Prolog
Aku sendiri. Setidaknya begitulah kata dunia padaku. Tidak ada siapa pun di sampingku kecuali sang Rabb yang lebih dekat dari urat nadi. Aku tetap tegak berdiri di tengah badai kehidupan. Tumbuh dan terus hidup meski arah angin tidak memberi kabar mengenai apa pun.
Mereka semua mungkin menganggapku makhluk paling menyedihkan di muka bumi. Nyatanya hal itu tidak sama sekali aku rasakan.
Aku bahagia.
Bahagia untuk apa yang memang di tafsirkan untukku. Tidak memiliki seseorang untuk kembali, memang sulit. Tapi aku mulai terbiasa.
Kegelapan dan kesunyian selalu Ada untuk merangkul ku di bawa lampu temaram yang redup. Seolah mengajak ku bercerita dalam hening malam. Aku akan bercerita banyak hal dan itu membuatku bahagia.
Setidaknya kehidupan seperti itulah yang aku jalani.
Aku sangat bahagia meski sendiri. Garis bawai itu. Aku-Bahagia.
Tubuh yang sehat adalah kado terindah yang sang Rabb berikan sebagai cara ku untuk bertahan. Aku tetap tegak berdiri, meski dengan susah payah. Tetap melangkah meski terseok.
Bukankah kebahagiaan datang dari takdir yang mampu di syukuri?
Banyak manusia yang terlahir nyaris ‘sempurna' tapi apa hal itu bisa menjadi tolak ukur mereka bahagia? sebahagia aku?
Hari-hari ku jalani. Tanpa terasa. Tanpa terbayang akan mencapai titik ini. Awalnyaku kira, riak dalam gelombang hidupku sudah mulai mereda. Aku sang pemenang! Aku sudah mengalahkan semua 'rumor sedih yang melekat'. Aku pemenang yang tidak menyerah melawan badai, lihat betapa kuatnya aku menghadapi semua ini?
Aku seperti batu karang, terlihat rapuh tapi sangat kuat, ombak pantai hanyalah bui kecil di kakiku !
Aku pikir, aku wajib berbangga diri atas pencapaian ku ini. Aku pikir, aku sudah meraih gunung emasku. Tinggal satu langkah lagi, langkah ku yang terlihat terseok akan segera mengudara. Semua orang harus tahu betapa kuatnya aku !
Tapi ternyata aku salah.
bui di kakiku menarikku dan aku terlalu terlena....
Cerita berkata lain, semua berbolak balik 180 derjat.
Allah berkehendak lain. Tepat usia 20 tahun, aku di vonis menderita penyakit lupus. Penyakit seribu wajah. Penyakit dimana sistem kekebalan tubuh menyerang sistem sehat.
Penyakit itu rupanya telah bersembunyi lama di dalam tubuh ku, mengokohkan kedudukannya sebelum muncul kepermukaan. Membiarkan aku dalam kelenaan hingga ia leluasa menanamkan akarnya pada tubuh ku.
Dan kini....
Tubuh sehat ku sudah tinggal kenangan, rasa banggaku terpatahkan. Allah menegurku dengan sangat telak. Seketika aku tersadar, bahwa selama ini terkokoh kesombongan pada diriku. Aku bersujud memohon ampun pada sang Ilahi. Ku bimbing raga ini dalam gerakan-gerakan salat. Ku letakan kepala yang selama ini tinggi berdiri, bersimpuh di bawah sajadah, memasrahkan segalanya. Keterbatasan dan kerapuhan langkah membuat aku mengerti bahwa aku hanya manusia lemah yang butuh sang Rabb dalam setiap langkah.
Dan lagi, kejutan baru datang menjumpai ku. Ada kejutan baru dalam hidupku bernama pernikahan.
Penyakit ini menghantarkan aku dalam gemelut biduk rumah tangan bersama Farel. Farel menawarkan tangannya padaku. Sebuah tangan kokoh yang memberi udara segar bagi tubuh lemah ini untuk tetap berdiri.
Farel nyaris ‘sempurna’ dalam pandangan manusia. Ia baik, cerdas, tampan, dan juga sholeh. Kesholehannya dapat terpancar dari garis wajahnya yang teduh. Wajahnya yang selalu basah karena air wudu. Matanya yang tidak memandang apa yang haram baginya dan senyumnya yang terampau manis.
Hari itu, setelah kata sah berkumandang, untuk pertama kalinya Farel mengangkat wajahnya di hadapan ku. Mengecup keningku sekilas lalu melafadzkan doa yang semakin melambungkanku dalam kebahagiaan. Memberikan bayang-bayang kebahagiaan di hadapan pelupuk mata kecil ku. Aku pikir semua akan seindah ini.
Aku tersipu malu layaknya pengantin di malam pertamanya. Jantungku menggelar konser drum yang amat keras. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas suara itu dalam kesunyian malam. Dengan sabar aku menunggu dalam hening ruangan. Duduk di atas ranjang dengan kepala tertunduk malu, menanti Hubby-ku datang membuka daun pintu itu. Hubby merupakan bahasa Arab yang berarti cinta. Ya, aku ingin memanggil Farel dengan panggilan itu. Hubby. Sesekali mataku melirik pada daun pintu yang masih senatiasa tertutup.
“Assalamualaikum ....”
Itu suara Farel. Bersamaan dengan suara itu, daun pintu juga terdorong, membuka. Menampilkan Farel di ambang pintu.
“Waalaikumsalam,” cicitku, begitu pelan. Sepelan detak jarum jam di dinding.
Derap langkah kaki Farel bagai melody menegangkan untukku. Semakin dekat langkahnya, makin bertambah level itu. Aku tertunduk, menikmati rasa gugup yang menyerang berlebihan ini.
“Khiya,“ panggilnya.
Farel sudah berada di ujung kasur. Berdiri menatapku. Aku tidak berani mengangkat kepalaku. Aku terlalu gugup untuk menatap matanya.
“Khiya....”
Suara Farel kembali terdengar. Namun suara itu tidak terdengar seperti suara yang penuh kebahagiaan. Kenapa suaranya terdengar gemetar?
Refleks, aku beranikan diri mengangkat kepalaku, agar dapat melihat dengan jelas wajah suamiku itu. Tatapan kami saling berjumpa. Farel tersenyum pada ku.
Tapi....
Itu bukan senyuman. Lengkungan di wajah Farel lebih mirip seperti goresan penuh luka. Satu hal yang baru aku sadari. Sorot mata itu.....