Petir

2241 Words
‘Pak, sibuk gak?’ ‘Lagi bosen nih pak...’ ‘Main tebak-tebakan, yuk... ‘ Farel mengusap ponselnya terlihat pesan dari Sania. Sebenarnya ia tadi sedang fokus menyusun materi yang akan di sampaikannya pekan depan, tapi Farel mengalami stuck dan ponselnya yang terus bergetar sukses menarik perhatian Farel. Farel hendak mematikan ponselnya, tanpa berniat membalas pesan Sania. Tidak ada hal penting yang membuatnya harus balas pesan itu, apalagi dari perempuan yang bukan mahramnya, hal-hal buruk rawan terjadi. Bukannya maksiat bisa timbul dari coba-coba? Menyepelekan hal yang terlihat kecil dan biasa saja, padahal hal-hal kecil itu bisa membawa kehancuran pada seorang mukmin. Diriwayatkan dari Abdullah bin Masud, Rasulullah SAW juga bersabda, “Jauhilah dosa-dosa kecil karena bila berkumpul pada seseorang akan menghancurkan dirinya. Dan, sesungguhnya Rasulullah SAW membuat perumpamaan, bagaikan suatu kaum yang turun ke suatu lembah, lalu hadir pemimpin kaum itu dan menyuruh setiap orang membawa satu potong kayu kecil dan terkumpullah setumpuk kayu yang banyak lalu dibakar sehingga bisa membakar apa saja yang dilempar ke dalamnya. (HR Ahmad). ‘Saya yakin, sekarang bapak lagi sibuk kerjakan?’ ‘Bapak juga belum makan, kan? ‘ Kening Farel berlipat. “Dari mana Sania tahu?” ‘Tahu dong, pak...’ “Eh?” Lagi-lagi Farel dibuat kaget oleh pesan Sania. ‘Itu kerja atau makan pak, kok sehari tiga kali sih...’ ‘Main yuk bentar, tebak-tebakan aja, pak...’ ‘Mau ya..’ ‘Pliss...’ ‘Saya janji, kalo bapak berhasil jawab pertanyaan saya, saya gak akan ganggu bapak lagi.’ ‘Janji.’ ‘Mau ya, pak? ‘ ‘Saya lagi sedih nih, pak...’ ‘Plissss....’ ‘Pliissssss....’ ‘Plisss....’ Farel menghela nafas panjang. Sania tidak akan berhenti menganggunya jika tidak dibalas, ‘Ya’. ‘Tebak-tebakan apa? ‘ ‘Sarung...sarung apa yang bisa nyanyi, nari dan akting? ‘ ‘Ayo tebak pak, jangan cuman di read doang...’ ‘Tahu gak pak? Gak tahu ya....’ Farel membalas, ‘Emangnya ada sarung yang bisa semua itu?’ ‘Ada dong pak... Sarung khan...” “Sarung Khan? “Farel bergumam, mencoba mencerna. ‘Itu loh pak, artis india Sahrun Khan.’ Farel menggeleng pelan, ada-ada aja. ‘Karena bapak gak bisa jawab, aku kasih satu kesempatan lagi. Ayo tebak, kucing...kucing apa yang bucin, pak? ‘ ‘Saya gak tahu.’ ‘Ih, pak dosen cepat banget nyerahnya. Gak asik.’ ‘Gini aja, kalo gak bisa jawab tebakan saya, pak dosen harus jawab pertanyaan saya yang kemarin.’ ‘Saya kasih waktu dua menit.” Farel memutar otak. Memikirkan kalimat plesetan apa dari kucing. ‘Satu menit lagi, pak.. ‘ ‘Udah ketemu belum, pak? ‘ ‘Nyerah gak pak? ‘ ‘Udah nyerah aja pak dosen...’ Farel tidak tahu apa jawabannya. ‘Baiklah, saya nyerah.’ ‘Yeyeye...berarti bapak harus jawab pertanyaan saya nanti.’ ‘Jadi... Kucing apa yang bucin?’ tanya Farel penasaran. “Kucing-ta dia, sayang dia, rindukan dia... Inginkan dia... ‘ Farel spontan tertawa lepas, tawa yang selama ini telah bersembunyi darinya. Receh sekali. ‘Kalo bapak cinta siapa? ‘ Farel tidak tahu, kenapa ada rasa aneh di hatinya, membuat bisa sebahagia ini. Tapi... Farel tersadar, begitu dirinya melihat pantulan dirinya di cermin. Farel tertawa dengan sangat lebarnya... Apa dia sangat bahagia sekarang? Sejak kapan dan kenapa Farel bisa sedekah ini dengan Sania. Ini salah, batin Farel bersuara. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? ** Khiya sampai di rumah Aliya. Semalaman di opname, membuat tubuh Khiya menjadi lebih fit. Khiya sengaja mampir ke rumah Aliya, karena Farel taunya Khiya menginap di rumah Aliya. “Om sama tante lagi pergi ya, Yak? “ “Iya, biasalah... Perjalanan bisnis. Yuk masuk.” Aliya membuka pintu. “Lo nyantai aja dulu di sini. Dah lama kan Lo gak main ke sini?” “Iya, semenjak nikah aku jarang main ke sini.” Khiya memperhatikan rumah Aliya, yang tidak berubah dari terakhir kali dia bertemu. “Lo kalo haus langsung aja ambil di kulkas, ada s**u dan es crame di sana. Lo masih ingatkan di mana kulkas gue ?” “Iya, ingat, emang aku pikun apa...” “Ya, kali aja.... pokoknya anggap rumah sendirilah ya. Gak perlu malu-malu. Oke...” “Iya, Yak...” “Lo kalo lapar bilang ke gue. Entah gue masakin, di kulkas ada ayam freezer tinggal goreng, lumayan buat ganjel perut.” “Ckckck.... Kenapa gak masak, makanan yang fresh aja? Lebih sehat....” “Bibi lagi sakit.. jadi gak kerja.” “Ya udah, aku aja yang masak... “Khiya tersenyum lebar. “Udah lama tahu, kita gak buat video tutorial masak.” “Iya ya... udah lama....” “Makanya, kita harus buat sekarang plus juga ngajarin kamu masak....kamu kan bentar lagi... hemm...” “Apa?! Bentar lagi apa? “Mata Aliya melotot. Sudah tahu kalo lagi-lagi Khiya ingin menggodanya dengan kata ‘nikah’. Khiya terkekeh. “Ya udah yuk masak....” “Eh, emang Lo gak capek? Baru juga datang udah udah masak aja.” “Aku capek kalo istirahat terus. Dari tadi udah tidur terus...” “Ya udah, yuk masak.” Aliya berjalan mengekor Khiya. “Eh, aku ambil kameranya dulu. Lo siap-siapin semuanya oke...” “Oke...” Aliya berlari ke kamar dan saat dia kembali ke dapur, Khiya malah duduk di kursi membelakangi Aliya yang berjalan ke arahnya. “Loh kok malah duduk sih, Khy ?” tanya Aliya. Khiya menoleh, terliat riak air mata yang masih tersisa si mata Khiya. “Lo nangis? Lo kenapa? Sakit lagi? “panik Aliya. Khiya menggeleng pelan. “Mata aku kena cabe tahu, jadi perih gini.” “Kenapa cabe? “Aliya kaget sekaligus lega. “Aku gak bisa bantu masak. Kamu aja yang masak.” “Eh...” “Tenang, entar aku pandu, kamu ikutin aja apa yang aku bilang.” “Hem, oke deh... “ . . “Jadi hari ini kita mau masak apa nih chef...” Khiya berbohong. Matanya tidak pedih terkena cabe, tapi matanya menangis karena lagi-lagi tangannya sakit hingga ia tidak bisa memegang apapun dengan benar. Khiya berbohong, karena tidak ingin Aliya merasa cemas. Dan merubah hal yang seharusnya berjalan dengan bahagia menjadi sedih. Khiya tidak suka hal itu. Dua jam membantu Aliya masak. Akhirnya masakan mereka selesai juga. Aliya memasak telur sambal dan sayur kangkung. “Enak banget masakkan kamu, Yak.” “Wow, gue gak nyangka bisa masak seenak ini.” Aliya tersenyum lebar. “Buruan makan, Khy.” “Assiiiap. Eh jangan lupa doa dulu.” “Bismillahi Rohmani Rohim,” ucap keduanya. Keduanya larut dalam nikmatnya makanan sembari berbincang ringan. Khiya tidak henti-hentinya bersyukur bisa merasakan semua ini lagi. “Kya, Lo pulang setelah magrib aja ya. Habis makan, gue pengen nyatui dulu. Menikmati suasana sore , kayak anak senja gitu... “ "Kamu gak usah repot-repot, Yak. Biar aku pulang minta jemput Farel aja.” “Cie....Farel mau jemput kamu di sini ?” Khiya mengangguk malu. “Farel pulang bentar lagi.” “So... Lo gak mau mandi dulu biar wangi gitu? “ “Ha? Buat apa? “ “Ya, mungkin kalian bisa sekalian dinner.” Aliya memainkan alisnya naik-turun. “Apa sih, Yak.” Khiya terkekeh. “Setiap hari kita juga dinner kok...” “Serius ?” Mata Aliya langsung melebar, seolah info itu sangat mengejutkan. “Dinner itu makan malam berdua kan? Nah aku sama Farel selalu makan malam berdua di rumah.” “Yaelah... Gue pikir, kalian dinner ala-ala romantis gitu tiap hari.” “Apa sih....” Khiya mengambil ponselnya di atas sofa, sedangkan Aliya menjatuhkan dirinya di sofa, nyantai sembari membuka ponselnya. “Aku mau hubungi Farel dulu. Jadi tolong jangan berisik ya...” “Assiiapp...gue bakal mingkem rapat-rapat.” Khiya tertawa pelan dan sedikit menjauh dari Aliya untuk menelepon Farel. “Assalamualaikum Farel...Iya aku di rumah Aliya...” Suara Khiya masih terdengar riang. “Iya...hem...ya udah gak papa. “ Nada suara Khiya tiba-tiba menurun, membuat Aliya melirik sekilas ke arah Khiya. “Astagfirullah!” pekik Aliya tiba-tiba. Aliya mengusap kasar wajahnya, nampak frustrasi setelah mendapat notif diponselnya. “Kenapa, Yak? “ “Dosen gue buat ulah. Masak tiba-tiba minta revisi bab kemarin terus langsung kirim ke email. Mana belum gue salin....” “Ya udah salin sekarang aja.” “Eh, bentar lagi Farel jemput ya? Lo udah share lock rumah gue? Kasihan entar dia nyasar...tahu sendiri jalan rumah gue banyak belokannya.” “Farel gak bisa jemput, Yak. Dia sibuk.” Khiya berusaha tersenyum meski hatinya menanggung kecewa. “Ya udah, gue anter Lo pulang aja.” “Eh, gak perlu, Yak.... aku bisa naik busway kok, Udah gak ada matahari juga, aku bisa nyantai.” “Tapi Khiya... “ “Tenang, Yak. Kamu lupa ya, sebelum jadi gadis penyakitan, aku biasa kok pulang naik busway. Aku gak akan kenapa-napa. Udah kamu fokus ngerjain tugas aja.” . . Langit nampak mendung, pada hal tadi langit nampak sangat cerah mengukir senyum yang tidak lepas. Semua ini seolah menggambarkan suasana hati Khiya, bahagia lalu mendung. Khiya tidak marah karena Farel tidak menjemputnya, Khiya sadar betul bahwa Farel bukan tidak mau menjemput, tapi dia sedang ada pekerjaan mendesak dan tidak mungkin hanya karena Khiya, Farel harus menunda itu semua. Hanya karena Khiya... Tidak mungkin. Khiya menatap langit tanpa kata, seperti bercerita tanpa suara. Khiya mencoba mengatakan pada langit untuk tidak menangis, karena dia tidak membawa payung. “Is oke, Khy...sejak kapan diamankan gini? Biasanya apa-apa juga kamu lakukin sendiri. Kenapa sekarang malah gini?” Khiya bergumam sendiri. Langkahnya masih selaras menuju halte. Langit mendung membuat suasana sore nampak hening, sedikit orang yang lalu lalang, bahkan jalan pun hanya di d******i kendaraan berroda empat sedangkan pengendara motor hanya beberapa kali ada yang lewat. “Akhirnya sampai juga.” Khiya duduk di halte sendirian. Tidak ada orang di sana, hanya ada udara dingin yang membuat Khiya sedikit mengigil. Beruntung Khiya membawa sweter sewaktu ia menjadi Sania. Tidak menghilangkan rasa dingin, tapi cukup membuat Khiya merasa sedikit hangat. Khiya melihat dirinya, dari pantulan genangan air. Kenapa sekarang penampilannya jadi mirip Sania? Khiya terkekeh. Timbul ide di benaknya. Khiya mengambil ponselnya dari dalam tas. ‘Pak Farel, coba tebak saya ada di mana?’ ‘Pak...Bapak suka hujan gak? ‘ ‘Saya suka hujan, tapi kalo sendiri di halte saya takut hujan, apa lagi kalo ada petir.’ ‘Pak Farel....di sini hujan.’ ‘Ada petir juga.’ ‘Saya takut, pak...’ Khiya melihat langit, yang sepertinya tidak mampu menahan tangisnya lagi. Jeddr.... Petir terdengar menyapa. “Mama...... “ teriak Khiya, ketakutan. . . Farel membuka ponselnya dan kaget mendapat pesan beruntun dari nomor Sania. ‘Saya takut, pak....” Pesan itu entah kenapa membuat Farel panik. Tanpa pikir panjang Farel langsung menelepon Sania. Hal yang tidak pernah ia lakukan. “Assalamualaikum, Sania..... “ Farel tidak mendengar sahutan dari Sania. Hanya terdengar suara hujan yang amat deras. “Sania? “ “Kamu gak kenapa-napa kan? “ “Sania....? “ Jeddr “Sania.....? “ “P-pak.... Saya takut...” Dapat Farel dengar suara tangis di sebrang telepon. “Kamu tenang, sekarang kamu ada di mana? “ “S-saya ada di halte jalan pembangunan.” “Kamu tenang, jangan nangis,” Farel berusaha menenangkan Sania, karena tangis Sania makin menjadi. Jedddr.... “Hiksss....pak.....saya takut...saya sendirian di sini. Saya takut....” “Jangan takut, saya akan ke sana.” Farel mematikan panggilan telepon dan tanpa pikir panjang langsung ke parkiran mobil meninggalkan semua perkerjaannya. Jika tadi Farel berpikir untuk tidak bisa meninggalkan pekerjaannya demi Khiya, tapi demi Sania...dia bahkan mengabaikan deadline yang ada. Apa yang sebenarnya terjadi pada Farel? . . Khiya menyimpan ponselnya ke dalam tas dengan tangan gemetar. Petir yang terus menerus bergemuruh di langit membuat Khiya sangat takut. Jedddrr... Terlihat cahaya kilat di langit, membuat Khiya terlonjak kaget dari bangku. “Mama, papa...” lirihnya pelan. Khiya menutupi wajahnya dengan tangan. “Sania...” Khiya mendongak, di atas kepalanya sudah ada payung yang menaungi dan Farel yang berdiri di hadapannya. “Sania, kamu gak kenapa-napa? “tanyanya pelan, di antar suara hujan yang bersuara nyaring. “Pak Farel....” suara Khiya tertahan. Tatapan matanya bertemu Farel. Farel terlihat sangat cemas pada Sania. Farel datang pada Sania dan meninggalkan segalanya. Apa perlakukan itu akan Khiya dapatkan sebagai Khiya? Apa Farel akan datang, menerobos hujan untuknya? Menanyakan keadaan dengan tatapan lembut yang sarat akan cinta? Khiya rasa tidak. “Hidung kamu berdarah.... “ kata Farel tiba-tiba. Rasa perih menjalar di hidung Khiya. Khiya mimisan. Ada darah di jari Khiya. Melihat itu Farel, langsung berlari ke mobil mengambil sesuatu tanpa peduli tubuhnya basah di gugur hujan. “Sumbat pakai ini, biar darahnya gak ngalir terus,” Farel memberi sapu tangan miliknya pada Khiya. “Sekarang kita harus ke dokter,” sambungnya, nada khawatir tidak pernah lepas darinya. Khiya tidak bergeming, melihat Farel nampak mencemaskan Sania? Hatinya entah kenapa terasa sakit. Farel mencemaskan Sania. Apa jika Sania bukanlah Khiya, Farel akan benar-benar berpaling dari Khiya? “Sania, ayo....,” kata Farel membuyarkan lamunan Khiya. “Saya akan antar kamu ke rumah sakit.” “Gak perlu pak. S-saya gak sakit kok.” Khiya langsung memasang senyum lebar di wajahnya. Khiya sangat handal melakukan ini. “Tapi hidung kamu berdarah.” Dan sekarang Khiya memperdengarkan tawa pelan, ingin menegaskan kalo dia baik-baik saja.... “Pak, saya cuman kedinginan aja. Emang suka gini kalo dingin.” Khiya langsung menghapus kasar darah yang ada di bawah hidungnya. “Kalo begitu masuklah ke mobil. Biar kamu gak kedinginan.” Perhatian tulus Farel membuat Khiya tidak bisa untuk menolak. Khiya masuk ke dalam mobil. Tapi Farel. Dia berdiri di luar mobil, membuat Khiya teringat prinsip Farel yang tidak ingin berduaan dengan yang bukan mahramnya. Khiya tersenyum. Khiya keluar dari mobil. “Kenapa kamu keluar? Di luar masih hujan... tubuh kamu bisa kebasahan.” Khiya tidak menghiraukan perkataan Farel, dia berlari kecil ke halte tadi. Duduk di sana. “Kenapa kamu malah duduk di sini lagi? “ Khiya tersenyum. “Di mobil memang gak dingin, tapi gak enak sendirian, Pak. Lagian petir juga gak ada lagi. Langit juga udah cerah gak mendung lagi. Saya udah gak takut lagi pak, karena ada bapak di sini.” “Tapi di sini dingin, Sania. Kamu bisa mimisan lagi.” “Gak masalah pak....saya gak enak kalo di mobil sendirian sedangkan bapak hujanan sendiri. Kita sama-sama aja pak...” “Saya tahu kok, bapak gak mau masuk mobil karena ada saya. Makanya saya mau duduk sini aja.” “Bukan itu alasannya...” “Iya, pak, saya paham kok. Saya tahu gak baik, berduaan di tempat tertutup dengan yang bukan mahram. Saya gak tersinggung untuk itu, Pak. Justru saya salut sama bapak yang terus menjaga hal itu.” Farel duduk di sisi ujung bangku. “Pak... Makasih ya. Udah relain waktunya buat datang ke sini cuman buat tolongin saya.” Yah.. hanya untuk Sania, tapi tidak untuk Khiya, batin Khiya bersuara lagi. Membuat Khiya lagi-lagi merasa ada godam tak kasat mata yang mengenai hatinya. Haruskan Khiya berterima kasih sebagai Khiya? . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD