Riri membuka mata, ditatap sekelilingnya. Tiga orang tadi terlihat duduk di sofa. Pria baju putih terlihat jelas wajahnya. Riri segera mengalihkan tatapan. Wajah itu tadi yang membuatnya pingsan. Wajah yang sangat persis dengan wajah singa. Riri membandingkan wajah pria itu, dengan rupa Lion King yang pernah ia lihat di film. Riri jadi teringat cerita kesukaannya, Beauty and The Beast.
'Ya Tuhan, bukankah itu hanya cerita fiksi belaka. Mana mungkin ada di dunia nyata, tapi ... aku sekarang berada di dunia mana? Apakah aku sedang tersesat di dunia Maya, dunia yang tak terlihat oleh manusia. Lalu mereka itu siapa? Manusia, dedemit, jin, atau jenis makhluk lainnya. Ya Tuhan ... aku ingin pulang, aku tidak ingin membuat orang tuaku cemas. Aku ....'
"Nona sudah sadar?"
"Hah! Oh, ini tempat apa sebenarnya? Kalian ini manusia, atau bukan?"
Riri berusaha bangun dari berbaring. Ia menguatkan hati saat dua pria berjalan mendekatinya.
"Saya ingin pulang!"
Air mata Riri berjatuhan. Riri menghapus air matanya. Ia tidak ingin menatap wajah pria baju putih, tapi matanya tak mau bekerjasama dengan otaknya. Matanya menatap wajah penuh bulu itu. Masih ada rasa takut, tapi sorot mata dari wajah menakutkan itu tampak sendu. Riri mengalihkan tatapan dari pria itu pada Ratri.
"Selamat datang di negeri Halimun, Nona Prameswari Ananda. Perkenalkan, nama saya Damar Iskandar Halimunjaya, putra sulung dari kerajaan Halimun ini." Pria dengan wajah Lion itu memperkenalkan diri. Nada suaranya datar, meski suaranya berat. Tatapan Riri kembali pada Pangeran Damar.
"Kalian ini sebenarnya siapa? Manusia, atau bukan? Kerajaan Halimun ini di mana letaknya? Kenapa saya bisa ada di sini? Tolong jelaskan! Saya butuh penjelasan!" Riri nyaris berteriak, ia merasa putus asa, memikirkan apa yang saat ini terjadi padanya. Berada di tempat yang ia tidak tahu, letaknya di mana. Berhadapan dengan makhluk yang ia tidak tahu, manusia, atau bukan. Tak pasti akan nasibnya nanti seperti apa. Semua membuatnya bingung, dan merasa takut.
"Sebaiknya kita duduk dulu, Nona." Ratri membimbing lengan Riri agar duduk di sofa besar, dan panjang. Sofa berwarna hijau itu melingkari sebuah meja bundar, terbuat dari batu yang juga berwarna hijau.
Riri duduk bersisian dengan Ratri. Sofa beludru itu terasa sangat nyaman diduduki. Sofa ternyaman yang pernah Riri duduki.
"Perkenalkan, nama saya Ratri. Saya kepala semua pekerja di istana ini. Itu Raska, dia asisten pribadi Pangeran Damar. Sedang beliau adalah junjungan kami, Pangeran Damar."
"Kalian ini makhluk apa?"
"Kalau manusia di dunia Nona, menyebut kami adalah orang sebelah. Kami bukan manusia, kami bukan jin, kami juga bukan roh gentayangan. Kehidupan kami di sini seperti manusia juga. Bekerja, berkeluarga, memakai peralatan layaknya manusia. Negara kami berbentuk kerajaan. Raja kami tinggal di istana satu Halimun. Beliau, adalah putra sulung dari Raja, dan Ratu kami. Pangeran Damar Iskandar Halimunjaya."
Ratri menjelaskan dengan panjang lebar. Riri menatap Damar, rasa takutnya sudah sirna, karena sikap Damar yang layaknya manusia, tidak garang seperti singa.
"Saya ingin pulang, tolong pulangkan saya ke rumah orang tua saya," mohon Riri
"Nona bisa pulang, tapi ada syaratnya."
"Syarat apa?"
Riri menatap wajah Ratri tajam.
"Nona harus menikah selama satu tahun dengan Sang Pangeran." Ratri menunjuk Damar dengan jempolnya.
"Apa!" Riri terlompat berdiri dari duduknya. Ia memang sempat mendengar hal itu sebelum pingsan, tapi tetap saja ia kembali terkejut.
"Kalau saya tidak mau bagaimana?"
"Nona hanya punya dua pilihan. Menikah dengan Sang Pangeran selama satu tahun, lalu bisa ke luar dari tempat ini. Kalau menolak, Nona bisa kembali, tapi harus menunggu sangat lama. Karena pintu waktu terbuka hanya seratus tahun sekali."
"Apa!? Kenapa harus saya! Kenapa tidak kalian cari wanita lain saja untuk menikah dengan dia. Apa tidak ada wanita di negeri ini yang bersedia menikah dengan dia!? Oh, saya lupa, wajahnya menakutkan, tentu tidak akan ada ...."
"Stop, Nona!" Raska bangkit dari duduk, diangkat satu telapak tangannya.
"Nona berhak menolak, tapi Nona tidak berhak menghina pangeran kami." Raska menunjuk ke arah Riri dengan tatapan marah.
"Kalian juga tidak punya hak memerintah saya. Kalian sudah menculik, dan menyekap saya di sini. Lalu kalian secara tidak langsung memaksa agar saya menikah dengan Pangeran kalian. Pernikahan macam apa itu!?" Riri tidak mau ditekan, yang ia inginkan sekarang hanyalah pulang.
"Yang saya inginkan hanya pulang!" Riri kembali duduk. Rasa putus asa kembali menyergap perasaannya. Ditutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ia menangis sesenggukan.
"Nona bisa kembali, dengan syarat seperti yang saya katakan tadi," ucap Ratri dengan nada lembut.
"Pikirkan saja dulu, apa yang ingin Nona pilih. Kami harus pergi." Raska mengikuti Damar yang bangun dari duduknya. Damar tidak ingin bicara lagi. Pernikahan yang ia syaratkan hanya sebuah usaha, agar kutukan yang mengurungnya bisa terbuka.
Damar, dan Raska melangkah pergi. Ratri juga bangkit dari duduknya.
"Pikirkan dengan matang, Nona. Oh ya, orang tua Nona tidak kekurangan apa-apa di sana. Tubuh Nona yang terbaring koma juga dirawat dengan baik. Semua atas perintah Pangeran Damar. Saya jamin, Nona tidak akan rugi menerima tawaran menikah dengan Pangeran kami. Silakan Nona pikirkan, saya pergi dulu."
Ratri pergi meninggalkan Riri yang masih duduk terdiam.
BERSAMBUNG