tanggung jawab?” Mia mengangguk. “Mia setuju dengan rencana kakak. Mia bakal ikut course dan mengajarkan perasaan pada Mas Akram.” “Wait, setuju? Artinya kamu kamu?” Frans memastikan jika ia tidak salah mendengar. “Iya, Kak. Tolong urus persyaratannya, Kak. Mia ingin ke sana.” “Beneran?” Mia mengangguk mantap. Ini kesempatannya. Tidak akan ada lain waktu. Ia akan belajar pada jarak dan waktu. Siapa tahu dengan seperti itu hubunganya dengan Akram ada perkembangan. “Tunggu sembuh, kan?” ‘’Pasti. Mia bakal nunggu sembuh dulu.” “Alhamdulillah. Yes!” seru Frans. Ia tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Kakak bakal urus semuanya.” Mia mengangguk setuju. “Makasih, Kak.” “Buat kamu apa yang nggak.” Kali ini Frans berhasil menowel pipi Mia. Sontak gadis itu pun tak terima. “Kakak!” “Kelepasan. Kelepasan.” Frans dan Mia kembali bertukar candaan. Sambil memegang perut, Mia berusaha menahan tawa. * Akram tak banyak bicara. Di dalam mobil, ia hanya menimpali saja pertanyaan yang dilontarkan mertuanya. Ada resah yang tidak bisa ia pungkiri saat hanya meninggalkan Mia dengan Frans. “Bentar, Kram,” ujar Sufi saat Akram hendak berbelok. “Ngapain, Bu?” “Mau ke minimarket dulu.” “Minimarket?” Sufi mengangguk. “Maju dikit ada kan, Pak. Beli keperluan perempuan.” “Oalah, Bu, kok mendadak. Kasihan mantu kita dari tadi wajahnya tersiksa,” kelakar Agit. “Tersiksa piye, Pak?” “Engggk, Bu. Nggak apa-apa kalau mau berhenti dulu. Nanti Akram antar.” “Noh, mantunya aja biasa.” “Ya udah, lah. Perempuan emang selalu benar. Udah buruan siap-siap.” “Iya.” Begitu Akram menghentikan mobil, Sufi turun seorang diri. Tinggallah Akram dan Agitu berdua di sana. “Nggak usah khawatir, Kram. Frans gak bakal macam-macam,” ucap Agit seperti bisa melihat kegelisahan Akram. “Memang nggak ada hubungan darah, tapi sudah Bapak wanti-wanti nggak boleh suka sama adik sendiri.” Akram menjadi semakin tidak nyaman. Berarti ada kemungkinan Frans memang menyukai Mia. “Frans itu anaknya temen Bapak. Kebetulan yatim piatu, Bapak angkat. Nggak lama lahir Mia. Frans belum mau nikah katanya nunggu adiknya dulu. Harusnya sekarang waktunya nikah.” Agit berbicara santai tanpa ada beban apa-apa. Ia sangat menganggap keberadaan Akram. “Oh, begitu, Pak?” “Iya. Makanya kamu nggak perlu khawatir. Besok kalau kamu sama Mia udah bisa kelola toko, Frans balik lagi.” “Ke mana, Pak?” tanya Akram. Ini informasi yang cukup penting. “Swiss.” “SWWWWIISSSSS?” Akram menirukan ucapan Agit. “Iya. Dia belajar di sana. Katanya udaranya enak.” Akram menelan ludah. Pria itu punya banyak hal dibandingkan dirinya. “Ya, kalau Bapak cukup di Indonesia aja, Kram. Yang penting usaha lancar. Tapi Frans beda. Dia wawasannya luas.” “Oh, ya, Pak.” Tiba-tiba Agit menepuk bahu Akram. “Bapak ya nggak sekolah tinggi, Kram. Bisa jadi juragan,” kelakar Agit. Akram menimpali candaan itu dengan senyuman. Entah apa maksudnya tapi rasanya sesak sekali di hati. Apa ini hal pertama yang ingin diajarkan mertuanya atau hal pertama yang sebenarnya menunjukkan kesenjangan di antara mereka. Akram terdiam. Ia seperti terperosok di lubang yang dalam. Swiss? Juragan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD