Akram menatap ke seluruh ruangan lantai satu. Keadaan semacam ini tidak bisa terus-terusan ia pertahankan. Sebagai seorang laki-laki ia harus bisa bersikap. Diam bukanlah sebuah solusi. Akram kembali mendongak. Ia tatap kembali lantai dua. Mia memang istrinya tapi tidak untuk cintanya. Akram mengayunkan langkah menuju kamar mandi di lantai satu.
Di lantai dua tepatnya di kamar yang cukup megah itu, Mia kembali termenung. Angannya akan romansa cinta yang manis mulai kabur. Ia harus bisa bersikap. Mia mengepalkan tangan. Bertahan seperti ini hanya akan menyiksa diri. Terlebih tadi saat ia dengan jelas melihat bagaimana Akram menatap Nasha.
Dulu Mia pernah berpikir mencintai jauh lebih baik dibandingkan dicintai. Patuh terhadap suami memang menjadi visi besarnya. Akan tetapi jika di hati suaminya sama sekali tak ada cinta. Apa iya bisa? Mia pun tertunduk lesu.
[Cinta pertama memang layak diperjuangkan. Tapi kalau nyakitin buat apa?]
Pesan singkat dari seseorang yang Mia kenal kembali terngiang. Ia belum sempat membalasnya.
[Lalu bagaimana? Haruskah menyerah?]
Mia membiarkan pesan itu mengudara. Biasanya tak butuh waktu lama. Karena seseorang itu selalu ada untuknya. Kapanpun waktunya pasti pesan-pesan yang ia kirimkan akan dibalas dengan cepat.
[Coming soon ya.]
Mata Mia membola.
"Coming soon?" tanyanya.
[Mau rilis film?]
Mia tak paham kenapa justru coming soon. Ia bertanya menyerah saja. Bukan memulai sesuatu. Mia pun mengernyitkan kening. Merasa janggal dengan balasan pesan ini.
[Mandi dulu. Gimana suami suka kalau istrinya bau asem.]
"Wah!" celetuk Mia. Ia masih setia mengamati layar ponselnya.
[Sok tau!]
[Buruan!]
Sebuah emoticon lidah menjulur pun Mia kirimkan. Ia tahu setelah ini tak akan ada balas lagi. Di dunia yang kadang kejam bagi sebagian orang, Mia sangat beruntung memiliki seseorang yang selalu setia mendengarkan ceritanya. Sejak dulu, tentang apa pun itu.
***
Sudah cukup lama Mia tetap berada di dalam kamar. Gadis itu tak menampakkan diri di lantai satu. Akram yang merasa perutnya sudah mulai lapar pun sedikit kepikiran.
"Pesen aja apa gimana, nih," ujar Akram. Harusnya istri menyiapkan makanan untuk suaminya.
Akram mulai memainkan ponsel. Ia jelas bosan berada di rumah tanpa ada kegiatan. Meski badannya cukup lelah setelah perjalanan, tetap saja ia tak betah lama-lama berdiam diri. Akram mengetuk ngetuk meja makan. Merasa perlu mempertimbangkan keputusannya.
"Dah lah samperin aja," ucapnya seraya melangkah.
Ting Tong! Ting Tong!
Bel pintu rumah itu berbunyi. Sontak Akram menghentikan langkah. Ia pun berbalik untuk membukakan pintu tersebut.
"Hai! Assalamaualaikum!" sapa seorang pria muda, tampan dan cukup berwibawa.
"Waalaikumsalam. Ada yang bisa dibantu?" tanya Akram polos.
Pria itu pun tersenyum. "Akram kah?"
Akram mengangguk. "Ya, saya Akram."
Pria tersebut kembali menyunggingkan senyum. Ia mengamati Akram dari ujung kaki hingga kepala.
"Mia! Dimana kamu?!" teriaknya sambil berjalan menuju dalam.
Akram tersentak. Siapa pria itu?
"Miana ... where are you? Aku dah datang lho!" teriaknya lagi.
Akram pun menutup pintu. Ia mengikuti pergerakan pria misterius yang memanggil istrinya.
"Ambilin minum, Kram!" perintahnya setelah mendudukkan diri di sofa.
"Ya?"
"Haus aku. Dari bandara belum minum," ujar pria asing itu sambil mengibaskan tangan.
"Air putih?"
Pria itu pun terkekeh. "Gila kamu! Masa air putih. Ya soda kek apa cola. Putihan aja. Mau ngusir kamu?"
Akram gelagapan. Mengapa pria ini sangat galak?
"Nggak ada. Adanya air putih."
Pria asing itu akhirnya mengangkat tangan. "Payah, ah. Aku mau ke atas aja. Kamar Mia di atas kan?"
"Iya."
Akram menjawab tanpa berpikir panjang.
"Oke. Thanks."
Akram pun tersentak. Pria itu sudah melangkah menuju tangga. Mau masuk ke kamar?
"Mia sayang!!! Di mana kamu? Aku datang nih!" teriaknya lagi.
Ekor mata Akram mengikuti pergerakan pria tadi. Ia merasa aneh saat seorang pria tak dikenal dengan nyamannya datang dan akan masuk ke kamar istrinya. Apa selama ini Mia pun tak sebaik tampilannya?
***
Setelah lima kali ketukan pintu kamar Mia pun terbuka.
"Hai!" seru pria asing tadi sambil memamerkan barisan gigi putihnya.
"Kakak!" pekik Mia. Refleks pria tadi membekam mulut gadis itu.
"Ke--na--pa--?"
"Sssstttttttt jangan panggil kakak. Panggil aja cinta."
"Ap--aan?!" Mia berusaha melepaskan bekaman itu. Haram baginya disentuh pria yang bukan mahramnya.
"Coming soon. Kita buat suami kamu cemburu."
Mata Mia membulat. Sejak pagi mereka memang membahas tentang cara mengetahui seseorang memiliki rasa atau tidak. Mereka juga asyik mendiskusikan tentang kehidupan pernikahan Mia dan Akram. Mia pun terdiam.
"Kita buat dia salah tingkah," celetuk pria tersebut. Sudah menjadi janjinya membuat Mia bahagia.
Mia menunjuk tangan Frans--kakaknya angkatnya. Seseorang yang menjadi salah satu anggota keluarga Agit dengan jalan berbeda.
"Ups sorry."
Mia pun melotot tajam. Ia sangat tidak suka Frans berbuat sesukanya.
"Maaf. Biar aksinya lancar."
"Nggak gitu juga, Kak."
"Iya. Iya, maaf ya adek."
Mia mensedekapkan tangan. Setelah tahu tentang hubungan asli antara ia dan Frans, Mia lebih menjaga diri.
"Gimana?" tanya Frans memastikan. Sejak dulu Mia selalu mengesankan di matanya.
Mia mengangguk kecil. "Nanti Mia pakai handsock dulu biar aman."
"Binggo! Cerdas banget, Dek," ujar Frans sambil mengusap kepala Mia. Satu hal yang membuat jantungnya berdegup kencang.
Mia mengerucutkan bibir. Sedikit tidak nyaman karena mau bagaimanapun mereka tak ada ikatan darah. Namun, seringkali Frans menganggapnya layaknya adik kandung.
"Belum pulang ke rumah, Kak?"
Frans menggeleng. "Langsung ke sini."
"Kenapa?"
"Mau jemput adek tersayang."
Mia pun memukul lengan Frans. "Apaan sih!"
"Sakit, Dek. Kebiasaan kamu."
"Lagian ada-ada aja," protes Mia. Semenjak menikah jelas panggilan semacam itu tak pantas dilontarkan oleh Frans.
"Jadi nggak nih misinya?" ledek Frans. Ia sudah punya beberapa rencana.
Mia pun pasrah. Salahnya bercerita banyak tentang Akram pada Frans. Salahnya juga melibatkan kakaknya itu.
"Ya udah, lah."
"Oke. Kita mulai dari step satu. Udah mandi, kan?"
Mia mengangguk. "Udah. Nggak taunya mau datang."
"Kan nggak asik kalau aku datang masih bau."
"Ya udah lah. Gimana?"
"Kita pulang ke rumah sama-sama."
Mulut Mia membuka. "Serius?"
Frans mengangguk. Pasti adik iparnya tak berkutik saat harus menyaksikan Mia tiba-tiba pulang bersama laki-laki lain. Harusnya Akram berpikir dua kali untuk menyetujui.
"Apa nggak berlebihan, Kak?"
Frans menggeleng. "Langsung ke hal-hal inti. Kalau mau tau lebih banyak."
"Bapak sama Ibu gimana?"
"Urusan kakak."
"Mia serius, Kak."
"Kakak juga."
Keduanya melempar pandangan. Adu argumen khas kakak adik yang sering terjadi.
"Tapi ..."
"Sssttttt. Nurut aja sih!"
Mia mengangguk kecil. Ia pasrah saja. Kali ini ia memang ingin berusaha. Ditambah melihat tatapan Akram pada Nasha. Rasanya seperti tak ada lagi tempat untuknya di hati suaminya.
"Nggak aneh-aneh ya, Kak."
"Berani bayar berapa?"
"Tuh!" protes Mia.
Frans tergelak. Di matanya, Mia sangat menggemaskan. Andai diizinkan, ia akan selalu ada setiap waktu menjaga adik kecilnya yang lucu.
***