Part 3

791 Words
Malam ini adalah malam yang spesial buat Ana. Malam yang membuatnya selalu bisa memutar masa lalu bersama orang yang pernah memberinya beribu kenangan. Dia masih belum tidur meskipun jam bekernya sudah menunjuk ke angka 12. Setelah pulang sekolah tadi, ia memperbaiki jam itu dan meminta maaf karena telah mencampakkannya pagi ini. Entah itu normal atau tidak,sekarang dia kembali berbicara sendiri pada jam Bekernya. "Maaf ya, tadi gue udah hampir ngancurin Lo.Elo kan tau sendiri gue orangnya kurang waras. Jadi kalau dibangunin susah."Ana menatap jam Beker bulat berwarna biru muda itu dan memeluknya. "Lo gak marahkan? Mmmmmmm,papa gak marahkan? Semoga papa tenang ya disana.Meskipun Nana sedikit rindu,tapi jam beker pemberian papa ini udah ngurangi kerinduan itu kok,meskipun sedikit," Ana menghentikan perkataannya karena tanpa ia sadari air matanya tumpah mengalir di wajah putihnya dengan deras. "Hari ini genap 6 tahun papa ninggalin Nana,abang sama mama. Apa papa gak kangen? Papa sih,bandel banget dibilangin. Kalau misalnya papa dengerin Nana waktu itu,kan papa masih bisa sekarang bangunin Nana sendiri,narik rambut Nana kalau susah dibangunin, trus nyisirin rambut Nana juga." Ana tak kuasa menahan sesak di dadanya. Ia pun berlari kearah jendela dan melihat bintang-bintang yang bersinar. "Andaikan ada satu aja kesempatan dimana Nana sama papa bisa ketemu lagi,Nana cuma mau bilang kalau Nana itu sayang banget sama papa. Bintang? Kalian bisa denger Nana? Tolong titipin salam Nana sama papa ya, bilang kalau Nana itu kangen banget. Trus bilang kalau nilai kimia Nana itu tadi seratus.." Ana menangis dalam diam. Tak bisa tersesalkannya perilaku dan kebiasaannya yang suka melawan dan membuat papanya sedih. Andai waktu bisa diputar,ingin rasanya ia kembali dan memeluk papanya kuat,menjadi gadis baik dan membanggakan papanya. Tapi semua itu udah terlambat. Yang tersisa hanyalah kenangan yang masih tersimpan di memori bersama papanya dulu, disertai perasaan rindu setengah mati yang tak ada obatnya. Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu, "Sayang? Apa kamu sudah tidur?" Itu adalah Dinda. Secepat kilat Ana berlari ketempat tidurnya dan menarik selimut. Ia menutup matanya seolah-olah ia sudah tertidur. Dinda pun masuk dan kembali memanggilnya. " Nana? Kamu sudah tidur sayang?" Ia membuka selimut Ana dan melihat kalau putrinya itu sudah tidur. " Kamu pasti kangen sama papa yah? Kita doain aja papa tenang disana ya," Katanya sambil mengecup kening Ana. Iapun menyelimuti Ana dan mematikan lampu,menutup pintu dan pergi kekamarnya dengan hati bersedih. Merasakan juga apa yang mungkin Ana rasakan. Saat tahu Dinda sudah pergi,Ana kembali bangun dan duduk. Ia menangis sambil menggigit bantal gulingnya. Ingin rasanya ia berteriak hebat untuk melepaskan semua kekacauan di hatinya saat ini. Ia pun mencoba menenangkan diri sambil berjalan kearah jendela. Menatap langit bersama bintang-bintang yang bersinar. "Hari ini malam cerah banget,gak ada awan hitam yang ngalangin. Beda sama hati gue yang penuh kabut sama awan berpetir." Ana melamun dengan tatapan kosong.Ketika itu bayangan wajah seseorang seolah datang menghampirinya. Yang membuat Ana terkejut ternyata bayangan itu bukan bayangan papa atau mama atau abangnya,melainkan bayangan wajah Bram. "Sialan! Kok gue terbayang sama wajah si kutu kunyuk itu sih?" Ana berhenti menangis. Ia lalu mengingat lagi saat ia pergi kerumah Bram untuk pertama kali bersama Nita. Flashback on... "Yang mana gulanya?"Nita bertanya pada Bram. " Soalnya tempatnya sama,trus kehalusan barang yang didalamnya relatif sama juga." Kini Nita melihat ke arah Bram yang sedang mengambil gelas. Ana berjalan lalu membuka toples itu. " Dibuka aja dulu atuh neng, yang ini gula sedangkan yang ini garam. Elo kan bisa bedain itu saat Lo membuktikannya,bukan dengan mereka-reka." Ana kembali menyusun jeruk itu di atas sebuah mangkuk besar. "Ya gue kan gak tau,ini bukan rumah gue!" Nita menuangkan beberapa sendok gula kedalam sebuah teko kaca dengan ekspresi ngambek. "Wow, woles dong Nita! Gitu aja ngambek. Setidaknya elo berpikir,lalu membuktikan. Bukannya hanya berpikir lalu berpendapat saja." Ana membantunya membuka sebuah botol sirup. "Nama kalian siapa?" Tiba-tiba si pemilik rumah yang dari tadi hanya tersenyum dan diam berkata juga. "Oohhh,gue Nita Kesy Rahayu. Panggil aja Nita." Nita bersalaman dengan Bram sambil menjumput sedikit poninya lalu dibuat kesamping telinga. Dengan wajah jijik setengah mati Ana meliriknya, "Jijik banget gue lihat tingkah Lo,sumpah!" Bram pun menyalam Ana sambil tersenyum. "Gue Ana Clarista Aurora. Panggilannya Nana." Ana melepaskan tangannya cepat. "Makasih ya udah bantuin gue,nama gue Bram Weldison. Panggilannya Bram. Besok sekolah bareng yuk Na,sekaligus Lo ngasih tau gue sekolah Lo." Mungkin Bram adalah salah satu cowok tipe extrovert (terbuka) yang pernah dikenal Ana. "Yaudah, yuk Nita. Kita anterin," Balas Ana lalu pergi meninggalkan Bram dan melayani para ibu-ibu yang sedang arisan dadakan. Flashback off... "Oohhh pantesan gue lupa,soalnya gue aja bangun kesiangan" Ana menepuk jidatnya lalu kembali melihat jam beker di atas meja belajarnya. "Good night papa," katanya sambil tersenyum lalu menarik selimut dan berbaring. Ia menutup mata sambil mengingat wajah papanya,mungkin sebuah bayangan yang bisa menyembuhkan sedikit rasa rindunya. Miss you pa.. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD