PART. 1 Istana Dua Negeri Halimun
Prameswari Ananda, biasa dipanggil Riri (20 tahun), seorang gadis yang berusaha membantu orang tuanya, untuk membiayai pendidikan tiga orang adiknya.
Riri memilih untuk bekerja setelah lulus SMA. Ia bekerja di sebuah tempat laundry, sebagai tukang setrika pakaian.
Sore itu, ia pulang dari bekerja, menjelang Maghrib, dengan mengayuh sepeda. Dalam perjalanan, tiba-tiba saja kabut turun, membuat Riri tidak bisa melihat jalanan dengan jelas.
Riri menjerit, saat tiba-tiba ada yang menabraknya, dan membuatnya terlempar cukup jauh. Riri tak sadarkan diri.
Saat terbangun, Riri mendapati dirinya, berada di sebuah kamar yang sangat indah. Bukan kamar di rumah kontrakan orangtuanya yang sangat sederhana. Ia yakin, bukan juga sedang berada di dalam sebuah kamar rumah sakit.
"Aku di mana?" gumam Riri sendirian, ditatap setiap sudut ruangan.
"Nona sudah sadar, syukurlah. Selama tiga hari Nona tidak sadarkan diri." Seorang wanita dengan pakaian warna hijau tua, mendekati Riri.
"Aku di mana?" Riri mengulangi pertanyaannya.
"Nona ada di istana Dua Negeri Halimun."
"Hah, negeri apa!?"
Riri menatap bingung wanita itu.
"Nona sekarang berada di istana Dua Negeri Halimun." Wanita itu mengulangi jawabannya.
"Apa maksud Ibu? Saya tidak mengerti." Riri tiba-tiba merasa panik. Kepalanya menggeleng berulang kali. Meski ia sadar, tempat ini bukan rumahnya, bukan rumah sakit juga, tapi mendengar nama istana Dua Negeri Halimun, itu sangat aneh baginya.
"Istana ini berada di mana? Saya tadi tertabrak mobil. Harusnya saya ada di rumah sakit, bukan di istana. Saya ingin pulang! Tolong antarkan saya pulang!" Karena rasa takut yang datang, Riri berteriak histeris. Ia berlari ke arah pintu yang terlihat oleh matanya. Pintu itu bisa ia buka, namun dua orang wanita yang berpakaian sama dengan wanita pertama, berdiri di hadapannya. Di belakang kedua wanita itu, ada empat orang pria. Pakaian mereka juga berwana hijau tua.
Riri terdiam di tempatnya. Kepalanya berdenyut dengan hebat. Pandangannya mengabur, sebelum ia tak lagi merasakan apa-apa.
***
Riri sadar dari pingsan, wajah wanita pertama yang menyambut tatapannya.
"Anda harus banyak istirahat, Nona. Anda tidak perlu lari. Nona akan baik-baik saja di sini."
"Saya ingin pulang," sahut Riri dengan suara lirih.
"Belum waktunya Nona pulang."
"Apa maksud, ibu. Orang tua saya akan kebingungan mencari. Saya harus pulang!" Riri nyaris berteriak, karena merasa sedikit putus asa.
"Nona, tubuh Nona ada di sana, hanya jiwa Nona yang ada di sini." Tatapan lembut wanita itu tertuju ke dalam bola mata Riri.
"Apa maksud, Ibu! Saya tidak mengerti apa yang sudah terjadi. Saya tidak mengerti, kenapa saya ada di sini. Saya ingin pulang! Tolong biarkan saya pulang!" Riri benar-benar berteriak pada akhirnya.
Seorang wanita masuk, dengan membawa gelas berisi minuman.
"Minumlah, perasaan, dan pikiran Nona bisa lebih tenang." Wanita pertama menyodorkan minuman itu pada Riri. Seperti terhipnotis, Riri menerima gelas, lalu meminum isinya, yang bagi Riri hanyalah teh manis biasa, sehingga tandas.
Setelah meminum teh manis, Riri kembali merasa kepalanya pusing. Pandangannya kembali kabur, Riri kembali berbaring, ia memejamkan mata, dan terlelap pada akhirnya.
***
Riri merasa berat untuk membuka mata. Namun suara berat seorang pria yang tengah bicara, membuat ia memaksa matanya untuk terbuka. Matanya bisa ia buka. Dicari asal suara. Di depan sana, ada tiga orang yang membelakanginya. Seorang pria dengan kemeja hijau, seorang wanita juga berpakaian hijau, wanita itu adalah orang pertama yang dilihat Riri. Sedang pria yang seorang lagi, tubuhnya terbungkus kemeja warna putih, dan celana warna abu-abu tua. Punggungnya terlihat kokoh. Pria itu yang bersuara berat.
"Jaga dia dengan baik, Ratri. Persiapkan dia untuk menjadi Ratuku."
"Bagaimana kalau dia menolak, Tuan?" Suara wanita itu terdengar pelan, tapi Riri bisa mendengarnya.
"Dia hanya memiliki dua pilihan, Ratri. Menikah denganku selama satu tahun, setelah itu dia bisa kembali ke dunianya. Atau menolak aku, dengan resiko, dia tak akan bisa kembali ke dunianya lagi."
"Hey, anda ini siapa!? Seenaknya ingin memaksa saya menikah denganmu!"
Dua orang pria, dan seorang wanita itu sontak memutar tubuh mereka. Semua menatap ke arah Riri, yang turun dari atas tempat tidur. Wajah Riri menyimpan amarah yang siap di ledakkan.
Bukan hanya mereka yang terkejut. Riri lebih terkejut lagi. Ia melangkah mundur tanpa ia sadari, setelah melihat wajah pria berbaju putih, dan bersuara berat itu.
"Dia ...."
Jari telunjuk Riri menuding ke arah pria kemeja putih.
"Nona!"
Wanita yang dipanggil Ratri mendekati Riri.
"Nona ...."
"Dia ... arghhh ...." Riri menekan kening, matanya terpejam, tubuhnya goyah, dan hampir jatuh, andai pria kemeja putih tak memeluk tubuh Riri.
BERSAMBUNG