Akram melirik tajam ke arah Mia. Tak seharusnya gadis itu berani mendekatinya. Namun, tingkah Delia yang terus memojokan mereka tak pelak membuat sang ibu ikut-ikutan.
"Itung-itung liat kamar suami, Mia," tutur Yurika.
Mia mengangguk canggung. "Sini aku bantu, Mas," ujarnya.
Akram tak bisa menolak terlebih ada sang ibu di sana. Ia pun membiarkan tangan mulus Mia menyentuh lengannya. Membantunya berdiri untuk kemudian berjalan ke kamar. Ya, kamarnya.
Mia tak banyak berkomentar. Ia fokus mengamati kaki kiri suaminya. Ini yang pernah dibahas keluarganya. Tentang ketidaksempurnaan yang dimiliki Akram. Mia memahaminya, ia juga tak sebaik itu.
"Gimana, Mas? Bisa diluruskan?" tanya Mia saat Akram mengamati kakinya.
Akram meringis kesakitan. "Sedikit."
"Biasnya dikasih apa kalau udah kaya gini? Ada pereda nyeri?"
Akram menggeleng. "Dibiarin aja ntar sembuh sendiri."
"Oh, begitu?"
Akram tak menanggapi. Ia lebih konsen melihat kaki kirinya. Ah, sebuah kenangan yang cukup menyakitkan.
"Dulu jatuh, Mas?" tanya Mia. Ia terus melihat ke arah yang sama.
Akram mengangguk. "Kecelakaan motor."
"Innalillahi," lirih Mia.
Akram pun mendongak. Posisi mereka sangat tidak menguntungkan. Mia berjongkok, sedangkan Akram duduk di tepian ranjang. Dari jarak itu, dengan mudah Akram bisa melihat wajah bersih nan lembut yang ia akui bahwa sedikit cantik.
"Berkendara sendirian, Mas?" tanya Mia. Kali ini ia mengalihkan pandangannya. Tatapan mereka pun bertemu. Meski sebentar, Mia tetap bisa melihat kilatan itu.
"Sendiri," jawab Akram.
Mia tak berani bertanya lebih lanjut. Ia rasa sudah cukup. Mia pun berusaha berdiri. Meninggalkan posisinya mengamati kaki kiri sang suami. Mia mengedarkan pandang ke seisi kamar Akram. Minimalis dan rapi. Hati Mia bergetar. Di sini jika semuanya normal sejak awal tentu akan berbeda cerita.
Akram diam-diam mengamati Mia. Perubahan sikap yang ditampakkan gadis itu membuatnya rancu. Ia tidak ingin memikirkan, tapi itu semua membuatnya penasaran. Akram menggeleng. Ia tidak mau terlibat apa pun dengan gadis itu.
"Ehem! Pengantin baru udah belum?" tanya Delia dari luar kamar. Hal itu membuat Mia tak bisa untuk tidak tertawa.
"Aku keluar dulu," ujarnya.
Akram mengangguk. Ia masih ingin menyendiri sebelum nanti berangkat ke Yogyakarta.
"Loh, Akram mana?" tanya Delia saat yang keluar hanya adik iparnya.
"Masih di dalam, Kak."
"Tapi nggak apa-apa?"
"Katanya iya," jawab Mia sambil tersenyum.
Setiap manusia memiliki satu hal yang ingin ia simpan sendiri. Begitu pun Akram --- suaminya. Mia percaya suatu hari nanti sang suami akan terbuka meski entah kapan waktunya.
"Masih siap-siap, kan, Kak?"
"Iya. Jam sepuluh aja cabutnya."
"Ya udah biar Mas Akram istirahat dulu aja, Kak."
"Duh, emang istri idaman kamu, Mia."
Lagi, Mia hanya tersenyum. Kakak iparnya tak pernah tahu apa yang terjadi. Ia akan menyimpannya sendiri terlebih pernikahan mereka belum lama berjalan.
***
Perjalanan Magelang Yogyakarta terasa biasa saja bagi Akram. Ia yang duduk di samping Delia pun tak berniat membuka obrolan. Ia sibuk berkelana dengan angannya. Mia juga sama. Ia merasa perjalanan ini hampir sama ia pergi bersama ayah ibunya.
"Boleh, Nduk. Yang penting hati-hati. Suami kamu ikut, kan?"
"Ikut, Pak. Ini sama Kak Delia juga."
"Ya, Bapak ijinkan. Kalau misal nggak sempat pamit ke rumah nggak apa-apa."
"Ya, Pak."
"Nanti kartu debitnya dipakai aja kalau butuh sesuatu. Nggak usah minta Akram. Kalian belum mulai kerja."
Mia menggigit bibir bawahnya. Sedikit miris karena ia dan suami sama-sama belum bekerja. Semuanya masih bergantung pada orangtua. Mau bagaimana memang dari awal sang ayah ingin ia dan calon suaminya kelak menjadi penerus keluarga. Mengelola sebuah toko.
Mobil Delia terus melaju. Membawa mereka menyusuri jalanan kota. Mia tak begitu memerhatikan karena sepanjang perjalanan ia justru terlelap. Entah apa penyebabnya, mata Mia terasa begitu berat.
"Nggak usah lewat kaca. Dilirik langsung juga dah halal, Kram," ucap Delia pelan.
Akram menoleh. "Apaan, Kak?"
"Mia, 'kan? Cantik juga kalau lagi merem tuh."
Akram melirik tajam. Ia tak suka kakaknya meledeknya. Delia tekikik. Tak menyangka reaksi Akram begitu lucu.
"Kamu banyak berubah, Kram. Baru beberapa hari padahal," ujar Delia.
"Berubah gimana?"
"Jadi galak kaya singa," ledek Delia.
Akram pun tak menanggapi. Ia biarkan kakaknya fokus mengemudi. Ia sendiri sedang malas menggantikan.
***
Pantai Pulang Syawal atau yang lebih dikenal dengan Pantai Indrayanti menjadi tujuan Delia. Satu hal yang berbeda dengan kesepakatan awal.
"Nggak salah, Kak?" tanya Akram begitu mobil Delia berhenti.
"Nggak. Mas Valga emang di sini," jawab Delia enteng.
"Akram kira cuma sekitaran malioboro, aja."
"Udah ngikut aja, si. Ya nggak, Mia?"
Mia mengangguk. Di luar yang ia ketahui hari ini ia bisa melihat lautan lepas. Sebuah hal yang sudah cukup lama tidak ia lakukan. Tentu kejutan dari Delia ini membuatnya senang.
"Bentar. Kakak telepon dulu."
Akram pun membiarkan kakaknya bercakap di gawia. Sementara ia memilih melihat ke arah laut biru. Dulu, pad suatu waktu ia pernah bercita-cita. Berjalan di tepian pantai bersama seseorang yang mengisi hatinya.
***
"Pantai?"
Akram mengangguk. "Nusa dua apa lombok, ya, Sha."
"Kenapa milih pantai? Lebih asik ke gunung."
"Magelang gunung banyak, Sha."
"Ya elah, kalau gitu ma karena bosen aja piknik yang dekat-dekat."
Akram menggeleng. "Seriusan. Kapan-kapan ya, mantai."
"Kapan?"
"Kapan-kapan."
"Kapan?" tanya Nasha meledek Akram.
"Kapan-kapan."
"Kapan?"
"Kapan-kapan, Sayang ...." Akram mengusap rambut sebahu kekasihnya itu.
"Mas ...."
"Ya, Sha?"
Deg!
Mia salah menegur suaminya. Akram sedang berada dalam lamunan.
"Eh, maaf, kamu ...."
Mia tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas."
"Kenapa emangnya?"
"Kak Delia manggil," jawab Mia. Sejak tadi mereka ditinggalkan berdua.
"Oh, ya." Akram menjadi salah tingkah.
Mia berjalan mendahului Akram. Ia lebih baik menyimpan rasa ketidaknyamanan itu seorang diri. Sha, Nasha. Gadis yang diam-diam menjadi pesaingnya. Mia tahu, bahkan sangat tahu. Tapi, tetap saja rasanya tak nyaman. Hatinya berontak.
Delia melambaikan tangan. Ia sudah lebih dulu berada di salah satu resto dengan nama yang sama dengan pantai tersebut. Sebenarnya Indrayanti bukanlah nama asli pantai ini. Indrayanti adalah nama pemilik dan restoran. Namun, nama Indrayanti jauh lebih dikenal masyarakat luas.
Akram menyusul di belakang Mia. Sedikit merasa bersalah karena salah sebut nama. Lebih tidak enaknya lagi, terbongkar dengan sendirinya nama itu. Tadinya ia ingin menjaganya agar terus menjadi rahasia. Sudah telanjur mau bagaimana lagi.
"Sini, sini adik-adikku," ucap Delia semangat. Ia memang sengaja memberi waktu pada Akram dan Mia.
"Mas Valga mana?"
"Bentar lagi nyampe. Lagi ketemu temen."
Akram mengangguk. Ia mengenyakkan diri di salah saku kursi. Mia pun sama. Meski tak begitu terlihat, Mia berusaha menata hatinya.
"Hai!" seru Valga yang baru saja tiba. Ia mendekat ke arah Delia.
"Hai, Mas. Kok lama?" tanya Delia. Ia berdiri menyambut suaminya dan mengecup mesra pipi Valga tepat di depan adiknya.
"Yang ...."
"Nggak apa-apa mereka penganti baru, kok."
Valga tersenyum. Istrinya selalu blak-blakan. "Maafin ya, Kram," ujar Valga.
"Nggak apa-apa, Mas. Dari dulu," jawab Akram santai.
"Ya udah, kita tambahin aja, Yang," seloroh Valga.
Delia pun merangkul leher Valga dan kembali mendaratkan sebuah kecupan kali ini di pipi kiri.
"Hahahahahaha! Ntar aja ntar di Vila," timpal Valga.
Mia dan Akram terpinga. Tak mampu berkata-kata. Kerongkongan mereka terasa kering tiba-tiba. Sejelas itu kakaknya.
"Sabar, ya, Kram. Ntar kalian juga paham," seloroh Delia. Tak pelak mengundang gelak tawa Valga.
"Apaan, sih!" ujar Akram sambil meninju angin. Darahnya berdesir.