Bab 29. Hujan

1247 Words
Pintu kamar itu terketuk hingga tiga kali. Seketika membuat Akram dan Nasha terlonjak. "Udah mau ujan, Kram!" seru Rios. S7ejatinya ia sedang mengingatkan Akram karena sudah cukup lama sahabatnya berduaan di sana. Nasha merapikan anak rambutnya. Ia sudah berjanji pada diri sendiri akan mengakhiri hari ini. Ia bahkan membawa semua barang-barang pemberian Akram. "Aku kenal Mia, Kram," ujar Nasha. Kening Akram berkerut. "Dia adik tingkatku waktu di SD. Aku kenal baik sama dia." Nasha bukan gadis bodoh. Ia begitu tahu tentang kabar pernikahan Akram langsung mencari sebanyak-banyaknya informasi. Nasha memastikan setiap detailnya hingga akhirnya menemui data yang valid tentang Mia. "Aku tahu ini berlebihan. Tapi, setelah pertemuan ini aku merasa lega. Aku nggak lagi kepikiran tentang kalian." Akram semakin tak paham. Mengapa Nasha berpikiran seperti itu. Akram menuntut penjelasan lebih. "Kita udah putus, ya, Kram. Sekali lagi udah putus. Kita nggak mungkin bisa bersama." Nasha berusaha sebaik mungkin menjelaskan pada Akram. Ia tak mau masih ada sisa rasa yang tertinggal. "Habis ini janji satu hal sama aku, Kram." Segera Akram menggeleng. Ia tidak mau menjanjikan apa pun untuk Nasha. "Kamu harus melakukannya." "Sha...." "Lupain aku dan cintai Nasha sebagaimana kamu mencintaiku. Jangan pernah sakiti dia." Akram menggeleng. Ia tidak bisa. Ia tak akan sanggup melakukannya. "Pertemuan ini yang terakhir. Dan benar-benar tak akan ada lagi. Tapi aku mau kamu bahagiain Mia. Dia anak baik. Dia pantas dampingin kamu." Manik mata Nasha kembali berkaca. Cukup sulit menyampaikan itu. "Ini aku kembalikan semua." Satu kardus yang teronggok tadi Nasha raih. Ia menyerahkan kembali pada pemilik aslinya. "Sha, nggak begini," kilah Akram. "Harus begini. Aku harus melupakanmu dan ini cara yang aku pilih. Menghilangkan semuanya." Akram menggeleng. Ia tidak sepakat. Setelah apa yang mereka lakukan tadi? "The last, Kram. Nggak akan ada lagi." "Enggak, Sha. Aku udah ke sini." "Ini terakhir kali dan nggak akan ada lagi." Akram tak bisa menyembunyikan kecewanya. Nasha mempermainkannya. Dekap tadi, ucap tadi, respons tadi hanya untuk mengelabuhi perasaan mereka saja? Akram benar-benar tak menduganya. Nasha mengumpulkan seluruh tenaganya. Ia memang harus merelakan Akram untuk Mia. Ia tak mungkin merebutnya. Perlahan Nasha berdiri. Ia sudah berjanji akan mengakhiri. Maka ini yang paling pamungkas dari hubungannya dengan Akram. Nasha tak akan melupakan bagaimana Mia membantunya. Sementara Akram terdiam. Terlolong menyaksikan Nasha yang meninggalkannya. Takdir tak hanya sedang bercanda, tapi bermain sesukanya dengannya. Akram ingin mengejar, namun Nasha bersikeras agar Akram tetap berada di dalam. Lepas Nasha menutup pintu dari luar, Rios pun datang. "Udah ujan. Bawa mantol nggak?" Akram tak menjawab. "Lo kudu pulang. Ingat, lo nitipin Mia di rumah Kak Dania." "Dari mana kamu tau?" "Kak Dania telpon barusan. Mia udah nanyain." "Sialan," desis Akram. "Subhanallah, Kram! Lo gila?!" Akram tak peduli. Ia memang sedang gila. Nasha mempermainkannya. Dan ia sangat tak suka. Tanpa berpamitan Akram menerobos pintu itu begitu saja. Ia berjalan keluar menuju halaman. Mengejar Nasha sedapatnya. Namun, lagi-lagi pemandangan tak menyenangkan terlihat di depannya. Hilmi yang harusnya tidak berada di Magelang tiba-tiba muncul. Kembali menjadi pahlawan untuk Nasha. Hilmi memandang jengah ke arah Akram. Ia sangat sebal karena Akram selalu membuat Nasha seperti ini. Gadis yang sangat ia kagumi, meratap lara karena cinta mereka. Hilmi membuka pintu mobilnya. Mempersilakan Nasha masuk ke dalam. Tetes-tetes hujan berangsur turun. Menderas. Akram berdiri mematung. Menyaksikan ulang mobil itu melaju membawa separuh hatinya. *** Mia menekuri ponselnya. Ingin sekali ia mengetuk nomor kontak dengan imbuhan tanda cinta di belakangnya. Setelah akad, ia sengaja mengganti nama Danial Akram dengan nama panggilan yang menurutnya special. Namun, alih-alih menanyakan kapan kembali via sambungan suara. Sekadar mengirim pesan pun Mia tak bisa. Akhirnya ia kembali melesakkan ponselnya ke dalam tas. "Belum ngabarin kamu, Mia?" tanya Dania. Ia berpura tidak tahu kemana Akram pergi. "Belum, Kak. Apa karena hujan, ya," ujar Mia. "Hmmm, bisa