Mia buru-buru menangkupkan tangannya. Sungguh ia tak mengira akan seperti ini jadinya. Tadi, seingatnya hanya ingin mendinginkan kepalanya yang gerah. Bukan untuk sesuatu yang kesannya 'menggoda'. Sementara Akram tak beranjak. Ia setia dengan posisinya. Anehnya, reaksi Mia itu justru membuatnya terkesan.
Entah karena pengaruh apa. Akram merasa perlu meluruskan sesuatu. Ia harus bisa memastikannya. Bagaimanapun ia seorang laki-laki normal. Pelan tapi pasti Akram mengayunkan langkah. Memangkas jarak antara ia dengan Mia.
Jantung Mia bertalu-talu. Napasnya memburu seiring mendekatnya langkah Akram. Ia tidak salah lihat. Ia tidak sedang bermimpi. Suaminya ada di hadapannya. Refleks Mia memejamkan mata. Ia tak pernah berada dalam posisi seperti ini sebelumnya.
"Ngapain?"
"Ya?"
"Kamu ngapain merem?"
"Eh, sa--ya? A--ku?"
Akram mengangguk. Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Teriakmu kekencengen."
Seperti disiram air dingin. Getar yang sempat Mia rasakan lenyap seketika.
"Maaf," ujar Mia sambil menbenarkan jilbabnya, sebisanya.
Akram mengangguk. "Lain kali hati-hati."
Mia mengagguk kecil. Ia kira tidak seperti ini. Ia kira Akram paling tidak akan melakukan sesuatu. Ah, angannya terlalu tinggi. Akram pun berbalik. Ia percepat langkah agar bisa keluar dari kamar. Tak lupa menutup pintunya rapat-rapat.
Lutut Mia terasa lemas. Apa yang salah? Mereka muhrim. Halal bahkan untuk sebuah sentuhan. Melihat dan mengabaikan begitu saja? Apa itu wajar?
Mia mendudukkan diri lagi di kursi. Anehnya tak hanya perasaan kurang nyaman yang hadir. Melainkan satu per satu kesedihan yang mulai terasa. Mata Mia mulai menghangat. Mungkin, sebagai perempuan ia memang tidak memiliki daya tarik terlebih di depan suaminya sendiri.
***
Kamar mandi menjadi tujuan Akram. Ia nyaris saja kehilangan akal saat melihat leher jenjang Mia. Putih, bersih bak s**u yang sangat terjaga. Akram meraup wajahnya. Ia harus menetralkan perasaan yang datangnya dari suatu hal yang tidak bisa ia kendalikan.
"Kemana sih, Kak Delia. Nyebelin banget," keluh Akram. Ia memulai memutar kran dan membasuh wajah.
Ponsel di saku celananya bergetar. Benda satu itu tak pernah ia tinggalkan. Ia masih berharap sewaktu-waktu Mia menghubungi. Maka begitu ia merasakan getaran, langsung ia sambar.
"Beli makannya kemana, Kak? Emang nggak ada room service?"
"Satu-satu, Kram nananya."
"Kakak sama Mas Valga kemana? Udah malam gini."
"Sorry, Kram. Mas Valga mendadak diminta ketemu klien. Tadi pas mau balik eh ada telpon. Ini makananya kakak antar lewat layanan antar."
"Terus?"
"Kalian di situ dulu, ya. Ada layanan room service, kok. Cuma kurang cocok aja kata Mas Valga. Jadi, tadi ngajakin keluar."
"Terus, Kak?"
"Ya udah kalian berdua aja. Bikin ponakan buat kakak juga nggak apa-apa."
Terdengar kekehan Delia. Tampak puas sekali dengan ide yang dicetuskannya.
"Enak, lo, Kram. Nggak nyesel loh!" seru Valga.
Maka secepat kilat Akram mematikan sambungan telepon itu. Ia pun menggerutu. Beralih melakukan panggilan lain untuk Dania.
"Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Mohon periksa kembali nomor tujuan anda."
"Arrrghhhh!!!" Akram mengacak rambutnya. Sungguh semua orang bersekongkol menjebaknya.
Akram semakin kesal. Ia tatap wajahnya sendiri di cermin. Nasib buruk yang teramat buruk. Mengapa harus di tempat seperti ini? Di saat suasana hatinya tak keruan dan bayang kulit seputih s**u itu tak mau hilang. Akram terus menggeleng. Ia tak boleh kalah dengan dorongan sesaat itu. Akram harus mencegahnya dengan satu cara. Bersuci untuk mendiamkan diri. Ia bersiap melangkah dan ponselnya kembali bergetar.
"Apa lagi," desis Akram. Meski kesal, ia tetap melihatnya.
Mata Akram membola. Nomor baru. Mungkinkah? Segera Akram menerima panggilan.
"Assalamualaikum, Kram. Udah nyampe belum?"
Harapan Akram terlalu tinggi. Hayalan yang mustahil terjadi. Suara itu jelas bukan suara Nasha.
"Waalaikumsalam. Ibu, ya?" tanya Akram sopan.
"Iya. Maaf ini ganggu malam-malam. Tadi mau telpon Mia kok nggak aktif."
"Oh nggak aktif, Bu?"
"Iya, Kram. Dari siang malah. Apa habis batre atau gimana?"
Akram memijit pelipis. Berpikir sejenak untuk mencari alasan yang tepat. Ia sendiri tidak mengerti alasan Mia mematikan ponsel.
"Iya, Bu. Tadi sempat bilang mau dicas," tutur Akram, berbohong.
"Oh, begitu? Lagi sama Mia nggak, Kram? Kebetulan Ibu kok kepikiran ya kalau belum tau kabarnya langsung."
Akram semakin merasa ini semua merepotkan. Sudah dua kakaknya seperti itu sekarang ditambah mertuanya. Sungguh, hal-hal yang tidak ia antisipasi di awal.
"Kram, gimana?"
"Oh, ya, ya. Bentar, Bu. Kebetulan Akram baru dari teras."
"Ya, Ibu tunggu, ya. Nggak usah dimatikan."
"Ya, Bu."
Sesuai arahan mertuanya, Akram tak mematikan sambungan telepon itu. Ia berjalan keluar dari area kamar mandi untuk kembali ke kamar utama. Ya, kamar yang seharusnya menjadi idaman pengantin baru. Akram dalam hati mengumpat sebenarnya, tapi tak sampai untuk mertuanya. Tetap saja dalang dari semua ini adalah sang kakak.
"Sebentar, ya, Bu."
"Ya, Kram."
Akram pun menarik napas dalam. Ia mendorong pintu kamar yang tadi sempat ia tutup rapat. Ia berharap istrinya belum terlelap agar bisa menenangkan mertuanya.
Ceklekkkkk
Pintu pun terbuka.
Akram bergeming.
Sesuatu yang belum pernah ia jumpai ada di depan matanya. Sesuatu yang jelas tidak pernah ia kira sebelumnya.
"Maaf, Bu. Maaf. Mia sudah tidur."
"Oh, ya? Jam segini?"
"Iya, Bu. Akram tutup ya teleponnya," ucap Akram pelan. Tanpa menunggu jawaban mertuanya, Akram mengakhiri panggilan itu.
Mia bisa dengan jelas mendengar derap langkah Akram. Ia juga tahu suaminya berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Namun, Mia tetap setia menghadap ke jendela yang tertutup tirai. Baginya, malam ini menjadi penting. Belum tentu ia memiliki kesempatan di lain waktu.
Tak banyak yang tahu, di balik jilbab yang sering ia kenakan, ada sebuah sayatan yang berusaha ia tutupi. Mia dengan segala keanggunan yang tampak dari luar, menyimpan beberapa luka. Satu yang pasti luka itu membekas di punggungnya.
Mia membiarkan keheningan memasung mereka berdua. Sengaja menunjukkan sisi terburuk diri di depan Akram yang baru ia kenal beberapa hari. Lewat lampu temaram itu, sayatan di punggungnya harusnya tetap terlihat.
"Apa maksudnya?" tanya Akram. Ia perlu memastikan.
Mia menoleh ke sebelah kanan. "Sama-sama luka. Beda tempat saja."
"Kamu nyindir aku?"
Mia menggeleng. "Sama sepertimu yang mungkin memiliki beberapa rahasia aku pun juga."
"Langsung ke inti, Mia," tegas Akram.
Mia kembali melihat ke arah jendela. Tang top berwarna hitam itu harusnya tetap bisa memperlihatkan luka itu.
"Luka bakar sejak pindah dari SMP Negri."
"SMP Negri?"
Hati Mia mencelos. Mana mungkin Akram mengingatnya. Kenal pun tidak.
"Sebuah luka dan sebuah puisi. Tentang calon pemain sepak bola."
"Puisi?"
Mia mengangguk. "Pengagum rahasiamu."
Akram terhenyak. Ingatannya melesak. Puisi dan pengagum rahasia. Bukankah itu mantan kekasihnya? Lalu apa hubungannya dengan Mia. Gadis yang kini menanggalkan jilbab dan bajunya di depannya.
Ada yang salah?