Bab 59: Drama Minyak Goreng

1271 Words
“Maaf Kram, kakak ngrepotin.” Akram menggeleng. “Enggak, Kak. Buat apa punya adek kalau nggak bisa minta bantuan,” ucap Akram. “Emmm, Kakak mau nginep beberapa hari di sini, Kram. Bisa?” Mia nyaris saja menjatuhkan gelas yang akan ia letakkan di atas meja. “Nginep, Kak? Di sini?” tanya Akram memastikan. “Iya, Kram. Nggak ada tempat lain lagi. Nggak mungkin juga ke rumah ibu sama bapak.” “Mas Pram gimana?” Dania menggeleng. Ia enggan membahas suaminya. Sungguh, ia tak pernah tahu akan sesakit itu dihianati di depan matanya. “Maksudku Malka, Kak.” “Malka lagi sama Mas Pram, Kram. Mungkin agak lama.” Akram mendesah. Di rumahnya hanya ada dua kamar di mana yang satu sudah ia gunakan. Akram pun teringat akan kondisi kamar itu dan segera melihat ke arah Mia. Mia yang tak tahu apa-apa cukup bingung dengan tatapan suaminya. “Mi, kata kamu minyak goreng abis, ya, beli gih sana,” ujar Akram. “Minyak goreng? Emang lagi langka sih di pasaran, Kram. Beneran kamu nggak punya, Mia?” Dania memastikannya. Mia bingung. Ia tak tahu harus menjawab apa. Seingatnya masih ada beberapa persediaan di lemari dapurnya. “Engg....” “Kak, kata Mas Danang lagi ada diskon di Betamart. Katanya diskonnya banyak. Ajak Mia, Kak. Dia jarang belanja. Aku kadang suka nggak enak tau.” Akram mencari alasan lain. Kakaknya harus keluar dulu. Jangan sampai Dania tahu yang sebenarnya. “Diskon apa? Emang banyak kebutuhan kamu yang habis?” “Iya, Kak. Ntar aku WA ke Mia apa aja. Sekarang anterin dulu gimana, Kak. Soalnya Mia nggak bisa naik motor.” Akram semakin berlebihan. Hal itu membuat Mia semakin kebingungan. Ia meminta penjelasan tapi suaminya tak memedulikan. Melihat hal itu membuat Dania cukup peka. Ia tahu ada hal yang mungkin harus dibereskan Akram. “Ya udah, ayo, Mia. Kita ke Betamart,” ajak Dania. “Eh, Kak, tapi kan baru aja datang. Masa pergi lagi.” “Udah Mi, ikut aja. Bentar ya aku ambilin uang dulu.” Akram bergegas ke kamarnya. Uang yang sempat ia pinjam ke Mas Danang terpaksa ia gunakan. Sementara Mia benar-benar keheranan. Mengapa suaminya bersikap seperti itu. “Kadang kita perlu pura-pura nurut, Mia. Bisa jadi suamimu sedang harus melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan kamu,” ujar Dania sambil tersenyum. Seolah paham dengan kegelisahan Mia. “Eh, iya, Kak. Kalau begitu Mia ambil tas bentar.” “Ya.” Mia berjalan pelan menuju dapur. Seingatnya tadi ia menaruh tasnya di sana. Akram mengikutinya dari belakang. “Beli apa aja yang dirasa kurang. Bahan makanan juga.” Akram menyerahkan satu amplop berwarna coklat. Mia sungkan menerimanya. “Aku belum pernah ngasih, kan? Terima aja,” imbuh Akram saat Mia hendak menolak. “Tapi, Mas....” “Tau nggak apa yang paling nggak aku suka dari kamu.” Akram menyambar ucapan Mia. Gadis itu menatap keheranan. “Kamu kebanyakan tapi. Udah terima sama nurut aja. Ntar aku WA apa yang perlu kamu beli.” Akram tidak butuh penolakan. Ia tidak mau Dania semakin kepikiran. Keluarganya sedang tidak baik-baik saja akibat keretakan rumah tangga Dania dan Mas Pram. Ia tidak mau menambahnya dengan kekacauan yang juga ia hadapi. Mia mengangguk kecil. Meski menusuk hingga ke hati, ucapan Akram ada benarnya. Ia terlalu banyak membantah. Mungkin, itu penyebabnya Akram semakin tidak bisa membuka hati. “Hati-hati. Nanti nggak usah kaget kalau pulang, barang-barangku ada di kamar kamu. Maklumi.” Mia pun tersentak. Ia membekam mulutnya. Benar-benar tidak memikirkan sampai sedetail itu. Akram menggeleng. Istrinya kadang susah diajak serius. Ia pun berlalu dari dapur menuju ruang tamu lagi. * Mia belum mendengar berita apa pun tentang Dania. Ia juga lupa tidak menanyakannya pada Akram. Ia ingin tahu tapi tak sopan jika Dania tidak berminat menceritakannya. Seingat Mia, Dania adalah orang yang baik dan selalu lembut dalam bertutur kata. Istri solihah juga. “Dah nyampe, Dek. Kamu turun dulu,” ucap Dania begitu roda sepeda motornya menyentuh paving parkiran Betamart. “Ya, Kak.” Sambil menunggu Dania, ia mengecek ponselnya. Berharap betul Akram segera mengirimi list belanja yang harus ia beli. Ia sendiri masih punya beberapa stok barang miliknya. “Ayo!” seru Dania. Mia melesakkan ponselnya ke dalam tas. Berjalan bersisian bersama kakak iparnya. Satu hal yang pernah ia impikan. Terkadang di luar sana banyak cerita tentang perseturuan menantu dan mertua serta iparnya. Mia beruntung karena tidak sampai mengalami kisah seperti itu. “Dania,” ujar Danang yang berpapasan dengan mereka saat sedang memilih belanjaan. “Mas,” ucap Dania tertahan. Seperti ingin bicara banyak tapi tidak bisa. Danang pun berjalan mendekat. Ia tidak mungkin mengabaikan Dania begitu saja terlebih ia sudah mendengar kabar terbaru tentangnya. “Ini istrinya Akram, bukan?” “Iya, Mas. Mia namanya. Mia kenalin.” Mia menangkupkan kedua tangan seraya menjura. Ia pernah mendengar nama tersebut. “Mia, Mas. Mas Danang, ya?” tanya Mia. “Iya, saya Danang. Wah, Akram suka cerita ya?” Mia mengulas senyum. “Pernah, Mas. Katanya belajar dari Mas Danang.” “Wah ngada-ada tuh anak.” “Beneran, Mas.” Mia memang pernah mendengarnya. Maka itu bukan sebuah kebohongan. “Ini tumben pada belanja di sini? Biasanya nggak pernah, kan?” seloroh Danang. Seingatnya ia tidak pernah melihat Akram dan Mia jalan-jalan ke Betamart. “Ah, kata siapa, Mas. Kadang saya sama Mas Akram ke sini, tapi nggak ketemu Mas Danang.” “Oh, ya?” tanya Danang tak percaya. “Iya, Mas.” “Kalau kakak iparmu baru nggak pernah,” kelakar Danang. Dania mengulas senyum tipis. Bagaimana mungkin ia akan belanja jika ada Danang di sini. “Permisi, maaf mau lewat,” ucap salah satu pengunjung Betamart. Posisi mereka menghalangi jalan. “Oh, ya, ya, silakan.” Danang pun memberikan jalan. Ia tahu konsumen adalah prioritas utama. "Benta, ya." Dania mengangguk. Ia terus memerhatikan gestur tubuh Danang. Ia yang sudah mulai menemani Mia memilih beberapa dagangan pun tampak lesu. Mia menangkap aura itu. “Kakak tunggu depan aja, Kak. Biar Mia yang belanja,” ujar Mia. “Eh, nggak usah, Dek. Nggak apa-apa.” “Maaf ya, Kak. Takutnya malah kena ituh dagangannya.” Mia menunjuk beberapa snack yang berjatuhan. Dania bahkan sampai tidak sadar sudah menubruknya. “Astaghfirulloh, maaf, Dek.” Dania berjongkok. Ia hendak memungut beberapa snack itu namun tangan seseorang menarik lengannya. “Biar aku aja,” ujar Danang. Dania mengangguk kecil. Ia dibuat kalut seketika. Tadi, bahkan Danang ada beberapa meter di depannya dan sekarang sudah membantunya. Pria itu memang selalu ada di dekatnya. “Mas Danang boleh Mia minta tolong?” “Ya, Mia. Bagaimana?” Danang segera menepis rasa penasarannya tentang Dania. Ia harus bersikap profesional. “Mia minta tolong ajak Kak Dania tunggu di depan, ya. Kak Dania baru datang ke rumah, kayaknya masih capek. Kasihan kalau harus ikut muter bawa kranjang,” ujar Mia. “Oh, baru nyampe ke rumah kalian?” “Iya, Kak.” “Udah diajak belanja?” “Kebetulan stok barang lagi abis.” Mia terpaksa berbohong. Ia tahu kakak iparnya sedang tidak baik-baik saja. Ia harus melakukannya. “Apaan sih, Dek.” “Dah, ayo ikut aku,” perintah Danang. “Makasih, Mas Danang.” “Dek,” protes Dania. “Udah Kak, nggak apa-apa.” Mia mengulas senyum. Meyakinkan kakak iparnya bahwa ia tidak butuh bantuan. Dania pun kalah. Ia berjalan tepat di belakang Danang. Meninggalkan Mia yang tengah memilih barang-barang. Sepeninggal Dania dan Danang, Mia bingung sendiri. Apa saja yang harus ia beli. Ia sendiri tidak punya catatan sama sekali. Mia berinisiatif menghubungi Akram namun tidak diangkat. Akhirnya ia memberanikan diri membelikan sesuatu untuk suaminya. “Bismillah, moga cocok,” ujarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD