Bab 60 : Sesulit itu?

1162 Words
Akram mengelap dahinya yang berkeringat. Begitu Mia dan Dania pergi, ia langsung membuka lemari kamar tamu. Semua baju miliknya ia keluarkan dan ia bawa ke kamar Mia. Ia juga memindahkan barang-barang lain yang selama ini tenang, damai di sana. Setelahnya Akram mengganti sprei, menyapu lantai dan mengepelnya. Semua demi Kak Dania tercinta. “Assalamualaikum,” seru seseorang dari luar. Akram menduga itu istri dan kakaknya. “Waalaikumsalam,” jawabnya. sSepertinya kali ini Mia memahami dengan baik perintahnya. Terbukti sampai ia selesai membersihkan semua, mereka baru tiba. “Astagfirullohaladzim, Kram. Kamu habis maraton?” tanya Danang yang menenteng dua kantong belanjaan. “Kok Mas Danang?” Mas Danang mengedikan dagu. “Ituh di belakang, bidadarimu.” Akram mengernyit. “Bidadari?” “Kamu lagian tega bener. Istri disuruh belanja kondisi belum makan. Hampir pingsan dia.” “Hah pingsan?” Akram pun tersentak. Danang tak langsung menjawab. Ia mengayunkan langkah menuju rumah Akram mengingat dua kantong belanja itu cukup berat. Sementara Akram menunggu Mia dan Dania di terasnya. “Siapa yang pingsan, Kak?” tanya Akram panik. Dania sedang memapah Mia berjalan. “Nggak sampai pingsan, Mas.” “Nggak pingsan tapi muka pucet gini, Kram. Lagian anak orang nggak kamu kasih makan. Aneh.” “Beneran pingsan?” Mia menggeleng. Ia hanya kelelahan dan kelaparan. “Maaf Mas, lama. Tadi makan dulu. Tapi kita bawain buat kamu. Tadi dibawa Mas Danang.” Dania menggeleng. Sempat-sempatnya Mia memikirkan Akram. “Ayo buruan masuk. Kamu harus istirahat.” “Iya, Kak.” Akram semakin tidak mengerti. Ia hanya mengekor di belakang Mia dan Dania. Mengambil alih tas yang dibawa Dania. “Kamar kamu di atas?” tanya Dania. Ia harus mengantar Mia. “Mia sendiri, aja, Kak.” Dania menggeleng. “Ntar jatuh malah bahaya.” “Mau ke mana, Kak?” tanya Akram. Ia meletakkan tas Dania di dekat kantong belanja yang sudah ditata Danang. “Atas. Kamar kalian.” “Atas?” teriak Akram. “Buset! Berisik amat, Kram,” ujar Danang. Ia sedang duduk santai di sofa. “Biar aku aja, Kak.” Sigap Akram mengambil alih posisi Dania. Ia bahkan sedikit mendorong kakaknya. “Kram,” keluh Dania. “Kamu kuat jalan nggak? Aku gendong aja, ya,” tawar Akram. Mia memelotot. Gendong? Apa daun telinganya salah mendengar? “Lebay lu, Kram!” sorak Danang. Ia cukup geli melihat sikap Akram yang tiba-tiba perhatian dengan Mia. Begitu juga dengan Dania. Keduanya saling melempar pandangan. “Nggak usah, Mas,” protes Mia. “Oh, oke.” Akram mengurungkan niatnya. Ia membantu Mia berjalan menuju ke kamar. Dania dan Mia kompak saling menggeleng. “Aku buatin teh dulu, Mas.” “Nggak usah. Aku harus langsung balik.” “Buru-buru?” “Iya. Lagian kita cuma berdua. Nggak enak.” Dania mengangguk. Ya, tidak baik berduaan dengan yang bukan mahram. “Motorku?” “Gampang. Mau aku yang antar apa Akram yang ambil bebas.” “Makasih, Mas.” “Iya.” Dania menunduk. Ia tak bisa mengukur kebaikan Danang selama ini. Bahkan, Danang juga membantu Akram. “Aku balik, ya.” “Iya, Mas.” “Nanti salam buat Akram sama Mia.” Dania mengangguk. Ia tidak mengantar Danang sampai depan dan hanya membiarkan pria itu berlalu. * Di kamar, Mia terkejut dengan perubahan interior kamarnya. Semua serba tak tertata. “Mas,” protesnya. Akram menyingkirkan beberapa barang yang teronggok di lantai sambil berjalan menuju ranjang. “Maaf, belum sempat. Keburu kalian pulang.” “Mas bawa sebanyak ini? Selama ini?” tanya Mia terperangah. Benar-benar tak mengira. “Kamu duduk dulu,” ujar Akram. Satu bantal besar ia susun untuk sandaran Mia. Mia hanya mengangguk. Ia sendiri kehilangan tenaganya untuk sekadar bersandar. “Pelan-pelan.” “Iya, Mas.” “Kenapa pingsan? Kamu kelaperan apa gimana?” gerutu Akram. Tentu kabar itu membuatnya semakin repot. Mia menggeleng. “Nggak laper banget, pagi aku udah makan roti, Mas.” “Roti?” Mia mengangguk. “Itu nggak cukup buat ganjal perut, Mia. Orang Indo harus makan nasi.” “Hmmm.” “Hmmmmm?” Mia mengangkat tangan. Ia jelas kalah jika harus berdebat dengan Akram. “Kak Dania temenin, Mas. Kasihan.” “Masih ada Mas Danang.” “Mereka kenal dekat?” Akram mengangguk. Ia tahu segalanya. “Lebih dari itu.” “Lebih?” Mia berusaha mencari tahu. Ia cukup penasaran terlebih setelah menyaksikan interaksi antara Mas Danang dan Kak Dania. Akram enggan menjawab. Ia memilih memungut satu per satu barang-barangnya dan mulai merapikan kamar itu. Malam nanti hingga malam yang belum ditentukan sampai kapan, mereka akan menempati kamar itu bersama. “Mas....” “Apa?” “Apa ini ada hubungannya sama rumah tangga Kak Dania?” Mia memberanikan diri menarik kesimpulan. Ia ingin segera mengetahuinya. Akram menghela napas. Istrinya selalu banyak tanya. Ia pun mengangkat satu kardus dengan malas seraya menaruhnya di atas lemari. “Iya. Mereka mantan kekasih dan sekarang Kak Dania lagi proses cerai sama Mas Pram.” “Astaghfirulloh, Mas. Cerai?” Akram mengangguk. “Iya.” “Kok bisa?” Akram mulai kewalahan menjawab pertanyaan Mia. Terlalu banyak. Ia pun mengangkat tangan. “Mas!” pekik Mia. “Ya ampun, sejak kapan kamu jadi kayak gitu, sih, Mia. Persis Kak Delia.” Mia pun merajuk. “Maksudnya apa, Mas? Bawa-bawa Kak Delia.” “Sama-sama bawel.” Bibir Mia mengatup. Artinya ia sudah terlalu banyak bicara. “Ada yang bilang cinta bisa tumbuh seiring berjalannnya waktu. Ada yang suka menyimpulkan, pernikahan nggak melulu soal cinta. Kak Dania sama Mas Pram mencoba memulainya. Faktanya, setelah selama itu mereka bertahan tetap koyak juga. Mas Pram selingkuh. Kak Dania menggugat cerai. Tapi yang paling mengejutkan, kata Mas Pram alasannya selingkuh karena Kak Dania tidak bisa melupakan masa lalunya.” Mia membekam mulut sebentar. Sedikit terhenyak dengan penjalasan Akram. “Mas Danang?” tanyana. Akram mengangguk. “Siapa lagi.” “Memangnya berapa lama Kak Dania sama Mas Danang berhubungan?” tanya Mia lagi. Ia merasa harus mengonfirmasinya sendiri. “Dari SMP.” Jawaban Akram membuat Mia tak sanggup bertanya banyak. Artinya cinta yang terjalin sangat lama itu mengakar di hati mereka. Mia pun terdiam. Ia bandinhkan kisah Kak Dania dan Mas Pram dengan kisahnya. Mungkinkah? Mia menggeleng. Segera ia tepis bayangan buruk itu sembari beristighfar dalam hati. Tidak, tidak akan. Jangan sampai. “Mas,” panggil Mia lagi. “Ya?” “Apa semua orang dengan posisi Kak Dania dan Mas Danang akan melakukan hal sama? Andai itu kamu, Mas. Apakah cinta itu benar-benar berkesan?” Gerakan tangan Akram terhenti. Jelas Mia sedang meminta kejelasan atas apa yang mereka jalani selama ini. Mia tahu latar belakang kisah masa lalunya. Mia juga sadar bahwa ia belum bisa membuka hatinya. “Aku lihat Kak Dania dulu,” ujar Akram menghindari pertanyaan istrinya. Ia terpaksa mengalihkan pertanyaan itu dengan cara yang cukup kejam. Mia mengangguk kecil. Ia tak bisa berbuat banyak karena begitu pintu tertutup, ia tahu betul apa jawaban sebenarnya dari suaminya. “Sesulit itukah, Mas?” lirihnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD