Sepanjang perjalanan baik Mia maupun Akram tak ada yang memulai obrolan. Keduanya setia
dalam diam. Desau pendingin mobil menjadi satu-satunya bunyi. Mia memilih menatap lurus ke depan. Sengaja tidak menoleh ke sebelah kiri karena ia sedang ingin berkonsentrasi. Ke depannya ia akan lebih sering melewati jalanan ini jika suatu waktu ia merasa kesepian. Baru satu hari saja ia sudah bisa menduga akan seperti apa hari-harinya selanjutnya.
Akram masih menata perasaan. Bukan perkara mudah berada dalam satu mobil bersama Mia. Ia tidak mau terjebak dalam suasana tak nyaman seperti ini. Tetapi tak bisa melarikan diri. Gawai di saku celananya sengaja ia ambil. Menilik sebentar penanda waktu itu. Sebuah ide besar pun datang.
“Kita berhenti di rumah Kak Dania aja,” ucap Akram. Ia membelokkan kemudi mobil ke kanan.
“Kak Dania?”
“Iya. Kita ke sana aja. Nggak usah ke rumahku.”
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa.”
Mia jelas ingin bertanya lebih. Mengapa ini mengapa itu. Namun, sikap Akram yang selalu mematahkan percakapan membuatnya urung. Mia pun menunduk. Tak masalah. Memang begini sejak awal. Antara ia dan suaminya selalu ada jarak.
Rumah Dania terletak di ujung perumahan. Lebih dekat dibandingkan rumah Akram. Meski gugup, karena membawa mobil orang, Akram berusaha tenang. Ia memarkirkan mobil itu tepat di depan pintu gerbang. Kemudian melangkah turun. Akram jelas tidak akan memberikan perlakuan special untuk Mia. Sejak pertama Mia bukanlah siapa-siapa baginya. Maka saat perempuan itu tak kunjung keluar, Akram diam saja.
“Assalamualaikum!” seru Akram dari depan gerbang yang tak terlalu tinggi. Ia tahu Dania ada di dalam sana.
“Waalaikumsalam!” sahut Dania seraya berjalan keluar. Sedikit tersentak melihat siapa yang datang.
“Kalian?” tanya Dania sambil membuka kunci gerbang rumahnya.
“Iya, Kak. Maaf mendadak.”
“Assalamualaikum,” sapa Mia. Ia mendekat beberapa langkah ke samping Akram.
“Waalaikumsalam. Gimana kabarnya, Mia?”
“Alhamdulillah baik, Kak. Kak Dania bagaimana?”
“Baik juga. Ayo, ayo masuk dulu.” Dania membimbing Mia melangkah ke halaman rumahnya. Ia kali pertama gadis itu bertamu.
“Malka mana, Kak?”
“Tidur siang, Kram. Kecapean habis lari-larian sama Kakak.”
“Yah, nggak seru,” timpal Akram.
“Sini duduk dulu. Rumahnya biasa, Mia. Nggak kaya tempat Mia, ya?” seloroh Dania.
Mia menggeleng. Baginya, rumah Dania tergolong nyaman, rapi dan bergaya minimalis. “Nggak, Kak. Sama aja.”
“Ini ada acara apa? Pengantin baru langsung jalan-jalan?” tanya Dania. Sebuah hal yang cukup aneh menurutnya.
Mia sudah bersiap menjawab pertanyaan itu. Ia akan senang menceritakan tentang rumah baru mereka. Namun, Akram lebih dulu bersuara.
“Gabut di rumah, Kak. Apalagi sekarang pengangguran.”
Riak wajah Dania pun berubah. Adiknya tidak biasanya seperti ini. “Eh, Mia mau minum apa?”
“Apa aja, Kak,” jawab Mia sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Satu hal yang tidak diketahui Mia. Suaminya sudah resign dari pekerjaan sebelumnya.
Akram tak peduli meski di wajah Mia tercetak beragam tanya. Ia memilih mengeluarkan ponsel untuk mengusir ketidaknyamanan. Juga mencari tahu tentang perkembangan kabar Nasha. Sungguh pasca pertemuan itu ia merasa semakin bersalah dan semakin gundah.
[Rios : Selow nggak kram?]
Pupil mata Akram melebar.
[Akram : Selow banget. Gimana?]
Tak selang begitu lama pesan balasan dari Rios kembali muncul.
[Rios : Jam dua di tempat biasa.]
Akram mengernyit. Mempertimbangkan apa perlu ke sana atau tidak. Tempat biasa adalah tempat khusus yang hanya diketahui tiga orang saja termasuk dirinya.
[Akram : Oke. Sebentar lagi otewe.]
Akram pun berdiri. Ia melangkah menuju ruang tengah rumah kakaknya. Menceritakan yang sebenarnya demi kebaikan semua. Dalam hatinya masih belum bisa menerima takdir bahwa ia sudah menjadi suami orang.
“Astagfirulloh. Ngapain, Kram?”
“Bisa minta bantuan nggak, Kak?”
“Apa?”
Akram menoleh. Ia memastikan Mia tidak ikut melangkah di belakangnya. Ia harus pergi tanpa sepengetahuan istrinya.
“Aku belum selesai, Kak.”
“Apanya yang belum selesai?”
“Aku masih ada urusan sama Rios. Bentar lagi Rios pindah.”
“Terus?”
“Aku mau nitip Mia di sini. Tolong ditemani. Tadinya kita mau ke tempat ibu.”
“Ngapain ke tempat ibu?”
“Aku nggak bisa cerita sekarang. Aku cuma pingin Kakak temenin Mia bentar. Aku mau keluar.”
“Kram ....”
“Ngggak, Kak. Bukan soal Nasha. Ini murni sama Rios.”
“Berapa lama?”
“Sebelum jam empat udah balik.”
Dania mendesah. Ia paham adiknya kehilangan banyak hal demi menjalani pernikahan ini. Ia mengerti, Akram masih membutuhkan teman. Rios adalah satu-satunya.
“Nggak sampai telat, ya,” ujar Dania.
Akram mengangguk mantap. Ia berjalan keluar dari area tengah itu. Kembali ke ruang tamu untuk menaruh kunci mobil mertuanya.
“Aku pergi sebentar,” ucapnya datar. Tidak memerhatikan Mia sama sekali.
“Kemana?”
“Ke tempat temen. Rumahnya nggak jauh. Nanti aku balik lagi.”
Mia pun mengangguk. Ia harus percaya. Akram adalah suaminya. “Baik.”
“Aku pakai motor Kak Dania. Mobil biar di sini.”
“Kenapa?”
“Aku nggak biasa.”
Mia menghela napas. Akram yang sekarang berbeda dengan yang semalam berada di kamarnya, berbeda saat ada orang tuanya dan jelas berbeda ke depannya. Mia tak bisa menimpali dengan banyak kata. Ia hanya mengangguk kecil sambil membiarkan Akram memunggunginya. Beranjak dari rumah kakak iparnya.
“Namanya Rios. Temen dari jaman SMP,” ucap Dania. Ia membawa satu teko berisi teh beserta tiga cangkirnya.
“Makasih, Kak.”
“Maklum, biasanya jam segini kerja. Sekarang harus di rumah, mungkin adaptasi, Mia.”
Mia menyimak penuturan Dania. Banyak hal yang perlu ia gali dari sini. Setidaknya tentang suaminya saja.
“Akram sudah resign. Itu permintaan ibu sama keluarga. Kebetulan bapak kamu juga menghendaki demikian. Katanya kalian diminta jaga toko. Benar?”
Mia mengangguk kecil. Ia sedikit tahu tentang rencana itu, tapi tak tahu perihal Akram yang keluar dari pekerjaannya di Betamart.
“Mia di sini dulu, aja. Nanti kalau capek bisa rebahan di dalam. Nggak usah sungkan, ya.” Dania mengulurkan cangkir yang sudah terisi air teh pada adik iparnya.
“Makasih, Kak.”
“Kakak yang berterima kasih. Terima kasih sudah main ke sini,” ucap Dania seraya tersenyum.
Mia mengangguk lagi. Ia hidu aroma teh yang diseduh. Memikirkan banyak hal tentang suaminya. Resign dari pekerjaan, dipaksa menikahinya dan mungkin merelakan banyak hal. Apa mungkin itu alasan mengapa sikap Akram begitu dingin.
Mia mendekatkan cangkir itu ke bibir. Menyeruputnya sembari terus berkutat dengan segudang tanya. Apa salah apa yang ia jalankan sekarang? Apa ia terlalu berlebihan menginginkan Akram?
Mia menggeleng kecil. Sejak awal ia hanya mengikuti perintah orangtuanya. Ia tak pernah tahu jika laki-laki itu adalah Danial Akram. Seseorang yang memang ia langitkan namanya dalam setiap doa. Ia hanya perlu bersabar. Pelan-pelan terus mengenal suaminya. Mia akan mencobanya.