Bab 58: Karena itu Kamu

1117 Words
"Kamu yakin mau mengisi dengan barang-barang itu?" "Iya, Pak. Mia yakin." "Tidak ingin sama dengan toko-toko yang lain? Tinggal ganti plang saja, Mia." Mia menggeleng. "Maaf, Pak. Mia tetap ingin yang berbeda." "Kenapa?" "Mia ingin mewujudkan mimpi seseorang, Pak." "Akram?" Mia mengangguk kecil. "Iya." "Mengapa begitu yakin? Kalau gagal bagaimana?" Agit sedikit menyangsikan pilihan Mia. "Karena itu Mas Akram, Pak. Mia yakin." "Ya sudah kalau begitu. Bapak nggak bisa nglarang, ya. Tapi Bapak nggak mau nanggung resikonya." "Baik, Pak." D and M sport and goods shop berdiri berkat inisiatif Mia. Sejak awal Agit memang akan memberikan salah satu cabang toko besi dan bangunan atau toko karpet yang sudah terkenal di khalayak ramai. Namun, Mia menolaknya. "Mantep, Nduk?" "Insyaallah, Pak." Agit tersenyum tipis. Ia paham putrinya selalu memiliki keyakinan sebelum memutuskan sesuatu. Agit menerima grand desain pembangungan toko yang konsepnya disusun sendiri oleh Mia. Ia akan memberi kesempatan dan mengawasi dari jarak teraman. Mia berseru riang. Meski semua masih belum pasti ia yakini saat itu Akram--suaminya semua akan baik-baik saja. "Ikuti arahan kakak kamu, ya," imbuh Agit. "Kak Frans?" Agit mengangguk. "Insyaallah kakak kamu balik ke Indo. Dia yang akan mengurus semua." Mia semakin bahagia. Nyatanya kakaknya tidak benar-benar membencinya. Meski belum tahu pasti  kapan Frans akan datang, ia sudah sangat lega. Selama ini Frans tidak benar-benar mengabaikannya. * Mia menghela napas berat. Ia tahu saat mengajak Akram mengurus toko ini sama saja ia sedang berspekulasi. Bahkan, saat lamaran pernikahan mereka digelar, Akram sudah mewanti-wanti agar dirinya tidak jatuh cinta dengan pemuda itu. Namun, namanya rasa suka, sayang yang kemudian bekembang menjadi sebuah definisi cinta tidak bisa ditepis begitu saja. Terkadang, ia datang tanpa pernah diminta. Mia mengukir senyum samar. Di sisi lain ia bersyukur ada Frans di dekatnya. Frans selalu mendukung apa pun yang ingin ia lakukan. Termasuk mengelola sebuah toko yang kalau berdasarkan analisa pasar akan sulit mendapatkan perhatian masyarakat. Namun, Mia lagi-lagi percaya. Ia yakin dengan bantuan Frans, potensi suaminya akan berkembang. "Kakak keliling dulu, ya. Kamu lanjutkan mikir setuju apa nggak soal ambil course itu." Mia mengangguk kecil. "Ya, Kak." Sepeninggal Frans dari lantai dua Mia masih asyik menikmati pemandangan indah dari sana. Kaca besar yang menjadi pembatas dinding memperlihatkan dengan jelas taman kecil di dekat area parkiran. Bahkan ia menaruh harapan pada tunas-tunas bunga itu agar bermekaran. Mia menyudahi lamunannya. Ia bergegas menuju lantai satu mencari keberadaan suaminya. "Mas," panggil Mia. Akram sedang melihat etalase di depannya. Akram menoleh. "Apa?" "Udah mau duhur. Solat yuk," ajaknya. Jika di luar, Mia ingin mereka terlihat mesra seperti menjalankan ibadah bersama. Akram meraih ponsel di saku celananya. Ia buka tombol kunci di sisi kanan untuk memastikan penanda waktu itu terlihat. "Belum azan," sambar Akram. Raut wajah kecewa Mia langsung nampak. "Ya udah kalau begitu aku duluan, ya. Mas." Akram mengangguk. Ia menjadi tidak nyaman berdekatan dengan Mia akibat ulahnya sendiri. Seenak jidat mengecup bibir perempuan itu hanya karena tersulut emosi. Akram memegang tengkuk. Rasanya seperti memiliki beban berat yang tidak bisa ia bawa. Drrt...drrt...drrrt. [Kak Dania : Kakak di depan rumah kamu sekarang. Tapi kok sepi?] Sontak mata Akram membulat. Kak Dania? Ponsel Akram kembali bergetar. Satu pesan lagi dari nama pengirim yang sama. [Kak Dania : Maaf mendadak. Kakak butuh bantuan.] Akram pun bergegas. Ia tidak mungkin mengabaikan kakaknya. Segera Akram mencari musala di area toko tersebut. Ia harus membawa Mia. Setelah berputar dan bertanya pada beberapa orang, akhirnya Akram menemukan tempat itu. Ia mengambil air wudu untuk kemudian masuk. Deg! 'Mereka berdua?' batin Akram. Sebuah pemandangan yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Frans menjadi imam dan Mia sebagai makmumnya. Selama ini setelah menikah, ia belum pernah melakukannya, tapu pria itu justru mendahuluinya. Akram menghentikan langkah. Ia tahu dari cara Mia duduk, sudah memasuki rakaat terakhir. Akram lebih memilih menunggu dengan hati yang tiba-tiba terasa kesal. Ia mau salat. Mau menghadap Allah tapi anehnya ia tidak tenang. Mia melakukan gerakan salam dan menutup dengan doa. Mia cukup terkejut saat Akram melewatinya begitu saja. Ada kecewaan yang mengikat di hati mengingat apa yang mereka alami. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Sambil melihat punggung itu melakukan gerakan rukuk, Mia merapal doa. Semoga suaminya bisa sedikit saja memikirkannya. Satu-satunya cara hanya dengan meminta kepada Sang Pemilik Rasa yang sesungguhnya. "Ayo," lirih Frans saat ia akan keluar. "Kakak duluan aja." Frans melihat ke arah Akram yang masih belum selesai melakukan gerakan salat. "Oh, oke," ujarnya sambil berlalu. Mia masih setia. Setelah melipat mukena, ia tidak langsung meninggalkan musala itu. Melainkan duduk di teras seorang diri. Akram cukup lama berdoa. "Mas," ucap Mia begitu melihat Akram keluar dari sana. "Ya." "Mas nggak laper?" Pertanyaan yang cukup di luar dugaan Akram. Seharian ini, ia menjadi malas makan setelah melihat Frans dan Mia duduk berdua di dapur rumah. Tak hanya itu mereka masih mengulanginya saat di toko. Hal itu membuat Akram benar-benar malas. "Nggak," sahut Akram sambil ikut duduk. "Mas belum makan apa-apa dari pagi," ujar Mia. "Emang." "Beneran nggak laper?" Akram menggeleng. Ia mengeluarkan ponselnya dan meneruskan pesan WA dari kakaknya ke nomor Mia. "Buka hp kamu," ujarnya. "Hp? Kenapa emagnya, Mas?" "Buka aja." Mia merogoh tas kecilnya. Meraih ponsel berlogo buah apel tergigit itu seraya membukanya. Sebuah nomor baru masuk di layar ponselnya. "Kak Dania...," eja Mia. "Ini nomor kamu, Mas?" seru Mia. Cukup kaget mengingat mereka belum saling menyimpannya. "Iya. Kak Dania di depan rumah. Kita harus pulang." "Ya, Mas. Ama Malka nggak?" "Paling iya." Raut kecewa Mia tadi seketika berubah. Ia menjadi semangat. "Oke. Oke. Kalau begitu aku ambil kunci mobil dulu di kak Frans." Mia hendak melangkah namun Akram menariknya. "Nggak usah. Naik grab aja." "Tapi, Mas...." "Udah nurut aja, sih. Kamu banyakan tapinya." Mia pun tak berani membantah. Dan benar saja. Akram mengajak Mia ke tepian jalan raya setelah berpamitan dengan Frans dan karyawan. Meski Frans menyodorkan kunci mobil, Akram menolaknya. Bagi Mia tak masalah. Asal dengan Akram berkendara dengan apa saja tetap menyenangkan. Perasaan Mia membuncah. Ia senang bukan kepalang terlebih saat tahu akan ada keponakan suaminya di rumah. Pasti sangat menyenangkan. * "Maaf, Kak Dan. Lama," ujar Akram begitu sampai di teras rumah. Ia menyalami punggung kakaknya. "Nggak apa-apa, Kram. Kakak yang salah nggak bilang dulu." "Nggak apa-apa, Kak Dania. Santai saja. Gimana kabarnya, Kak?" "Baik, Mia. Kamu bagaimana?" "Alhamdulillah, baik juga. Ngomong-ngomong, Malka mana, Kak?" Dania terdiam. Ia sendiri sedang merindukan Malka. Namun, Malka sedang bersama Mas Pram. Dania memilih untuk tidak mejawab dan mengulas senyum kecil pada Mia. "Masuk dulu, aja, Kak. Ceritanya di dalem," ucap Akram. "Ya, Kram." "Mari, Kak," sahut Mia. "Makasih, Dek." Mia mengangguk. Ia ketinggalan berita. Wajah kakak iparnya cukup murung dan tampak berbeda dari biasanya. Mia berusaha mencari tahu dengan meminta penjelasan Akram saat mereka ke dapur sebentar, namun suaminya itu hanya menjawab. "Nanti aku ceritakan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD