Riri memijit keningnya yang terasa sakit. Apa yang terjadi bagai mimpi baginya, dan Riri berharap, ini benar-benar mimpi. Riri ingin segera terbangun. Terbangun di tengah keluarga yang sangat ia cinta.
Riri mengamati ruangan tempat ia berada dengan seksama. Ia baru sadar, ruangan ini bukan berbentuk segi empat, tapi melengkung membentuk lingkaran. Setengah dari dinding, adalah jendela kaca, dengan gorden berwana hijau tua. Semua perabot juga berwarna hijau. Riri beranjak ke arah jendela. Pandangannya di arahkan ke luar jendela. Mata Riri terbuka lebar. Meski ada kabut tipis, tapi ia bisa melihat dengan jelas ada jalan yang mengular di bawa sana.
'Bawah? Jalan itu menuju ke mana? Apa aku sedang berada di ketinggian? Ya Tuhan ... apa ini seperti menara Rapunzel? Apa ini penjara? Penjara ....'
Riri memutar tubuh, dipandang lagi seantero penjuru kamar. Ruangan yang sangat indah, tidak terlihat bagai sebuah penjara. Bahkan ruangan tempatnya berada, seperti kamar orang kaya yang pernah ia lihat di i********:.
Riri kembali menatap ke luar jendela. Kabut menyibak, terlihat mobil-mobil bergerak di jalan di bawah sana.
'Ini dunia apa? Kerajaan, tapi modern, apa seperti kerajaan Inggris begitu. Tidak ada yang aneh ... kecuali Si Lion itu, hanya dia yang aneh!'
Teringat akan Damar, Riri jadi teringat syarat yang diajukan, jika ia ingin ke luar dari dunia, tempat ia berada sekarang. Riri duduk di sofa, yang berada di dekat jendela. Dari tempatnya duduk, ia bisa memandang ke luar jendela sepuasnya. Pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Tanaman hijau terlihat di mana-mana. Rasa sejuk yang mengusir rasa takut di hati Riri.
'Mereka memberikan aku pilihan, yang sesungguhnya bukanlah pilihan. Ya Tuhan ... tidak bisakah aku langsung pulang saja, tanpa harus mengikuti keinginan mereka. Kenapa aku harus terjebak di dunia antah berantah ini. Huh! Pasti tidak ada di peta kerajaan ini. Ya Tuhan, Riri, sudah pasti tidak ada di peta, mereka bukan makhluk kasat mata di duniamu. Entah makhluk apa namanya mereka ini.'
Riri memejamkan mata, ditarik dalam napasnya. Ia harus mengambil keputusan segera. Pilihan pertama menjanjikan kepastian, kapan ia bisa pergi dari dunia lain ini. Sedang pilihan kedua, ia harus menunggu ratusan tahun lamanya.
'Ratusan tahun? Ya Tuhan, apakah aku masih hidup seratus tahun lagi. Apakah keluargaku di sana juga masih hidup!? Benar'kan, mereka memberikan pilihan yang sesungguhnya salah satu dari pilihan itu tidak mungkin aku pilih. Dasar, Damar singa!'
Riri kembali memejamkan mata, ditarik napas untuk mengusir sesak di d**a. Ia hanya punya satu kesempatan, jika ingin ke luar dari tempat yang asing baginya ini. Yaitu setuju menikah dengan Damar.
'Tunggu! Apakah ini akan menjadi pernikahan sungguhan? Ataukah hanya pernikahan di atas kertas saja? Eh, bagaimana dengan wali nikahnya. Eh, apa mereka mengerti akan wali nikah. Kata Bu Ratri, hanya jiwaku yang ada di sini, sedang ragaku terbaring koma di duniaku. Perjanjian pernikahan ini selama satu tahun, apakah ada jaminan, badanku di sana akan tetap diberi alat medis, selama jiwaku di sini. Bagaimana kalau alat medisnya dilepas. Ya Tuhan, darimana orang tuaku dapat uang untuk membiayai perawatanku. Oh ....'
Riri menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia dalam rasa bingung yang luar biasa. Banyak hal yang menjadi pertanyaan di dalam benaknya. Pertanyaan yang butuh jawaban, dan penjelasan secara mendetail segera. Karena ini menyangkut hidupnya, juga hidup keluarganya di sana.
Riri ingin bicara dengan Ratri, ia ingin bertanya banyak hal.
Riri menuju pintu, ia buka pintu dengan perlahan. Dua pria sigap begerak mendekati pintu.
"Ada yang bisa dibantu, Nona?"
"Saya ingin bicara dengan Bu Ratri."
"Bu Ratri sedang pergi ke Istana Satu Negeri Halimun, bersama Tuan Raska, dan Pangeran Damar," jawab salah satu dari kedua pria itu.
"Oh, kalau datang, beritahu kalau saya ingin bicara."
"Baik, Nona." Kedua pria di depan Riri serempak membungkukkan badan mereka.
Riri kembali menutup pintu kamar. Ia kembali menuju jendela berdaun besar, pemandangan di luar jendela sangat indah menurutnya, meski terkadang ada halimun yang menutupi pandangannya.
Riri membuka kunci jendela, lalu ia buka daun jendela yang terbuka ke samping. Halimun berada di hadapannya, namun tidak masuk ke dalam kamar melewati jendela yang terbuka. Berbeda dengan kabut di dunianya. Bila musim kabut tiba, kabut masuk lewat mana saja yang bisa ditembus. Sehingga membuat ruangan rumah mereka berbau asap bakaran.
Di sini berbeda, kabut seperti hiasan, yang kadang terlihat, kadang tersibak. Meski ada cahaya matahari, namun kabut itu seperti abadi, tak sirna meski terkena sinar matahari. Juga tidak berbau asap bakaran, yang terasa justru kesejukan.
Riri mendongakkan wajah. Matanya terpejam. Dihirup udara segar sepuasnya. Rasa cemas sirna dari dalam hatinya. Angin sepoi menerpa wajahnya, mempermainkan anak rambutnya. Sungguh suasana yang terasa nyaman sampai ke dalam hatinya.
Riri kembali duduk di sofa. Lalu dibaringkan tubuhnya. Angin sepoi yang menerpa membuat ia mengantuk. Riri terlena, ia terbawa arus ke dalam alam mimpi.
Dalam mimpinya. Riri melihat tubuhnya yang terbaring, dengan alat medis di tubuhnya. Seorang dokter, dengan dua orang perawat tengah memeriksa keadaannya. Mata Riri tak berkedip, melihat wajah tampan dokter yang tengah memeriksanya.
'Ya Tuhan, Riri, kenapa fokusmu ke situ. Lihat keadaan dirimu, kamu juga harus mencari tahu keadaan orang tuamu.'
Riri berpindah ke luar ruangan dalam sekejap mata. Ia melihat kedua orang tuanya, dan ketiga adiknya duduk di kursi.
"Kita harus yakin, Riri pasti sembuh, Bu." Riri mengusap bahu istrinya.
"Kita tidak punya uang, Pak. Bagaimana ...."
"Ibu tidak mendengar, kata Pak Dokter tadi, semua biaya rumah sakit Riri, akan ditanggung orang yang menabraknya. Si Penabrak juga, katanya akan memberikan uang untuk membantu kita," potong bapak Riri cepat.
"Iya, Bu. Kata Dokter tadi begitu. Ibu jangan memikirkan hal itu, nanti ibu sakit lagi," Tata adik Riri membantu bapaknya meyakinkan ibunya.
"Ibu cuma ingin satu, Riri bisa sehat kembali, hanya itu, Pak." Ibu Riri terisak. Riri ingin sekali memeluk ibunya, ingin menyapa seluruh anggota keluarganya, tapi itu tak bisa ia lakukan, ia terpaku di tempatnya. Tak bisa bergerak, ataupun bersuara. Ia hanya bisa menatap keluarganya, dengan tatapan matanya yang basah.
'Aku ingin sekali memeluk kalian, berada di tengah kalian. Meski keluarga kita tidak kaya harta, tapi kaya akan kasih sayang, dan cinta. Maafkan aku Ibu, Bapak, adik-adikku, kalian harus menunggu, sampai aku bisa kembali ke tengah-tengah kalian lagi.'
***