Malka yang paling antusias dengan kedatangan Mia dan Akram. Bocah itu menghambur keluar begitu pintu terbuka.
"Om! Tante!" serunya. Sontak Akram dan Mia terlonjak.
"Malka!" jawab Delia yang berjalan lebih cepat. Ia merentangkan tangan.
Malka pun menggeser posisinya. Enggan menerima peluk dari Delia.
"Heh, kenapa?" tanya Delia heran.
Sementara Dania tersenyum kecil. Sudah paham karena Malka sekarang lebih senang dengan Mia.
"Mari masuk!" ucap Dania mempersilakan adik-adiknya.
Akram berjalan paling akhir. Ia sengaja membiarkan Mia dan kakaknya masuk lebih dulu. Undakan di teras rumahnya itu ia lalui dengan santai.
"Assalamualaikum, Bu," ucapnya seraya meraih punggung tangan Yurika.
"Waalaikumsalam," jawab Yurika. Ian tersenyum senang.
Mia cukup kebingungan dengan atmosfir yang baru ia jumpai. Di sini suasana keluarga terasa begitu hangat. Mia semakin bersyukur meski Akram belum mau menerimanya. Ada keluarga suaminya yang terus mendukung.
Akram ingin langsung merangsek ke kamarnya. Ingin kembali merasakan menjadi lajang seperti sebelumnya. Namun, langkahnya tertahan. Melihat Mia duduk di kursi ruang tamu. Mengingatkannya pada satu permintaan ibunya. Sebuah momen yang membuatnya jadi seperti ini. Akram mendesah. Ia tak mengira akan serumit ini. Hingga salah satu ceramah seorang pemuka agama ia ingat kembali.
*
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. Quran Surat Al-Baqarah Ayat 286," ujar salah satu Uztad tersebut. Beliau menunggu dengan sabar bagaimana respons para audiens.
"Allah menciptakan bumi dan langit beserta isinya dengan maksud yang pasti ada. Allah menciptakan manusia dengan segala penyempurnaannya juga dengan tujuan yang berarti," lanjut pemuka agama tersebut. Akram menyimaknya dengan cukup baik."
"Allah melakukan itu semua tak lain, tak bukan agar manusia yang memiliki akal pikiran bisa memahami. Menyelami 'makna' terdalam tentang kenapa mereka diciptakan."
Para audiens masih menyimak. Berharap betul bisa mendapatkan setitik hikmah dari penceramah tersebut. Tak terkecuali Akram yang sedang kalut dan memaksakan diri mengikuti sebuah kajian.
"Bumi Allah terbentang luas, tak terbatas. Jika ditarik garis lalu diperpanjang dari titik awal kita berdiri, sampai tempat terjauh yang bisa kita tapaki, pastilah panjang sekali. Di mana garis-garis tadi adalah rentetan perjalanan yang sejatinya terus berjalan. Sampai kita terhenti pada satu titik. Keabadian yang membuat kita kekal. Sampai waktu kita habis di dunia dan kembali padaNya. Wahai kita mengapa masih terus resah dengan hal-hal yang sudah dijanjikan kebaikannya oleh Allah? Mengapa masih terus mempertanyakan dan meragukan? Lihat ke dalam diri. Jangan sekali-kali kita menentang takdirnya."
Ucapan penceramah itu memenuhi pikiran Akram. Di tengah badai kegalauan antara melanjutkan rencana pernikahannya dengan Mia atau membatalkannya.
"Sebelum kita semua sampai pada pada titik itu, selama darah masih mengalir lagi napas masih membersamai diri, tak ada alasan untuk kita berhenti mensyukuri semua nikmat Allah. Kita harus berjalan dan terus berjalan berdasarkan apa yang disyariatkan. Kita masih harus terus nenyusuri bumi Allah yanh luas dan nenjadikan setiap perjalanan sebagai sumber belajar yang melengkapi al-hadis dan Al-qur'an."
Ya, Akram setuju. Ia harusnya mengamini itu. Hingga sekarang saat waktu bergulir di pusaran ini. Akram pun tersadar bahwa semua memang sudah digariskan.
Akram mendesah. Rasanya masih tidak rela. Terlebih saat ingatannya berpusat kembali pada Nasha. Orang yang ia yakin akan bawa ke pelaminan justru tidak bisa ia pertahankan. Memang begitu kuasa Allah. Maha membolak balikkan hati dan keadaan hambanya. Akram merenung sendiri. Ia abaikan percakapan yang terjadi di sekitarnya.
*
"Mia nggak kuliah?" tanya Dania.
"Nggak, Kak. Mia nggak suka belajar."
Dania tersentak. "Loh, kok bisa?"
"Mia lebih senang belajar ngaji, Kak."
"Makanya di pondok?"
Mia mengangguk. Alasannya tidak suka pendidikan formal karena memang ia kurang mampu dalam hal menerima pelajaran.
"Gak ada hobi atau kegemaran lain, Mia?" Dania cukup berani menanyakan hal itu. Ia masih penasaran dengan siapa sebenarnya adik iparnya.
Mia tersenyum simpul. Bicara soal kegemaran tentu ia punya. Hanya saja ia tak yakin bisa menekuninya atau tidak.
"Berarti di pondok ngaji terus, Nduk?" timpal Dania.
"Ada kegiatan lain juga, Kak."
"Oh, kirain. Terus ini berhenti mondoknya?"
Dania menyikut lengan adiknya. Jika masih di pondok, mana mungkin Mia bisa menikah dengan Akram.
"Ups maaf," celetuk Delia.
"Rencana ke depan gimana, Mia? Sudah ada gambaran?"
Mia menggeleng. Ia belum memikirkannya. Ia justru melihat ke arah Akram yang seperti sedang asyik dengan dunia sendiri. Suaminya terus tak acuh. Mia mengulas senyum. Apa yang sebenarnya ia harapkan jika ia sudah tahu ini hanya rencana perjodohan. Kisah mereka bukanlah romansa manis sepasang kekasih yang saling mengaku cinta. Mereka hanya kebetulan terikat dalam satu ikatan.
"Aduh!" seru Akram saat tiba-tiba Malka menginjak kaki kirinya. Malka mengajak omnya bermain tapi tidak ditanggapi.
"Malka," desis Akram. Injakan itu jelas terasa sangat ngilu di kakinya yang tidak sempurna.
"Maaf, Om. Maaf," ujar bocah itu.
"Hati-hati, Malka!" seru Dania. Ia tahu kaki Akram masih belum sempurna pulih. Jahitan yang mengering itu masih suka terasa sakit.
"Maaf, Bu."
"Nggak apa-apa, Kram?" tanya Dania memastikan.
"Beneran nggak apa-apa?" tanya Mia. Ia cukup khawatir.
Akram meringis kesakitan. "Nggak apa-apa, Kak."
"Tapi mukanya gitu?" ledek Delia. Senang sekali membuat adiknya kesal.
"Gitu gimana?"
"Sakit banget kayaknya, tuh!" tunjuk Delia.
Akram menggeleng. Sakitnya masih bisa ia tahan. "Nggak apa-apa," jawab Akram. Ia angkat sedikit kaki kirinya untuk memastikan.
"Ya udah buruan ke kamar, aja," ujar Delia.
"Iya, Kram," imbuh Dania. Akram mengangguk kecil.
"Mia, temenin tuh suamimu. Bantuin jalannya."
Mia terlonjak. Ke kamar? Bantuin?
Akram menggeleng kecil. Ia jelas tak setuju dengan ide itu. Ikrarnya hanya akan membawa Nasha ke sana.
"Buruan, Mia. Kasihan," cecar Delia
"Baik, Kak." Mia berdiri. Ia malu-malu memegang lengan suaminya. Keduanya berjalan beriringan.
"Cie!" seru Delia. Sontak membuat Dania memukul lengannya lagi.
"Apaan sih, Kak!"
"Kamu ituh."
Mia terkekeh. Keluarga Akram benar-benar hangat. Ia tak menyangka akan mengalami hal seperti ini. Tanpa sadar Mia tersenyum senang. Ia menoleh ke kanan dan menyadari jika Akram mengawasi.
"Ayo," ucap Mia.
Dalam hati Akram mengunpat. Mengapa pula Malka harus menginjak kakinya. Jujur ia belum siap Mia berada di kamarnya. Hanya berdua dan akan membuat rasa canggung itu semakin menjadi.
Sementara Mia tak bisa mengendalikan degup jantungnya. Sejak awal ia memang sudah memiliki rasa yang spesial untuk Akram. Ia kagum betul dengan salah satu pemain sepak bola terbaik di sekolahnya. Meski hanya sebentar, Mia pernah menyaksikan bagaimana Akram begitu menawan.