Cemburu

1105 Words
Hujan perlahan reda. Farel masih duduk di halte busway berdiam diri menemani Sania yang juga memilih diam, menikmati hujan yang tinggal rintiknya. Farel tidak mengerti kenapa dia masih di sini, kenapa kakinya sangat berat untuk melangkah dan mengucapkan kalimat perpisahan? “Hujannya sudah berhenti, pak,” kata Sania, menoleh pada Farel yang duduk di ujung darinya. Farel mengangguk pelan. “Jadi? “ kata Sania lagi. Kening Farel berlipat. Sania tersenyum. “Pak, suka bakso gak? “ “Suka.” “Bagus kalo gitu.” Senyum terus mengembang dari wajah Sania. “Di dekat sini ada yang jual bakso, dijamin enak banget, pak. Kita makan yuk ke sana.” “Di sebelah jualan bakso ada yang jualan wedang jahe juga, pak. Pas bangetkan, habis hujan gini, makan bakso plus minum wedang...hem...enak banget.” “Pak, saya mohon jangan nolak. Bapak datang ke sini jauh-jauh, terus badan bapak juga basah kena hujan. Cuman ini yang bisa saya balas atas semua kebaikan bapak. Jadi, pliiss .....jangan nolak pak.” Farel tidak tahu apa yang diinginkan hatinya. Dia bimbang dan kepalanya dengan lancang mengangguk setuju. “Bagus.... tempatnya gak jauh kok dari sini, Pak. Kita bisa jalan aja. Mobil bapak bisa di parkir di depan bank itu. Di sana ada tukang parkir yang bakal jagain.” . . “Pak, risih gak?” tanya Khiya. Tempat bakso itu ternyata ramai, dampak hujan membuat banyak orang berteduh dan sekalian makan di sana. Farel jadi harus duduk tepat di sebelah Khiya dengan sedikit jarak. Jelas ini tidak biasa bagi Farel. “Gak pa-pa....” “Maaf ya, pak...” Farel hanya mengangguk, mengupas senyum di wajahnya yang nampak berkeringat. Tempat ini terasa panas karena, ya... banyak orang di ruangan kecil. Bakso yang mereka pesan sudah datang. Diam-diam perhatian Khiya tidak pernah lepas dari Farel. Khiya terus memperhatikan Farel, entah Farel sadar atau tidak. Aliya benar, seharusnya tadi Khiya sedikit berdandan. Karena tanpa dia sadarin sekarang mereka makan berdua—dinner... ya, meski belum malam dan di tempat sederhana. Yang terpenting memang buka itu semua, yang penting dengan siapa dia ada di sana. Khiya akan mengenang semua ini. Kupu-kupu yang terasa berterbangan di hatinya, membuat Khiya tergelitik untuk terus tersenyum. “Kamu makan cabe sebanyak itu?” Suara Farel menyadarkan Khiya dari lamunannya. Mata Khiya spontan membuat, saat melihat kuah baksonya sudah berwarna merah. “Astagfirullah, banyak banget,” kaget Khiya. Khiya mengutuki dirinya yang sangat ceroboh. “Kamu gak tahan pedes? “ Khiya mengangguk, sedih. Rasa inginnya menghirup kuah seketika luluh lantang, Khiya tidak mau sakit perut karena makan bakso sepedas ini. Tanpa Khiya duga, Farel menggeser mangkuknya ke hadapan Khiya dan mengambil mangkuk Khiya. “Kalo gitu, kamu makan ini aja. Biar ini saya yang makan. Saya lumayan suka pedas,” kata Farel, tenang. Jelas itu tidak benar. Farel tidak suka pedas, Farel pernah mengatakan itu pada Khiya. Tapi kenapa pada Sania, dia bilang bisa? Farel mulai makan dengan tenang, Khiya memperhatikan dalam hening. Lima menit, lama-kelamaan wajahnya memerah, bahkan telinganya juga sedikit merah. Farel terus minum sampai air di gelasnya habis. Farel kepedasan. “Pak, biar saya pesanin es ke kedai sebelah.” Khiya langsung bangkit menuju warung es di sebelah warung bakso itu. Farel rela makan pedas hanya untuk Sania.... Haruskah Khiya merasa ini romantis? Ataukah ia harus sedih? Jika Sania, bukanlah Khiya... Apa itu artinya Farel akan meninggalkannya, dan lebih memilih Sania? “Neng, ini es nya.” “Terima kasih, pak.” Khiya membayar. “Pak, apa bapak punya gula aren? Suami...hem, teman saya, makan terlalu banyak cabe. “ “Ada Neng. Ini Neng, ambil aja gak usah bayar.” “Terima kasih, Pak.” Khiya cepat-cepat membawa segelas es teh itu untuk Farel. “Oh, bapak ke sini sama siapa? Sendirian? “ Farel sedang mengobrol dengan seorang pria dan setelah Khiya mendekat, obrolan keduanya berhenti, keduanya baru menyadari kehadiran Khiya di belakangnya. Pria itu menoleh. “Eh, kamu...”katanya, ramah. Selaras dengan ekspresi Khiya yang setengah kaget. “Kamu gadis yang pernah gak sengaja aku tabrak di kampus waktu itu, kan?” katanya. “Gimana kakinya udah gak sakit lagi, kan? “ Khiya mengangguk. “Iya, alhamdulillah udah gak sakit.” “Alhamdulillah kalo gitu.” Khiya melirik Farel yang masih nampak kepedasan. “Pak, ini es nya....masih kepedasan gak ?” Khiya memberikan es teh pada Farel. “Oh iya pak, ini gula aren biar pedesnya cepat hilang.” “Terima kasih...” Setelah beberapa detik hening, Farel memperkenalkan pria itu pada Khiya. “Sania, dia Fatha. Dia sekarang akan jadi asdos (asisten dosen). Dan ini Sania, salah satu mahasiswa yang membantu penelitian saya, sebagai fasilitator.” “Salam kenal, Sania.” Fatha menangkupkan tangannya. Khiya melakukan hal yang sama. “Oh iya Fatha, kamu bilang, motor kamu mogokan...lebih baik kamu pulang bersama saya. Gimana?” “Eh, gak usah pak, entah ngerepotin.” “Gak ngerepotin, lagian kita juga satu arah dan kamu bisa temani saya buat antar Sania pulang.” Fatha mengangguk. “Iya, terima kasih sebelumnya pak.” Farel mengulas senyum, ada rasa lega di sana. “Saya yang harusnya berterima kasih,” gumum Farel pelan. Fatha mungkin tidak mendengarnya tapi Khiya mendengarnya. Sebegitu inginnya Farel mengantar Sania pulang? Secemas itukah Farel untuk Sania?—batin Khiya lagi-lagi mempertanyakan hal yang sebenarnya, tidak terlalu besar. Khiya pulang diantar Farel. Fatha duduk di kursi sebelah Farel sedangkan Khiya duduk di belakang sendirian. Khiya menatap embun hujan di kaca jendela mobil. Khiya sudah mengirim pesan pada Aliya, bahwa ia akan ke rumahnya lagi. Khiya mengetik sesuatu di ponselnya. Mengirim pesan pada Farel sebagai Khiya, istrinya. ‘Hubby, tadi hujan tiba-tiba, aku terjebak hujan dan tidak bisa pulang. Malam ini, aku izin lagi. Aku ada di rumah Aliya.” Setelah Khiya menekan tombol send. Ponsel Farel berdering. Farel menepikan mobilnya sebelum mengusap ponselnya. Farel membaca pesan dari Khiya. ‘Iya. Jangan lupa jaga kesehatan.’ Hanya itu? Khiya tersenyum miris. Lalu apa lagi yang Khiya inginkan? Selain memperbolehkan dan tentunya alarm kesehatan. Tidak akan ada obrolan ringan saat Farel bersama Sania. Tidak akan ada. Mobil Farel berhenti di depan pagar rumah Sania. “Terima kasih, pak.” Khiya turun dari mobil. Mobil Farel kembali melaju. Khiya melihat mobil yang perlahan berjalan menjauh darinya. “Sebenarnya apa yang terjadi? Bagaimana bisa semua ini, malah menyakitkanku ?” Khiya menutup rapat pagar rumah Aliya. “Khy....,” Aliya menepuk pelan pundak Khiya. Aliya sejak tadi dia sudah menunggu Khiya. “Lo kenapa nangis? “ “Yak ... Farel suka Sania, bukan aku.” “Sania adalah Khiya. Khiya adalah Sania. Kenapa kamu sedih? Jika Farel suka Sania, itu artinya dia suka Khiya.” . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD