Bab 28 : Langit Mendung

1065 Words
Akram terus melangkah. Tak peduli dengan Mia yang tampak tak rela. Baginya, kabar dari Rios menjadi sangat penting. Terlebih dengan embel-embel tempat biasa. Ia tahu betul siapa gerangan yang akan menemuinya. Jantung Akram berdetak ganjil. Sungguh ia berharap bukan kecewa yang akan ia dapatkan seperti sebelumnya. "Di mana, Yos?" tanya Akram begitu melihat sahabatnya. "Dalem. Udah mewek dari tadi." "Beneran Nasha?" tanya Akram tak percaya. Rios mengangguk. "Buruan!" Tanpa berpikir panjang Akram menuju tempat yang menjadi persembunyiannya selama ini. Sebuah kedai milik Mas Danang yang menjadi tempat mereka banyak menghabiskan waktu. "Ingat istri, Kram. Jangan kebablasan," ujar Mas Danang yang rupanya sedang tidak bekerja. Akram berpikir sejenak. Ia mendadak ragu untuk mendorong pintu itu. Bolehkah? Atau sudah terlarangkah? "Selesaikan hingga akar. Jangan menjadi pecundang!" Mas Danang menepuk punggung adik mantan kekasihnya itu. Akram mengangguk lemah. Ia menggeleng untuk menyinkronkan pikiran. Kembali berkonsentrasi seraya mendorong pelan pintu tempat istirahat karyawan di kedai itu. Bahu Nasha naik turun. Tampak jelas aktivitas apa yang sedang dilakukan gadis itu. Tanpa dijelaskan Akram pun paham. Pelan Akram menurunkan pandangan. Di samping kiri kursi yang diduduki Nasha, satu kotak kardus teronggok. Berisi barang-barang yang sangat Akram kenali. "Sha," desis Akram. Sungguh perjumpaan ini akan berbeda saat mereka masih dalam satu ikatan hubungan. Nasha tak menjawab. Gadis itu justru membenamkan wajahnya pada tangan yang ia lipat di atas meja. Hatinya remuk mendengar berita pernikahan mantan kekasihnya. "Sha," lirih Akram. Ia mulai mendekat. Berusaha menjangkau jarak di antara mereka. Sekat itu harusnya tak ada. Telinga Akram masih normal. Ia tahu betul suara apa itu. Isak yang datangnya dari wanita pujaannya. Nasha bergeming. Setia dengan sedu sedan yang tak bisa ia elak lagi. Hatinya hancur tatkala perpisahan mereka benar-benar menjelma nyata. "Kamu belum berangkat ke Semarang? Kamu nggak kuliah?" tanya Akram. Jika terus-terusan diam ia jelas tak tahan. Pelan tapi pasti Nasha mengangkat wajahnya. Ia bisa dengan jelas merangkum wajah tampan Akram. Laki-laki yang berhasil menemani masa remajanya. Nasha tahu cinta mereka terlampau sulit untuk disatukan, terlalu berlebihan mengharapkan hak lebih selain hubungan remaja saja. Namun, ia tak mengira akan disiksa oleh perasaan ditinggalkan. Akram sudah menjadi milik orang. Akram tak banyak bicara. Sejak dulu mata sayu itu sudah mampu menjelaskan semuanya. Ia bahkan jatuh cinta karena cara Nasha menatapnya. "Kenapa?" tanya Akram dengan suara bergetar. Nasha menggeleng. "Kamu kenapa?" Ini hanya pengalihan. Akram tahu Nasha sedang terluka. Pun dirinya yang selalu membohongi diri setiap hari. Tanpa ampun Akram menumpahkan segala rasa. Merengkuh Nasha ke dalam peluknya. Sejak dulu memang seperti ini yang terjadi. Mas Danang mendongak. Sungguh ironi saat melihat Akram dan Nasha di dalam sana. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu betul rasanya terpisah karena restu orang tua. Mas Danang menarik sedikit pintu ruang istirahat itu. Membiarkan Akram dan Nasha menyelesaikan semua. Ia abaikan status Akram yang sudah sah menjadi suami orang. *** Mia tak banyak bicara. Ia hanya mengamati setiap aktivitas Dania. Kakak iparnya tak hanya pandai memasak, mengurus rumah dan anak juga dilakukan dengan sempurna. Mia sedikit memiliki gambaran untuk kehidupannya nanti. "Maaf, ya, Mia. Malah dianggurin," ujar Dania. Ia baru saja mengangkat jemuran mengingat langit sudah gelap. "Nggak, Kak. Mia senang di sini." Ya. Senang menjadi kata yang cocok mewakili perasaannya. Mia merasa menemukan hal baru. Sesuatu yang jelas berbeda dengan kehidupannya. "Ayahnya Malka kerja, Kak?" "Iya, Mia. Nyampe sore jam lima." "Kerja di mana, Kak?" Mia benar-benar buta akan keluarga Akram. Ia orang baru, jarang berinteraksi di desa dan tidak punya banyak kenalan. Ia tak paham perihal rekam jejak keluarga Akram. Maka momen seperti ini menjadi caranya menghimpun banyak hal. "Di desa, Mia. Jadi perangkat." "Ohhhh." "Mia dari dulu mondok?" Dania jelas bukan tipe kakak ipar yang akan membuat Mia tak nyaman. Ia senang banyak bercerita dengan menimpali seperti ini. "Iya, Kak. Dari SMP." "Kenapa milih mondok? Kenapa nggak sekolah formal aja?" Mia mengukir senyum. Ia sendiri tak tahu pasti mengapa memilih sekolah di jalur agama. Semua memang bukan mutlak pilihannya. "Subhanallah!" seru Dania. Kilat di luar menyentaknya. "Mau ujan deras kayaknya, Mbak." "Iya kayaknya Mia." "Di motor kakak ada mantol?" tanya Mia memastikan satu hal. Khawatir suaminya akan kehujanan. "Astaghfirulloh malah baru dijemur tadi. Kosong itu di bagasi," ucap Dania mengingat terakhir kali keadaan motornya. Mia tersenyum tipis. "Semoga ujannya nggak lama ya, Kak." Dania mengangguk. Ia melongok keluar jendela. Satu per satu tetes air berjatuhan. Ditambah dengan langit yang sempurna gelap doa Mia tadi rasanya sulit terjadi. Mia mengela napas. Ia tak keberatan ditinggal lama-lama di rumah kakak iparnya. Hanya saja ia tak nyaman saat mengetahui suaminya pergi tanpa perlengkapan. Bagaimana jika terkena flu? Bagaimana jika banyak arang melintang? *** Tak butuh waktu lama bagi Nasha untuk menenangkan hatinya. Dekap erat Akram jelas mampu menyingkap semua gulana. Ia yang sejak tadi sudah berencana memaki dan melempar semua barang kenangan, urung melakukannya. Ia justru terbuai dengan kenyamanan yang disuguhkan Akram. Sesuatu yang belum ia temukan di orang lain. "Nggak capek nangis terus?" Nasha menggeleng. Ia memang ingin menghabiskannya kalau perlu sampai kering. "Beneran nggak pegel?" tanya Akram. Ia masih setia membiarkan dadanya menjadi sandaran. Nasha menggeliat. "Gini?" Akram mengusap puncak kepala Nasha. "Kamu beneran udah nikah?" Pergerakan Akram terhenti. Usapan itu menjadi tak berarti. "Ehmm." "Ehmm itu apa?" Nasha tak mau melihat mata Akram. Ia tak siap. "Iya." "Terus kamu masih berani peluk aku?" Sontak Akram bergerak. "Nggak apa-apa. Aku cuma nanya." Nasha mendekatkan diri lagi. "Istri kamu kaya apa?" Akram berdeham. Tenggorokannya kering seketika. Pertanyaan ini tidak perlu. Ia tidak harus menjawabnya. "Kamu nggak jadi ke Semarang?" "Lagi liburan," sahut Nasha. "Udah libur semester?" tanya Akram kaget. "Iya. Kamu mana ingat." "Waktu itu?" "Cuma pura-pura. Cuma manas-manasin. Nggak taunya kamu beneran nikah. Gila kamu, Kram." "Kamu tau yang sebenarnya." "Tapi kamu nggak bisa menunjukkanya." "Dari awal sudah sulit. Apalagi waktu aku ke Semarang." "Kamu yang ngajakin putus. Aku belum oke." "Ditambah yang di terminal." "Kamu nggak tau gimana aku?! Udah lama kita kenal, 'kan? Harusnya kamu paham, Kram. Masa kamu nggak ngerti." Nasha pun mendongak. Ia cukup kesal dengan respons Akram. "Maaf," desis Akram. Nasha membuang muka. Ia paling tak bisa dengan tatapan Akram dan kata maaf dari pria itu. Sungguh pertahanannya menjadi goyah. "Sha ...." "Hemmmm." Akram merentangkan telapak tangannya. Menangkup wajah Nasha yang tak mau melihatnya. Menuntun gadis itu untuk memerhatikannya. "I miss you, Sha," lirih Akram. Nasha mendekatkan diri. Memupus jarak di antara mereka. Melakukan satu kebiasaan yang kerap mereka lakukan. "I miss you, too." Satu kecupan mendarat di pipi Akram. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD