Riri terbangun dari tidurnya, Ratri yang membangunkannya.
"Bu Ratri!" Riri segera bangkit dari berbaringnya.
"Nona ingin bicara dengan saya?" tanya Ratri. Ratri berdiri dengan kedua tangan terpaut di depan tubuhnya.
"Iya, bisa kita duduk di sofa?" Riri menatap wajah Ratri.
"Ya, silakan."
Ratri mempersilakan Riri untuk mendahuluinya menuju sofa. Riri duduk di sofa, Ratri duduk tak jauh dari hadapannya.
"Saya ingin tahu, jika saya menerima tawaran menikah dengan singa itu, eh ... maksud saya Pangeran Damar, apakah ada jaminan, saya benar-benar bisa kembali ke tubuh saya lagi?"
"Tentu saja, Nona bisa kembali ke tubuh Nona. Saya jamin hal itu, Nona."
"Bagaimana, jika tubuh saya di sana, dilepas alat penunjang medisnya?"
"Itu tidak akan terjadi, Nona. Semua biaya rumah sakit, sudah ditanggung Pangeran Damar."
Kening Riri berkerut dalam, mendengar jawaban Ratri.
"Maksudnya, Pangeran Damar bisa masuk ke dalam dunia kami?"
Ratri tersenyum, kepalanya mengangguk.
"Ya."
"Bukannya pintu ke luar hanya terbuka seratus tahun sekali?"
"Tidak bagi Pangeran Damar, dan keturunan kerajaan Halimun lainnya. Mereka bisa ke luar masuk sesuka hati mereka."
Riri terdiam. Kemudian Ratri menambahkan.
"Nona jangan khawatir, waktu di dunia Nona, dengan di dunia kami itu berbeda. 100 hari di sini, itu sama dengan 1 hari di dunia Nona. Jadi, jika waktu 1 tahun, atau 365 hari di sini, tidak sampai 4 hari di sana." Ratri menjelaskan. Riri tercengang sesaat dengan penjelasan Ratri. Kemudian ia menarik napas lega.
"Percayalah, Nona tidak akan rugi apa-apa jika menikah dengan Pangeran Damar. Saat Nona kembali ke dunia Nona, tubuh Nona tetap sama seperti sebelumnya."
"Apa maksud dari tubuhku akan tetap sama seperti sebelumnya?"
Riri menatap lekat wajah Ratri.
Ratri tersenyum.
"Pangeran tentu menginginkan seorang penerus dari Nona."
"Penerus?"
Kening Riri berkerut dalam.
"Ya, seorang pangeran, atau putri kecil," jawab Ratri.
"Maksudnya, saya ... saya harus hamil anak Pangeran?" Riri menatap lekat wajah Ratri. Ia berpikir, dalam satu tahun, apakah ia bisa hamil, dan melahirkan.
"Iya, tujuan sebuah pernikahan, tentu salah satunya adalah karena menginginkan keturunan, bukan?"
"Jadi ... saya harus tidur dengan Pangeran Damar?" tanya Riri bernada polos.
"Ya, tentu saja, Nona." Kepala Ratri mengangguk.
"Bagaimana kalau saya tidak bisa hamil?"
"pangeran Damar tetap akan memenuhi janjinya, mengembalikan Nona ke dunia manusia."
Riri terdiam, rasa cemas menguasai perasaannya. Ia tidak bisa membayangkan, harus tidur dengan seorang singa di atas tempat tidur yang sama. Tanpa sadar, tubuh Riri bergidik.
"Nona tidak perlu takut, meski rupa Pangeran Damar seperti itu, tapi dia orang yang baik." Ratri memahami ketakutan Riri.
Riri hanya diam. Ia membayangkan bagaimana kalau mereka berciuman. Riri meraba bibir, tanpa ia sadari. Lalu digigit bibir bawahnya. Ratri tersenyum memperhatikan gerak gerik Riri.
Riri bukan gadis yang asal dijemput untuk menjadi istri Damar. Mereka sudah menyelidiki asal usul Riri. Ibu Riri bukan orang sembarangan. Kakek dari ibu Riri masih punya silsilah keturunan negeri Halimun. Sang kakek memilih untuk menjadi manusia seutuhnya, karena jatuh cinta pada sang nenek. Sang kakek tidak goyah, meski harus hidup sebagai orang tak punya harta, demi cintanya. Begitupun sang nenek, tetap setia mendampingi sampai akhir hayat.
"Nona!" panggil Ratri dengan suara pelan.
Riri masih asik dengan berbagai bayangan dalam khayalnya. Riri tidak mendengar panggilan Ratri.
"Nona!" Sekali lagi Ratri memanggil, karena Riri masih diam saja.
"Oh, iya." Riri kembali dari lamunan.
"Apa Nona sudah mengambil keputusan?" tanya Ratri, meminta kepastian.
"Iya," sahut Riri cepat, kepalanya mengangguk.
Riri menarik napas sejenak. Ratri sabar menanti apa yang diputuskan Riri. Ratri sendiri sangat yakin, kalau Riri pasti bersedia menikah dengan Pangeran Damar.
"Saya terima tawaran Pangeran Damar," ujar Riri dengan suara lirih.
Senyum Ratri mengembang.
"Terima kasih, Nona. Saya akan sampaikan keputusan anda pada Pangeran."
"Ya."
Riri pasrah, apa yang akan terjadi padanya, biarlah terjadi. Ia rela menjadi istri Damar, asal bisa secepatnya kembali. Apalagi, menurut Ratri, tak akan ada yang berubah pada tubuhnya, meski di sini nanti dia harus tidur dengan Damar, mengandung, dan melahirkan anak Damar. Riri meyakinkan dirinya, kalau keputusan yang ia ambil sudah benar.
"Nona!"
Riri yang asik melamun, tidak mendengar panggilan Ratri.
"Nona!" Ratri mengulangi panggilannya.
"Oh, iya, Bu."
"Nanti akan ada dua pelayan, yang akan melayani Nona bersiap, menyongsong pernikahan Nona."
"Kapan pernikahan akan dilakukan?"
"Hari ini juga, jadi malam ini, kalian sudah bisa tinggal bersama," jawab Ratri, mengagetkan Riri.
"Hah, secepat itu!?" Mata Riri yang menatap Ratri membesar.
"Nona ingin cepat pulang, bukan. Lebih cepat kalian menikah, itu lebih baik."
"Oh ...."
Ratri bangkit dari duduknya.
"Saya permisi dulu, Nona. Saya harus mempersiapkan segala sesuatunya, permisi." Ratri berpamitan dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Silakan."
Ratri meninggalkan Riri. Rasa takut datang lagi dalam hati Riri. Poin tidur bersama, hamil, dan melahirkan, adalah sesuatu yang sedang ia pikirkan. Membayangkan tidur bersama saja membuat hatinya cemas. Riri meraba bibirnya. Membayangkan bagaimana ia berciuman dengan pria berwajah singa. Tubuh Riri bergidik, tapi ia tak bisa mundur lagi, ia memutuskan, dan harus siap dengan segala resiko yang harus ia terima, dari keputusannya tersebut.
BERSAMBUNG