Pemandangan indah di pantai disertai canda dan kemesraan Delia juga Valga bukan satu-satunya ujian bagi Akram dan Mia. Mereka masih harus ikut dengan kakaknya ke sebuah vila.
"Katanya pameran, Kak? Kok Vila?" tanya Akram setelah kakaknya menjelaskan.
"Emangnya aku nggak capek, Kram? Gila nyetir sendiri ke sini."
"Bukan adik kamu yang nyetir?"
Delia menggeleng. "Alesan aja nggak berani, Mas. Padahal biasanya jago."
"Eh, beneran, Kak. Akram takut."
"Ya udah biar Mas yant nyetir," kata Valga.
"Thanks Sayang."
Di sini Akram sudah ingin muntah saja rasanya saat melihat aksi kedekatan Valga dan Delia. Namun, ia menahan karena ada Mia. Sementara Mia geli sendiri dan merasa senang.
Perjalanan mereka berlanjut. Akram menjadi tidak nyaman karena harus bersebelahan dengan Mia. Keindahan pantai Indrayanti seolah sirna. Mia masih duduk santai. Ia tak mau memulai obrolan dengan Akram terlebih saat tadi mendengar nama gadis yang disebutkan Akram secara tidak sengaja.
Mungkinkah?
Mia menggeleng kecil. Ia berharap gadis itu bukanlah seperti yang ia pikirkan. Mia menoleh ke jendela. Lautan biru yang menjadi view mengingatkannya akan sesuatu.
***
Radika Paradise Villa and Cottage
Penginapan ini berupa villa dan cottage yang dihiasi dengan pemandangan langsung ke pantai. Selain itu penginapan ini juga berdekatan dengan hutan jati. Kesan hangat dan nyaman pun sangat terasa.
Lagi Akram membuka mata lebar-lebar. Sungguh ini bukan sebuah pekerjaan seperti yang disebutkab Delia di awal. Melainkan sebuah aksi membawa ia dan Mia untuk menikmati liburan berdua. Akram mulai curiga ada udang di balik peyek yang sedang dirancang kakaknya.
"Gimana? Mantep, kan?" tanya Delia begitu mereka sampai.
Valga mengangguk. "Bisa semalem lima kali, nih, kalau kayak gini."
"Siapa?" timpal Delia.
Valga melirik ke arah Mia dan Akram. Pengantin baru itu tampak tak nyaman.
"Ahahahahahahaha! Kamu bisa, aja, Mas," seloroh Delia.
Akram menggeleng kecil. Sungguh ini sebuah jebakan batman yang disiapkan kakaknya.
"Kita yang mana kamarnya, Mas?" tanya Delia. Ia menjadi lebih semangat. Ditambah suasana vila yang terasa begitu nyaman.
Valga tersenyum tipis. Pebisnis muda ini selalu memberikan kejutan untuk istrinya yang dua tahun lebih muda itu.
"Di tengah aja lah, Del. Lagian tega bener kamu Mia sama Akram diminta di luar."
Sontak Akram dan Mia kaget. Artinya malam nanti mereka harus kembali berada dalam satu kamar yang sama. Akram menggeleng kecil. Ini tidak benar. Ia harus menghindar.
"Kak, kita nggak jadi pameran?" tanya Akram pada Valga, bukan Delia.
"Pameran? Pameran apa?"
"Lah katanya Mas Valga lagi adain pameran terus kita diminta bantu. Makanya Akram sama Mia di sini," terang Akram.
Valga tergelak. Rupanya tidak hanya Dania saja yang pernah ditipu istrinya. Sekarang Akram juga.
"Modus pameran belum ilang, Yang?" tanya Valga sambil memegangi perutnya.
Delia membungkam mulut suaminya. Ia mengajak Valga keluar sebentar ke balkon. Meski ia sendiri tah tahan ingin ikut tertawa.
Akram dan Mia terpinga. Mereka terjebak dalam awkard momen yang diciptakan kakaknya. Dalam hati Akram mengumpat. Sialan, awas kau, Kak, dan sebagainya.
Mia tersenyun tipis. Sisi lain dari keluarga Akram selain baik adalah pandai menghibur. Baginya tak masalah berada di sebuah vila bersama suaminya. Sungguh jika tidak ada jarak antara mereka, akan berbeda momennya.
***
_Antara kita terbentang jarak yang tak semestinya. Sejak pertama jumpa hingga berada dalam satu bahtera. Antara kita terjalin ikatan yang mengharuskan untuk bertahan. Meski setiap detik kebersamaan tak menghadirkan kedamaian._
Sebuah catatan kecil Mia tuliskan. Setiap bepergian ia sering membawa notebook yang menjadi temannya. Selain untuk membunuh waktu, ia bisa dengan mudah mengekspresikan diri di mana pun itu.
Malam sudah sempurna membayang. Gemintang bertaburan. Meski dihiasi dedaunan pinus, cahaya bulan tetap menembus.
Mia mendesah. Sudah beberapa waktu lalu Delia dan Valga izin keluar mencari makanan. Namun, tak kunjung kembali. Ia sudah cukup gerah karena seharian harus tetap menjaga jilbabnya. Ya, jika normal ia tak perlu risau. Begitu masuk kamar, ia bisa sedikit mendinginkan kepalanya dengan melepas jilbab itu. Namun, sejak tadi ada suaminya yang terlelap di kasur busa berukuran sedang.
Mia cukup resah. Jika terus dibiarkan ia akan semakin mengagumi Akram. Makhluk Allah yang baginya tampan. Ia akui dengan penuh kesadaran. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan mereka belum sampai juga.
Ada yang bilang menjadi perempuan harus pro aktif. Tidak boleh terlalu lama menunggu pergerakan laki-laki. Akan tetapi jika berada di posisi Mia, prinsip itu tak bisa diterapkan. Mia jelas tak akan memulainya dulu karena Akram sudah membuat benteng berupa tembok besar.
Mia terpaksa kembali masuk ke kamar itu. Ia mengendap perlahan karena takut mengganggu Akram. Ia letakan notebook beserta pena yang tadi ia bawa di atas meja. Pelan sekali penuh dengan kehati-hatian, ia menggeser kursi. Setidaknya berehat daripada tidak sama sekali. Mia melonggarkan jilbab segi empatnya. Melepas peniti yang dikenakan dan hanya menyilangkan ujung-ujungnya. Setelahnya, Mia melipat tangan di atas meja itu dan menyandarkan kepalanya.
Matanya terasa berat, tubuhnya cukup lelah dan ia butuh istirahat. Tak peduli hanya di sebuah kursi, Mia tetap bisa terlelap.
Akram terbangun. Ia tak sadar sudah tertidur. Perutnya cukup lapar. Tadi sebelum merebah, ia asyik melihat sosial media. Berharap betul bisa mengais jejak Nasha. Namun, nihil. Tak ada satu insta story pun yang dibuat gadis itu.
Akram meraup wajahnya kasar. Ia bersiap keluar dari kamar. Dan betapa terkejutnya ia saat mendapati Mia terlelap di dekatnya. Meski itu di kursi, jarak dengan kasur busa tak seberapa. Akram bisa dengan mudah melihatnya.
"Astaghfirulloh," ucapnya. Buru-buru membekam mulut takut mengganggu. Akram berusaha menetralkan hatinya.
"Ini orang ngapain tidur? Di atas begitu pula," lirih Akram. Posisi mereka sangat tidak menguntungkan. Akram pun berdiri.
Pelan sekali ia berjalan. Mendekat ke arah pintu agar bisa keluar dari kamar pengap itu. Terasa cukup sesak karena harus terjebak berdua. Akram meraih pegangan pintu bersiap menariknya.
"Mas udah bangun?" tanya Mia tiba-tiba. Akram pun terlonjak. Ia menghentikan pergerakannya.
"Iya," jawab Akram santai sambil menoleh.
Ya Tuhan, makhluk apa yang sedang ada di hadapannya. Pemandangan yang lebih memesona dari pemandangan pantai Indrayanti. Sejenak Akram terpaku. Ia setia dengan posisinya.
"Kak Delia sama Kak Valga belum balik. Padahal udah dari tadi," terang Mia.
"Iya," jawab Akram gugup.
"Aku laper, Mas."
Akram memutar badan. "Apa?"
"Laper."
Entahlah. Memang itu yang Mia rasakan. Sejak dari habis salat maghrib ia merasa perutnya sudah harus diisi tapi kedua kakaknya malah tidak sampai-sampai.
Akram menelan ludah. Sungguh posisinya serba salah. Ia laki-laki. Sudah pernah melihat leher jenjang perempuan. Ia juga sudah beberapa kali merasakan manisnya bibir wanita. Tapi, kali ini di depan Mia ia benar-benar tersihir. Sebuah godaan yang menyerang dirinya secara tiba-tiba.
"Mas ...."
"Ya?"
"Ngelamun?"
Akram menggeleng. Ia harus berpendirian lurus. Perlahan telunjuknya pun naik. Mia mengikuti pergerakan itu.
"Apa, Mas?" tanyanya.
Akram menghela napas. "Tuh!"
Refleks Mia menunduk. "Astaghfirulloh!!!" teriaknya.