jadi. Kalau Mia capek rebahan di sini aja." Dania menunjuk kasur busa yang teronggok di lantai. Kasur khusus menonton televisi yang kadang dipakai Akram untuk melepas penat selepas bekerja. "Assalamualaikum!" seru seseorang dari luar. Mia sudah akan berdiri, namun ia sadar itu bukan suaminya. "Malka sama tante Mia dulu, ya. Ibu buka pintu buat ayah." Malka mengangguk. Mia juga sama. Dania beranjak dari ruang televisi. Mia mendesah. Bukan Akram seperti yang ia pikirkan. "Oh, ada adik ipar?" tanya suami Dania yang baru datang. "Selamat sore, Kak," sapa Mia santun. "Ya sudah lanjutkan saja," ujar suami Dania sambil lalu. Dania menahan napas. Mas Pram sungguh berbeda dari yang banyak orang tahu. Kepribadiannya kerap dingin secara tiba-tiba termasuk sekarang. Mia tak memerhatikan itu. Ia belum begitu mengenal keluarga Akram. Tiga puluh menit berikutnya suasana masih sama. Akram tak kunjung datang. Mia pun menilik penanda waktu di ponselnya. 17.00 WIB. Dania sudah lebih dulu mendapatkan kabar dari Danang. Ia sempat bertukar pesan sebelum suaminya datang. Dan seperti yang sudah-sudah, Pram sangat dingin karena paham Dania diam-diam masih suka berhubungan dengan mantan kekasihnya. "Mau sama kaya kita?" tanya Pram sambil membuka kancing kemejanya. "Ya?" "Adik kamu. Mau rumah tangganya kaya kita?" Sungguh Pram menjadi laki-laki yang berbeda saat ada dan tidak adanya keluarga Dania. Pram lebih lugas saat hanya berdua dengan Dania. "Maksud Mas apa?" "Jam berapa Akram pergi? Sudah dari tadi?" tanya Pram meremehkan. "Mas nggak berhak menyimpulkan." Pram mendecih. Sejak awal ia tahu Dania masih terus berhubungan dengan Danang. Terlebih perihal Akram. Ia juga paham seperti apa hubungan keduanya di waktu lampau. "Nggak usah munafik. Sama saja kalian," ejek Pram. Dania mendesah. Salahnya mau menerima lamaran Pram dan menjalani rumah tangga penuh kepalsuan. "Kalau nggak mbalik, biar aku yany antar Mia. Kasihan baru dua hari nikah sudah ditelantarkan." Andai bisa ia menyakiti banyak hati. Tak ingin rasanya ia bertahan mendampingi seseorang yang tidak pernah ia cintai. Namun, ia sudah berikrar sekeruh apapun itu ia tak akan mengakhirinya lebih dulu. Dania pun memilih meninggalkan Pram di kamar merek. Kembali bergabung bersama Mia untuk menyambut kedatangan Akram. *** Sepanjang perjalanan pikiran Akram melayang. Tetes-tetes hujan ia biarkan menerpa tubuhnya hingga kuyup semua. Ia tak peduli karena hatinya lebih terluka. Ia juga mengabaikan pesan Rios dan Mas Danang agar mengenakan jas hujan. Perjalanan dari kedai menuju rumah kakaknya menjadi perjalanan terparah yang ia alami. Akram tak lagi memikirkan akan seperti apa reaksi orang terdekatnya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah Nasha. "Astaghfirullohaladzim, ya ampun, Mas!" seru Mia. Sejak tadi ia mondar mandir di teras rumah Dania. Akram tak menanggapi. Santai saja turun dari motor dengan pakaian basah. Tak menghiraukan gurat kekhawatiran di wajah Mia. "Ya ampun, Kram, nggak nunggu reda?" tanya Dania. Ia ikut keluar bersama Malka. "Nanggung, Kak. Bajuku ada yang di sini, 'kan?" Dania mengangguk. Akram memang menyimpan beberapa potong kaos dan celana di lemari Malka. Pram juga paham. "Ada mobil nyaman, enak, tinggal pakai pemberian mertua kok milih motoran, Kram. Nggak bersyukur banget kamu," seloroh Pram. Ia sengaja meninggikan posisi Mia. "Nggak biasa, Kak. Susah." Respons yang sama diberikan oleh Akram ketika ditanya Mia saat akan berangkat. Mia pun tertunduk sedih melihat suaminya yang memilih hujan-hujanan dibandingkan menggunakan mobil pemberian orang tuanya. Akram tak peduli. Ia melewati Mia begitu saja. Area kamar mandi menjadi tujuannya kali ini. "Pulang habis Maghrib sekalian aja, ya. Kamu mandi-mandi di sini dulu. Paling Akram juga lama," ujar Pram. 'Iya betul, Mia. Tunggu sebentar lagi ya di sini. Nanti pulangnya biar setelah kalian makan malam," timpal Dania. Mia mengangguk kecil. Ia tak mungkin menolak atau menerima. Keputusan mutlak ada di tangan suaminya. Mia hanya bisa pasrah. Pasti Akram baru saja melakukan hal penting sampai rela terguyur hujan dan melebihi batas waktu yang ditentukan. Mia tak berani berpikiran buruk. Hal semacam itu hanya akan memperparah prasangkanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD