Bab 42 : Istri Saya

1027 Words
Tempat yang dijanjikan Akram dan Hilmi terlihat cukup ramai. Salah satu spot yang memang menjadi tempat menarik untuk berfoto. Hilmi berpura-pura seolah ia tak menunggu Akram. Di depan Nasha ia tetap tampak biasa. "Mau ikutan foto nggak?" tanya Risa. Sejak tadi sudah lebih dari dua belas kali jepretan yang dilakukan Bagas untuk mengabadikan posenya. "Nggak. Kalian aja," jawab Nasha. "Kenapa? Nggak mau nyimpen kenangan?" timpal Hilmi. Harusnya momen seperti ini tidak diabaikan oleh kekasihnya. "Nggak gitu, Hil. Silau banget," kilah Nasha. Hilmi pun mengangkat bahu. Ia memilih berdiri sambil bergabung bersama Risa dan Bagas. "Selfi aja, Gas!" serunya. Sengaja memberi penekanan pada perintahnya. "Siap, Bos!" Risa, Bagas dan Hilmi pun melakukan aksi foto bersama. Sementara Nasha hanya terkekeh. Ia mengalihkan pandangan ke tempat lain. Dan betapa terkejutnya, saat ia melihat Akram bersama Mia berjalan bersama. Nasha pun tersentak. Hilmi yang menyadari perubahan sikap Nasha mendekat. Dalam hati ia bersorak karena bisa mempertemukan mantan pasangan itu dalam kondisi yang berbeda. "Waow siapa itu?" tanya Hilmi tiba-tiba. Nasha tak menjawab. Ia berusaha menghindari kedatangan Mia dan Akram. Namun, terlambat karena Hilmi lebih dulu mencegahnya. "Kita hadepin sama-sama, Sha," ujarnya merasa paling pahlawan di sini. Nasha menggeleng. Ia sebenarnya enggan. Namun, jarak Mia dan Akram semakin dekat. Nasha terhenyak karena di luar perkiraannya, Akram meraih tangan Mia. "Apa maksudnya?" desis Nasha. Hilmi yang merasa bahwa Akram memulai kesepakatan tadi pun tak ambil diam. Ia meminta Nasha berdiri serta mengajaknya bertemu dengan Mia dan Akram. "Ayo, Sha!" ajaknya. Nasha pun pasrah. Terlebih saat tangan Hilmi menariknya. Keduanya berjalan dan berdiri tepat di depan Mia serta Akram. "Hai karyawan," ledek Hilmi. Ia tidak mau kehilangan kesempatan. Akram tak menjawab. Ia lebih memilih memerhatikan Nasha yang mulai salah tingkah. Mungkin, di depan Mia, Nasha tak bisa berbuat apa-apa. "Wah, wah ada apa ini? Kenapa diam-diam semua? Halo Mbak cantik?" Tangan Hilmi terulur. Cowok itu berusaha menjabat tangan Mia. Namun, segera Mia menjura. "Wah alim cewek lo, Kram." "Istri," ralat Akram. "What? Istri? Lo udah nikah, Kram?" Hilmi berpura-pura tidak tahu. Akram mengangguk. "Ya. Ini Miana Agya istri saya." Baik Mia maupun Nasha tak mengira Akram akan dengan gamblang menjelaskannya. "Ini istri sah saya," ulang Akram. Mia pun mendongak. "Satu-satunya istri yang saya miliki dan saya sayangi sepenuh hati." "Wah, wah, wah ngegombal di depan gue, lo?" seloroh Hilmi. Tak mengira Akram akan sejauh itu. "Ya. Karena biar tidak keliru." Hilmi tergelak. Sungguh Akram sangat lucu. Sementara Mia diam saja, pun dengan Nasha. Keduanya tak bisa berkata-kata. "Ayo, Dik. Kita balik ke sana," ajak Akram. "Ya?" tanya Mia heran. "Di sini terlalu ramai," jawab Akram sambil tersenyum. Sungguh satu hal yang baru pernah dilakukan Akram untuk Mia. Mia tak berkutik. Ia seperti tersihir dengan pesona suaminya. Ia pun mengangguk kecil sambil mengikuti langkah Akram. Ia sama sekali tidak tertarik untuk menyapa Nasha. Terlebih saat mengingat pesan-pesan yang dikirimkan gadis itu. Sementara Nasha terdiam, terlolong begitu saja. Apa maksudnya? Mantan dan mantan temannya itu sedang bercanda? Nasha pun menggeleng. Akram berusaha terus melangkah. Ia kaitkan telapak tangannya dengan telapak tangan Mia. Tak pernah mengira akan menyentuh gadis ini di depan umum bahkan di depan Hilmi dan Nasha. *** Lepas kegiatan di Malioboro, Valga dan Delia langsung mengajak Mia serta Akram pulang. Mereka rupanya tidak jadi mengadakan pameran karena sebenarnya alasan itu hanya dibuat-buat. Sepanjang perjalanan pulang ke Magelang, lebih banyak didominasi oleh candaan Delia. Perempuan itu terus-terusan mengajak Mia dan Akram bergurau. "Tau nggak dulu Kak Dania bikin Malka di mana?" tanyanya. Sontak membuat kening Akram mengernyit. "Ya mana tau, lah, Del. Kamu ada-ada aja," timpal Valga. "Di kamarku tauk yank." Mia dan Akram tersentak. "Maksudnya?" "Mereka nggak tau gimana ceritanya lagi main ke rumah Ibu, tuh. Nah tapi kamarnya Kak Dania kan udah dipakai buat kamar Akram waktu itu. Ya udah mereka nginep sama make kamarku." "Alah sok tau yank. Emangnya Dania cerita?" Delia mengangguk. "Apa yang nggak yank." Valga pun tersenyum tipis. "Kamu nggak cerita ke dia, kan?" Delia terkikik. "Apaan, Mas. Kagak, lah!" Akram dan Mia hanya bisa menggeleng. Tak pernah tahu kakaknya se-absurd itu. Akram lebih baik memikirkan hal lain. Karena tadi saat tidak sengaja meraih tangan Mia ada perasaan lain yang hadir. Berbeda sekali dengan waktu-waktu sebelum itu. Mia menghela napas. Bukan tidak mungkin suatu hal yang harusnya memang ia dapatkan dan belum juga ia terima, mengganggu pikirannya. Ia sudah berusaha, sudah jujur juga bahkan sudah berlibur bersama. Namun, suaminya tak kunjung peka. Percikan api asmara miliknya sejak dulu memang sudah menyala. Ditambah genggaman tadi, rasanya kian besar saja. "Ini mau dianter kemana?" tanya Valga. Mereka sudah hampir sampai. "Rumah, Kak," jawab Mia. "Rumah baru?" Mia mengangguk. Sementara Akram enggan melakukan protes. Mobil Valga berhenti tepat di rumah berdesain modern minimalia itu. "Hati-hati ya, Kak. Makasih," ucap Mia. "Sama-sama cantik. Semoga cepat jadi ya, yang di perut," ujar Delia. Ia tersenyum kecil. "Amiin. Minta doanya, Kak." Mendengar jawaban Mia, Akram tak bisa menimpali. Jangankan jadi melakukan saja belum pernah. Akram menggeleng. Ia tidak perlu memikirkannya sekarang. "Dahhhh, Kak!" seru Mia. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam." Mobil Valga dan Delia meninggalkan rumah baru itu. Menyisakan dua orang yang lagi-lagi terjebak dalam perasaan asing. Mia melangkah lebih dulu. Ia tidak mau terlalu bergantung pada Akram. "Kuncinya?" tanya Akram tiba-tiba. "Oh, ini." Mia mengulurkan kunci rumah yang memang ada pada dirinya. Akram menerimanya. Dengan cekatan ia membuka kunci rumah mereka. Beberapa detik rasanya pun terasa lama saat harus bersama Mia. Hati Akram mencelos. Tak seharusnya ia mempermainkan perasaan perempuan seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi? Sulit sekali baginya untuk memulai. Mia melangkah masuk. Tak lupa mengucap salam. Rumah baru yang besar dan terasa lengang. Dalam hati Mia berharap ada banyak keceriaan namun yang ada justru sebaliknya. Akram tak langsung melangkah. Ia biarkan istrinya menjejaki rumah itu lebih dulu. Dalam hati ia menyangsikan apa yang tengah terjadi. Baru saja ia mengakui Mia di depan Nasha. Baru saja ia mengakui ikatan pernikahan di antara mereka. Rasanya tak nyaman. Akram mendesah. Ia tatap tangga lantai dua. Di mana istrinya tengah berjalan di sana. "Antara kita adalah keharusan yang mutlak tak bisa dihindari meski inginku menolak sangat tinggi. Antara kita adalah keadaan di mana aku harus menerimamu meski di dalam sini tak tertera sama sekali," gumam Akram. *** _Danial Akram_
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD