Aliya menutup pintu dan membiarkan Khiya untuk beristirahat. Aliya merasa bersalah, seharusnya dia tidak membiarkan Khiya pulang sendirian, Khiya jadi kehujanan dan jelas itu tidak baik bagi Khiya.
Aliya mengambil ponselnya dan menelepon Fauzan.
“Assalamualaikum, pak dokter...”.hem maksud saya Fauzan...”
“Waalaikumsalam. Ada apa Aliya? “
“Ini mengenai Khiya, dia tadi kehujanan dan sekarang tubuhnya sedikit panas. Apa dokter bisa datang ke sini untuk memeriksa kondisi Khiya? Takutnya ini malah jadi hal serius.”
“Hem, tapi sekarang saya tidak bisa ke luar rumah sakit, dokter yang bertugas ada yang izin dan baru digantikan setelah dua jam. Selama itu saya tidak bisa ke mana-mana,” sahut Fauzan dari seberang sana. Aliya menghela nafas gusar.
“Kamu gak perlu cemas. Untuk sekarang, biarkan Khiya istirahat dan juga tolong buatkan dia jamu atau wedang hangat. Khiya akan merasa lebih baik.”
“Wedang jahe? Saya gak bisa dok,” sahut Aliya jujur. Fauzan terkekeh di sebrang sana.
“Mau saya ajarkan? “
“Eh? Gak usah dok, gak usah repot-repot. Saya bisa liat di youtube.”
“Saya gak repot. Gak ada pasien juga,” sahut Fauzan.
Aliya jadi bingung harus bilang apa untuk menolaknya.
“Boleh saya bantu? “tanya Fauzan lagi.
Aliya spontan mengangguk, dan satu menit berikutnya Aliya baru tersadar kalo anggukannya itu tidak bisa terlihat oleh Fauzan dan di sabrang sana Fauzan masih menunggu jawabannya.
“Iya boleh, Dok” sahut Aliya.
Kenapa gugup gini sih—batin Aliya menggerutu. Aliya masih sungkan menyebut nama Fauzan. Rasanya kayak aneh aja gitu.
“Sekarang coba liat di lemari makanan, ada kapulaga, kayu manis gak? “
“Duh, kapulaga yang mana sih... “Aliya bergumam pelan. “Kayaknya gak ada deh, Dok.”
“Kayu manis ada gak? “
“Kayu manis? Yang kayak kayu gitu ya, Dok ? Ini bukan ya? “ Aliya mengambil sebungkus kayu manis.
“Au....gak manis! “ teriak Aliya tiba-tiba. Aliya langsung kumur-kumur.
“Eh, kamu cobain ya? “ Fauzan terkekeh.
“Terus apa lagi, Dok? “
“Ada jahe kan? Coba periksa di kulkas.”
“Ah, jahe gimana sih... “Aliya bergumam lagi. Aliya menyesal tidak mendengarkan mamanya saat menjelaskan bahan-bahan rempah yang hampir serupa ini.
“Yang kuning bukan, pak? “
“Itu namanya kunyit.”
“Terus yang mana? “Aliya frustrasi melihat macam-macam rempah di hadapannya.
“Kamu pernah minum wedang gak? “tanya Fauzan, tenang.
“Hem, pernah dok.”
“Sekarang tutup mata kamu, terus ingatin aroma wedang itu, terus baru cari yang mana jahe...”
“Ahhhh... yang ini, Dok.” Aliya bersorak gembira, seolah dia baru saja memenangkan giveway. “Saya yakin 100% yang ini.”
Diam-diam Fauzan tersenyum geli akan kelakukan Aliya.
“Terus apa lagi, Dok? “
“Gula arena, ada gak? “
“Oh itu yang warnanya cokelat itu kan, Dok? Saya tahu dok... Ada di simpan, mama di lemari makanan,” cerocos Aliya, lupa kalo Fauzan yang diajaknya bicara.
“Bagus kalo gitu, terus ada sereh gak? Serah yang panjang itu loh... Yang biasanya di masukin di pindang dengan cara diikat.”
“Oh, itu.... Saya tahu Dok.”
“Terus biar enak, di masukin madu. Ada madu kan?”
“Ada Dok, mama madu lovers....”
“Madu lovers? “
“Iya, pencinta madu, maksudnya dok.”
“Oh....” Fauzan terkekeh.
Aliya bersemu malu, bisa-bisanya Aliya mode alay muncul. “Terus apa lagi sekarang, Dok? “cicit Aliya malu-malu.
“Nah sekarang, kamu geprek dulu jahenya.”
“Geprek ya....”Aliya berpikir sejenak, mencari apa yang bisa di ambil untuk mengebrek jahe.
“Kamu bisa pake batu ulekan kalo ada.”
“Ah, batu ulekan...” Aliya tersenyum senang. Ia mengambil batu ulekan, meletakan jahe di bawahnya.
Brak!
“Ahhh...jahenya terbang! “teriak Aliya tiba-tiba, heboh sendiri, membuat Fauzan tidak mampu menyembunyikan suara tawanya. Tapi Aliya tidak ngeh, dia tetap heboh mengeprek jahe.
Brak!
Brak!
“Huft.... akhirnya selesai juga,” gumam Aliya terdengar sangat kelelahan, seolah dia habis saja pulang dari medan perang.
“Udah, Dok... apa lagi? “tanya Aliya, bersemangat.
“Nah sekarang, serainya agak di pukul dikit, jangan sampe boyok ya... Santai aja mukulnya.” Fauzan terkekeh.
“Eh, iya dok..” Aliya mengeprek serai lebih kalem dari tadi, meski masih terdengar nada kehebohan di sana.
“Bahan udah semua. Sekarang, kamu suapan wadah buat rebus air.”
“Ah, iya... “ Aliya mengambil panci ukuran sedang dan mengisi penuh air di sana. “Udah Dok.”
“Apinya sedang aja, gak usah besar-besar. Takutnya entar ngeleber keluar pas di masukin gula aren.”
“Udah Dok.”
“Terus masukan jahe tadi, serai, gula aren dan kayu manis. Oh iya tadi airnya berapa banyak? “
“Hem, kayaknya dua liter deh ini, Dok.”
“Astagfirullah, banyak banget.”
“Eh, kebanyakan ya dok? “Aliya mode panik. “Kalo gitu biar saya buang dulu airnya dok.”
“Eh, gak usah. Gak papa. Kalo kebanyakan saya siap kok buat habisnya.”
“Eh...”
“Iya, setelah ada dokter pengganti, saya akan ke sana buat periksa keadaan Khiya. Saya sangat tersanjung kalo kamu mau membagi wenang jahe geprek buatan kamu.”
Owhhhhh....so sweet gak sih?
Kenapa wajah Aliya terasa menghangat seperti ini.
“Oh iya, udah wangi belum jahenya? “
“Udah wangi banget, Dok.”
“Tunggu agak mendidih, terus tinggal nambahin madu sesuai selera. Kamu kasih ke Khiya, biar badannya enakan.”
“Iya Dok.”
Hening.
Aliya bingung harus mengatakan apa lagi.
“Oh iya, terima kasih sebelumnya dok, maaf dok dari tadi saya pasti ngerpotin dokter.” Aliya meringis. Kalimat formal apa ini. Sebenarnya tidak ada alasan kenapa Aliya mengatakan hal itu, ia hanya hem... basa-basi. Dan kalimat itu yang keluar dari hasil kompromi dengan otaknya.
“Saya selalu suka kamu repotin, bahkan seumur hidup saya.”
Eh...
Apa ini namanya gombal? Batin Aliya bersuara.
“Hem, em... Saya mau kasih wedangnya ke Khiya dulu ya, Dok...”
Maksud di balik kalimat itu, ‘Udah dulu ya, saya ada kerjaan’, tapikan sungkan mau bilang gitu...jadi ya... Tersirat aja.
“Iya, silakan,” sahut Fauzan.
Silakan .....hanya itu ? Fauzan tidak mau mengatakan ‘Oh ya sudah, saya matikan panggilannya’. Itu maksud Aliya. Bukan cuman silakan.
Aliya juga sih, kenapa mesti sungkan untuk mengatakan sudah dulu ya...tapi terkadang sebagian orang memang sungkan untuk mengakhir percakapan, meskipun kadang ia sudah banyak pekerja yang harus di lakukan, kecuali dengan orang-orang terdekat.”
“Hem...ehm...Dok, saya matin ya panggilannya .... Assalamualaikum.”
“Iya, Waalaikumsalam.”
Klik.
“Huft.... “ Aliya bernafas lega. Bahkan di telepon saja, Aliya gugupnya bukan main. Heran deh...
Aliya langsung membawa segelas wedang jahe ke kamar Khiya beristirahat.
“Hiks...hiks.... hiks...”
Khiya menangis.
Aliya mendengar itu dan memutuskan untuk mengetuk pintu sebelum masuk, meski pintu tidak dikunci hanya di tutup saja. Alasannya, agar Khiya bisa bersiap sebelum Aliya masuk.
Khiya gadis yang tegar. Dia terlalu malu jika air matanya terlihat orang lain, bahkan Aliya sekalipun. Aliya bahkan sangsi Farel pernah melihat Khiya menangis secara terang-terangan.
“Masuk aja, Yak. Pintunya gak di kunci kok.” Khiya mencoba menormalkan suaranya yang parau.
Aliya masuk, Khiya sudah siap dengan senyum di wajahnya seolah tangis tidak pernah hinggap di sana.
“Buat apa, Yak? Kayaknya berisik banget di dapur.”
Aliya tersenyum bangga lalu langsung duduk di sisi kasur, membawa nampan di tangannya.
“Nih gue buatin wedang jahe buat Lo. Tadikan Lo hujan-hujanan tuh, biar badan Lo anget. Minum gih...” Aliya menyodorkan secangkir gelas pada Aliya.
Khiya menerimanya, tapi tidak langsung meminumnya. Ia malah menatap gelas berisi wenang jahe itu, dengan tatapan sendu.
“Eh, kok cuman di liat doang sih? “ tanya Aliya bingung.
Khiya tersenyum tipis. “Tadi Sania juga minum wedang jahe sama pak Farel.”
“Sania...? Kamu sama Farel minum wedang jahe sebelum pulang?”
“Sania, bukan Khiya.”
“Sama aja Khya....”
“Beda, Yak.”
Aliya memutar bola matanya. Khiya nampak sedih, ia tidak mau membuat sahabatnya semakin sedih.
“Khy, sebenarnya gue masih bingung, serius. Masa Farel sampai sekarang gak sadar kalo Sania itu Lo? Menurut gue penampilan Lo gak berubah banget sampai orang gak akan kenal sama Lo. Cuman gaya penampilan Lo aja yang agak beda pas jadi Sania. Masa gitu doang Farel gak kenal sih sama Lo... “
Khiya tertegun.
“Aneh banget gak sih... apa jangan-jangan Farel pura-pura gak kenal Lo? “
“Buat apa gitu, Yak....? “
“Ya bisa aja. Mungkin dia sebenarnya juga canggung saat kamu jadi Khiya. Makannya pas kamu pura-pura jadi. Sania, Farel mendukung. Biar dia bisa dekat sama Lo. Kan bisa aja.”
“Itu gak mungkin.” Khiya menghela nafas panjang.
“Apanya gak mungkin?”
“Kalo emang itu yang kamu bilang, pasti saat Khiya minta Farel jemput di harusnya langsung bisa. Tapi gak, Yak... dia banyak kerjaan dan itu lebih penting dari Khiya. Tapi saat Sania yang minta, dia langsung bisa.”
“Khiya...kenapa Lo malah gini sih...kenapa hal ini malah jadi nyakitin Lo sih..... “ Aliya berdecak pelan.
Khiya hanya menunduk dalam. Jika tidak ada Aliya di sana mungkin, Khiya sudah menangis lagi.
Aliya menghela nafas panjang, bertepatan dengan suara bel pintu berbunyi. Aliya mengecek ponselnya dan benar, itu Fauzan yang baru saja datang.
“Khy, Lo pakai jilbab gih...ada dokter Fauzan yang mau periksa keadaan Lo.”
“Lo pake jilbab dan pakaian ala Sania aja. Gue mau tanya dokter Fauzan, apa dia gak kenal sama Lo, setelah Lo pakai gaya gitu,” kata Aliya, sebelum keluar dari kamar.
Dua menit berikutnya Aliya datang membawa Fauzan.
“Assalamualaikum, Khiya....” sapa Fauzan.
Aliya langsung mengirim kode pada Khiya, bahkan Fauzan saja mengenal Khiya meski Khiya menggunakan pakaian ala Sania.
“Gimana keadaan kamu? “ tanya Fauzan.
“Alhamdulillah, gak terlalu buruk dok.” Khiya tersenyum simpul.
“Maaf ya dok, biasa kadang Aliya emang suka panik banget... jadinya dokter harus jauh-jauh ke sini.”
Fauzan malah terkekeh mendengar Khiya mengkritik Aliya. Aliya mendelik pada Khiya, yang dibalas Khiya dengan senyum kecil.
Fauzan memeriksa Khiya. “Semua normal alhamdulillah. Khiya hanya perlu istirahat biar nanti pagi bisa fit lagi.”
“Oh, gitu. Makasih ya Dok,” kata Aliya.
“Makasih doang? “
“Eh...terus, apa lagi? “Aliya mengaruk pelan dahinya, kebingungan.
“Saya mau cobain wedang jahe.”
“Boleh? “
Ah.... Aliya belum tua tapi dia sudah pelupa akut.
“Eh, boleh dok, mau saya bungkusin gak sekalian?”
Fauzan terkekeh. Kalimat Aliya tersirat makna, dok minumnya di rumah aja ya, jangan di sini.
“Iya, boleh. Lagian udah malam juga.”
Huft... Aliya bernafas lega, dia tidak bisa membayangkan harus duduk selama lima menit lebih dengan orang yang tidak terlalu akrab dengannya. Yang ada hanya suasana awkward seperti kemarin, sepuluh menit terasa lima jam.
“Kalo gitu saya pulang, Ya. Salam buat mama dan papa kamu.”
“Iya, Dok. Hati-hati di jalan, jangan lupa doa, , terus jangan ngebut-ngebut soalnya jalannya rada lincih habis hujan.”
Fauzan mengangguk hikmad. “Ada lagi? “
Huft...Aliya gak bisa keliatan pendiam gitu? Gerutu Aliya.
“Nanti kalo saya sudah sampai rumah, insyallah saya bakal kabari kamu, biar kamu gak cemas.”
Cemas????
Aliya tersenyum garing, sebenarnya bingung harus menjawab apa.
Kenapa Fauzan malah diam aja? Bingung Aliya karena Fauzan gak kunjung masuk ke dalam mobilnya.
“Kenapa Dok? Ada yang ketinggalan ya? Biar saya ambilan dulu.”
Aliya hendak berbalik.
“Gak ada yang ketinggalan.”
“Terus kenapa dokter....hem diam aja?”
“Saya tunggu kamu masuk dulu, baru saya pulang.”
“Eh?” Sepertinya wajah Aliya memerah. “Kalo gitu saya masuk deh, Dok.” Aliya langsung berbalik cepat dan berhenti saat hendak menutup pagar.
Fauzan tersenyum. “Kalo gitu, saya pulang ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Aliya menutup pintu.
Jantung kenapa? Kenapa berdetak tidak normal? Aliya harus periksa jantung besok!
“Cie.... “
Suara tawa Khiya membuyarkan lamunan Aliya. Aliya langsung mendapati Khiya berdiri di ambang pintu sembari menatap Aliya dengan tampak cenggesan.
“Hey, kisanak...lo kok malah keluar sih, bukannya tidur, istirahat! “
“Istirahat bisa nanti, kan sayang kalo tadi ngelewati drama live yang lebih dari drama korea,” sahut Khiya. “Saya baru mau pulang setelah kamu masuk.... Uhhh....sweet banget gak sih? “ tambah Khiya dengan nada-nada penuh kelebayan.
“Eh, udah sana masuk, istirahat! “titah Aliya.
“Kamu gak masuk? Mobil dokter Fauzan udah gak keliatan lagi tahu, Yak... “
“Ha?” Aliya belum masuk bukan karena alasan itu. “Khiya.... Siapa juga gitu.”
“Terus ngapain masih bengong di situ? Mau menyatu dengan alam?” kata Khiya santai.
Khiya yang semula dongkol mendadak jadi ketawa. “Ya kali gue nyatuh dengan alam? Mau jadi ubur-ubur...”
“Udah buruan masuk. Di luar dingin tahu. Mana semua wenang jahe di kasih ke dokter Fauzan semu lagi.....”
“Kalo marah terus bisa keliatan tua tahu, Yak....”
**