Anak Angkat

2925 Words
Farel mengecek jadwal pada ponselnya. Hari ini waktunya untuk pergi ke rumah sakit. Farel mengambil berkas dari dalam nakas, bertulis nama Farel. Sebelum pergi ia menyempatkan diri untuk sarapan, dengan selembar roti selai kacang dan segelas s**u hangat. Biasanya ada Khiya yang menemani makannya, tapi hari ini Khiya belum pulang, Khiya meminta izin pada Farel untuk pulang siang. Tidak bisa Farel pungkiri hidup bersama Khiya hampir setengah tahun, meski hanya sebatas hening tanpa kata, Khiya sudah membuat ruang yang namanya terbiasa bagi Farel. Khiya menjadi hal yang sudah terbiasa Farel lihat, dan jika hal itu tidak ada maka akan ada rasa kekurangan di sana. Khiya hanya sebatas itu bagi Farel? Farel bahkan tidak tahu, dia sering merabah hatinya menanyakan apa pepatah lama mengenai cinta akan tumbuh karena terbiasa, sudah datang padanya? Tapi sampai sekarang Farel belum mendapatkan jawaban itu. Saat di dekat Khiya, hanya Farel yang tahu apa yang dia rasakan, dia merasa baik dan juga sedih. Semua itulah tembok tak kasar mata yang Farel bangun. Mobil Farel berhenti di parkiran rumah sakit lalu beralih mengambil berkasnya yang Farel sengaja taruh di jok belakang. Farel sudah membuat janji dengan dokternya. Namun semua ternyata tidak berjalan selaras, bak pepatah lama untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Anak dari dokter itu sakit dan membuat dokter tidak bisa datang lebih awal sesuai jadwal yang mereka buat. Farel harus menunggu dua jam untuk bertemu dokter, sedangkan kelasnya pukul delapan harus mulai. Farel mengambil ponsel dan menekan nomor Fatha. “Assalamualaikum, Fatha....iya, saya minta tolong untuk mengisi kelas saya, jurusan komunikasi semester 1 karena saya sekarang sedang ada di rumah sakit dan kemungkinan bisa ke kampus sekitar dua jam lebih.” “Waalaikumsalam, baik pak.” “Terima kasih.” Farel mematikan panggilan telepon dan menyimpannya. “Papa...” Farel refleks menoleh, meski Farel tidak tahu panggilan itu untuk siapa. “Papa....” Berdiri seorang anak laki-laki berbaju khas pasien, menatap Farel dengan mata berkaca-kaca. Farel bingung. Tidak ada orang lain di sana, hanya ada dia. “Papa, Kenapa papa pergi lama banget? Aku kangen...” bocah itu tiba-tiba memeluk Farel. Farel kaget tapi memilih membiarkan saja. Farel merasa ada kesedihan dari sorot kecil bola matanya. “Papa, dokter bilang papa pergi... tapi papa gak akan pergi ninggalin Galih, kan? Papa udah janji bakal ngerayain ulang tahun Galih....kenapa papa mau pergi?” Isaknya pelan. Farel mengelus pelan pundak bocah itu. “Papa....jangan tinggalin Galih ya... Mama Udah pergi papa jangan pergi juga. Apa Galih buat salah? Galih janji gak akan nakal lagi,” lirihnya pelan. Dan tiba-tiba kepala bocah itu tergulai lemah di pundak Farel. Anak itu pingsan. Farel kaget dan spontan menahan tubuh ringki Galih. “Astagfirullah ...suster tolong, bawa Galih ke ruangnya. Tolong segera! “ Suara itu menyadarkan Farel dari rasa kagetnya. Galih diambil alih dari dekapan Farel dan di bahwa ke ruangan inap. Farel menatap ranjang berjalan itu, “Terima kasih karena tadi sudah menjaga Galih. “ Farel menoleh, baru menyadari ada dokter di sebelahnya. “Namanya Galih. Dan dua pekan yang lalu, Galih baru saja selesai operasi jantung.” “Apa dia kehilangan ayahnya? “ Dokter itu mengangguk. “Dia baru saja kehilangan ayahnya, dua hari sebelum hari ulang tahunnya. Ayahnya yang mendonorkan jantungnya untuk Galih yang selama ini mengidap kebohongan jantung.” Farel tertegun. Rasa sakit itulah yang Farel liat dari sorot mata Galih. Ia sangat merindukan ayahnya. “Oh, iya, perkenalkan saya dokter Fauzan.” “Saya Farel.” Keduanya berjabat tangan. Fauzan melihat berkas Farel yang terjatuh di lantai. “Ini berkas kamu? “ Fauzan mengambilnya dan langsung memberikannya pada Farel. “Iya, Saya datang ke sini untuk menemui dokter Darma...” sahut Farel sopan. Fauzan mengangguk mengerti. “Dokter Darmah mungkin agak telat.” “Iya beliau sudah memberi tahu saya perihal itu.” “Baiklah kalo begitu. Sepertinya saya harus kembali ke ruangan Galih, untuk memeriksa keadaannya.” “Apa saya boleh melihat Galih lagi? “ tanya Farel, sebelum Fauzan hendak pergi. ** “Kak, pak Farel ada di rumah sakit? “ tanya Khiya, memastikan kabar burung yang dia dengar bukan isapan jempol. Seketika perasaan bersalah langsung merembes di hati Khiya. Bagaimana sebenarnya ia sebagai istri? Dia tidak bisa menjaga suaminya sendiri... “Iya, pak Farel bilang gitu tadi,” jawab Fatha apa adanya. “Rumah sakit mana, Kak? “tanya Khiya lagi. Fatha mengangkat bahunya, tanda tidak tahu. Khiya termenung. Pikiran yang tidak-tidak mengalir deras dibenaknya. “Kak, boleh saya pinjam ponselnya? Saya mau tanya di rumah sakit mana pak Farel sekarang.” “Iya, boleh. “ Fatha menyerahkan ponselnya. Khiya dengan cepat langsung mengirim pesan. Lima menit menunggu akhirnya Farel membalas. Dan secepat itu juga Khiya langsung berlari ke gerbang depan, menyetopkan ojek dan pergi menyusul Farel. Fatha bahkan belum mengatakan apa-apa. Kalo sebenarnya Khiya tidak perlu cemas. Khiya memburu langkahnya mencari Farel dan langkahnya terhenti saat melihat Farel berdiri di depan ruangan kaca menatap seorang anak kecil yang terbaring lemah di dalam ruangan. Farelnya baik-baik saja.... Itu lebih dari kabar terbaik yang pernah Khiya dapatkan. Semua rasa cemasnya menghilang berganti senyum bahagia. “Pak Farel....” panggil Khiya setelah berada lima langkah dari tempat Farel berdiri. Farel menoleh, dan ekspresi kaget Farel menjadi pemandangan yang melunaskan rasa lelah Khiya. “Sania, kamu ngapain di sini ?” “Nusul bapak.” “Kenapa kamu nyusul saya? Bukannya kamu hari ini kuliah sampai sore? “ “Iya sih, Pak tapi...” Khiya refleks mengaruk dahinya, pelampiasan dari rasa salah tingkahnya. “Saya tadi dengar bapak di rumah sakit, saya pikir bapak sakit. Saya cemas dan langsung datang ke sini.” “Tapi dari mana kamu tahu saya ada di rumah sa—“ Farel sepertinya ingat, ia melihat ponselnya dan baru sadar kalo pengirim pesan itu bukan Fatha. Farel memicingkan matanya ke arah Khiya, dan dengan polos Khiya tersenyum, ‘Iya itu saya pak.’ Fauzan menghela nafas panjang. “Terus sekarang kamu mau ngapain di sini? “ “Bapak juga ngapain di sini? “ “S-saya...” “Itu berkas pemeriksaan, kan? Itu punya bapak? “Khiya dengan polos menunjuk berkas yang Farel pegang. Sebagai seorang yang sering mendapat berkas seperti itu, Khiya sangat tahu jelas map apa itu. “Bukan apa-apa,” sahut Farel cepat dan kembali membalik badannya menghadap ke depan jendela transparan. “Lebih baik kamu balik ke kampus.” “Dan bapak?” “Saya bisa ke kampus sendiri.” “Tapi saya gak bisa tinggalin bapak sendiri di sini,” sahut Khiya tulus dari lubuk hatinya. Kali ini, Khiya mengatakan isi hati Khiya bukan Sania. Meski dalam penampilan Sania. “Pak, kenapa bapak kelihatan sedih? “ “Anak tadi memanggil saya papa—” Farel tersenyum sendu. “Eh? Emang dia anak bapak ya? “tanya Khiya heboh. “Bukan, makanya kalo orang ngomong jangan dipotong-potong, jadi miskom.” Khiya cengengesan. “Iya maaf, Pak.” “Namanya Galih. Dia manggil saya papanya karena rindu papanya. “Hem....” Khiya juga merindukan papanya. “Kehilangan memang menyakitkan ya, Pak. Tapi mau gimana lagi, semua yang berawal selalu harus berakhir.” “Iya.” “Pak, itu kayaknya Galih sadar deh....” “Iya... Kalo gitu biar saya panggil dokternya..” . . Farel kembali ke ruangan Galih. Dia tidak melihat Sania di sana, dan saat Farel melihat ke jendela transparan, terlihat Sania tengah mengobrol dengan Galih. Sesekali dia dan Galih tersenyum, nampak sangat bahagia. Tanpa sadar Farel terpaku melihat pemandangan itu. Senyum mengalir di wajahnya, Sania sangat baik, pikiran itu mendominasi Farel. Dan saat insting Sania terpanggil untuk menoleh, Farel masih berada di posisi tadi, melihat dengan senyum kearah mereka. Farel tersadar saat Sania balas tersenyum dan melambaikan tangannya, mengisyaratkan Farel untuk segera masuk. Galih juga melakukan hal yang sama membuat Farel langsung mengangguk setuju. Langkah Farel terpatah sejenak sebelum membuka pintu ruangan. Entah apa, tapi Farel mempertanyakan apa yang sekarang ia rasakan. Kenapa terasa seperti ini di hatinya? Farel menghembus nafas keras, membuang semua perasaan apapun yang tidak bisa ia identifikasi, dan menganggapnya tidak ada. Farel melampiaskan kebingungannya itu pada gagang pintu. Jadilah Farel membuka pintu dengan power yang ada. “Astagfirullah....” Sania hampir jatuh dan spontan hendak memeluk Farel, beruntung keseimbangannya cukup baik untuk kepentok di da*da bidang Farel. “Maaf... maaf, pak...” Suasana akward tidak bisa terelakan. Farel dari luar nampak biasa, tapi jauh di hatinya, ia semakin merasakan perasaan aneh yang tidak pernah ia rasakan. “Papa...” suara Galih memecah hening. Farel berdeham pelan, Sania langsung menggeser tubuhnya membiarkan Farel masuk. Farel mendekati Galih. “Mama sini juga... “ Farel menoleh kaget, siapa yang Galih panggil mama? Sania tersenyum berjalan mendekati Farel. “Pak, maaf ya, tapi Galih pas liat saya dia langsung manggil mama....bapak gak keberatankan kalo Galih panggil saya mama? “ bisik Sania, seperti menyadari raut wajah Farel yang sekarang terlihat aneh. “Pak? Cosplay jadi patung ya? Kok diam aja? Jadi boleh gak pak? Saya jadi mama Galih dan bapak jadi padanya Galih? Kita cocok ya pak..” “Pak boleh tanya sesuatu gak? “tanya Sania tiba-tiba dan nampak serius, gadis itu bahkan ssedikit merubah posisi tubuhnya mengarah ke Farel. Farel mengangguk kaku. “Tadi bapak panggil dokter kan terus sekarang di mana dokternya? “ “Kamu cuman mau tanya itu?” “Iya emang mesti tanya yang lain, Pak? “ “Oh, dokter bentar lagi datang. Katanya keadaan Galih udah normal, jadi hanya perlu di jaga aja.” “Oh gitu....” Sania beralih dari Farel pada Galih. “Galih kenapa wajahnya sedih gitu? “Sania spontan memeluk Galih. “Mama, Galih bosen. Mau main, mau jalan-jalan. Galih gak mau minum obat terus, obat rasanya gak enak, rasanya pahit.” “Tapi Galih harus tetap minum obat, buar cepat sehat ya. Gimana Galih semangat minum obatnya, mama bakal kasih tahu Galih tempat rahasia di sini...” “Rahasia, Ma? Rahasia apa? Kasih tahu Galih, Ma.” “Tapi Galih janji harus tetap rajin minum obat sampai sembuh, setuju? “ “Hem....setuju, Ma.” “Bagus kalo gitu, mama ambil kursi roda dulu.” “Buat apa, Ma? Galih bisa jalan, Galih gak lemah sampai harus kemana-mana pake kursi roda.” Wajah Galih seketika kembali sendu. Farel mengusap pelan pucuk kepala Galih. “Galih gak lemah kok. Justru Galih lebih kuat dari super hero. Galih tahu kenapa? “ Galih menggeleng pelan tapi dia nampak penasaran menunggu jawaban Farel. “Karena super hero kabur pas operasi beda sama Galih yang gak kabur dan punya tanda kalo Galih lebih kuat dari mereka.” Agak garing memang. Tapi hal itu mampu menarik senyum terbit di wajah Galih bahkan pada wajah Sania. “Selain itu, di sana gak ada kursi, makanya kita bahwa kursi. Galih gak mau, kan capek tegak? Mama kalo ada kursi yang bisa di bawa, bakak mama bawa ke sana.... tapi mama gak punya kursi roda sebagai punya Galih,” tambah Sania. Semua itu membuat Galih mendapat perspektif baru mengenai kursi roda. Kursi roda bukan lambang kelemahan untuknya tapi juga kursi jalan-jalan yang bisa di bawa kemana-mana, bukankah itu menarik? Galih tidak perlu berebut kurai saat dia naik busway atau saat dia pergi ke tempat-tempat wisata. “Sudah siap ke tempat rahasia? “ tanya Sania tanpa meminta persetujuan Farel. Tentu saja Galih dengan senang mengangguk semangat. “Kondisi Galih udah normal, kan pak? Apa salahnya buat menikmati udara segar di taman?” kata Sania seperti tahu makna dari kerutan di dahi Farel. “Tapi kita harus izin dulu sama dokter,” kata Farel akhirnya. Sania itu keras kepala, jadi tidak ada gunanya untuk menyangga pendapatnya. “Ya udah kalo gitu, pak dosen aja yang minta izin. Kan di sini yang paling dewasa, pak Farel,” sahut Sania santai. “Saya dan Galih tunggu sini, sekalian saya mau dudukin Galih di kursi roda.” “Pak Farel mau, kan?” “Papa mau ya....” . . Khiya mengajak Galih dan Farel ke taman belakang rumah sakit, jarang ada yang tahu jika taman di sana lebih indah dari taman yang ada di halaman depan. Terutama di sana ada banyak bunga mawar yang tersusun rapi di pot-pot kecil yang tergantung rapi di langit-langit rumah kaca. “Ini tempat rahasia, mama...mama sering ke sini, kalo sedih.” Khiya lupa kalo dia Sania bukan Khiya. “Memangnya mama sering ke sini ? Mama sakit juga?” Pertanyaan Galih menyadarkan Khiya. Rupanya Farel juga mempertanyakan hal yang sama terlihat dari raut wajahnya yang mendadak seperti ada tanda tanya besar yang menyudutkan Khiya. Khiya berdeham pelan, menghilangkan gugup yang menjalar tiba-tiba. “Semua orang pasti pernah sakit, kan? Mama juga pernah sakit. Mama kan bukan bidadari yang gak bisa sakit....” “Mama bidadari di mata Galih,” sahut Galih tulus. “Dan di mata papa juga.” “Iyakan, Pa? “ Farel nampak terkejut dengan pertanyaan itu. Khiya memperhatikan gerak-gerik Farel yang nampak kikuk, dahinya juga jadi berkeringat, Farel menoleh pada Khiya meminta persetujuan sebelum mengangguk untuk menyenangkan hati Galih. Farel sangat menjaga perasaan seseorang, dia tidak mau, Khiya merasa tidak nyaman. Dalam hati Khiya tertawa, menertawakan kecanggung yang melanda Farel. Kehadiran Galih memberi suasana baru dalam hubungan ini, entah takdir apa yang terjadi, dalam sekejab mata mereka memiliki seorang anak angkat yang memanggil mereka mama dan papa. Tapi Khiya lupa. Dia sedang menjadi Sania. Bukan Khiya. Khiya tersenyum, miris. Akankah kehadiran Galih akan semakin memperat hubungan Khiya dan Farel? Atau malah Sania dan Farel? Anehkah jika Khiya mempertanyakan hal ini? “Kenapa malah diam? “ “Ha? “ Khiya tersadar dari lamunannya. “Iya kenapa hubby? “ “Hubby? “ Kening Farel berkerut. Khiya keceplosan! “Kamu panggil saya ap—“ “Galih, sudah waktunya istirahat...” Suara seorang pria mengintrupsi percakapan keduanya. Khiya terlebih dahulu menoleh dan seketika tubuhnya seperti membeku, Khiya melangkah mundur menyembunyikan dirinya. Itu dokter Fauzan. Berjalan ke arah mereka, Fauzan nampak fokus melihat Galih hingga tidak sadar bahwa Khiya sudah melihatnya terlebih dulu. “Dokter....” Galih tersenyum lebar. “Rupanya Galih di sini, “Fauzan berjongkok menyetarakan tingginya dengan posisi Galih. “Sekarang waktunya Galih kembali ke kamar ya....Galih mau, kan? ” “Iya, Dok.” Galih mengangguk senang, “Tapi sama mama dan papa juga ya...” “Boleh.” “Dokter belum ketemu sama mama Galih kan?” kata Galih. Membuat ketiganya baru mencari keberadaan Khiya yang bersembunyi di belakang punggung Farel. “Mama kenapa berdiri di situ ? “tanya Galih. Farel spontan langsung menggeser tubuhnya. Fauzan melihat Khiya. Dengan segara Khiya melempar isyarat pada Fauzan untuk tidak memanggilnya Khiya. Awalnya Fauzan tidak mengerti, sampai Farel mengatakan, “Dia Sania, mahasiswa saya.” Fauzan mengangguk mengerti. Khiya bersyukur Fauzan tidak membuka kedokoknya. Saat Fauzan keluar ruangan Galih, Khiya permisi untuk keluar menyusul Fauzan. “Dokter Fauzan, terima kasih,” kata Khiya bersungguh-sungguh. Fauzan tersenyum lembut. “Sama-sama Khiya. Saya baru tahu kalo Farel itu suami kamu.” “Memangnya dokter sudah kenal Farel? “ “Tidak terlalu. Saya hanya pernah ketemu tadi di ruangan dokter Darma dan beberapa kali saya melihat Farel ke sini.” “Farel sering ke sini, Dok? “ “Hem, sepertinya setiap tiga bulan sekali. Maaf saya tidak terlalu ingat tepatnya. Memangnya kamu tidak tahu?” Khiya tertegun. Ia menggeleng pelan. “Farel sakit? “gumamnya. “Mungkin dia kosultasi sama dokter Darma soal gizi. Dia kelihatan workholic.” “Hem....” Khiya sedikit merasa tenang. “Kamu jangan khawatir Khiya, Farel tidak memberi tahu ini mungkin karena gak mau kamu cemas.” Khiya mengangguk mengerti, praduga dokter Fauzan cukup logis untuk diterima, secara Farel benar-benar menganggap Khiya seperti kulit telut, lemah. “Sekali lagi terima kasih buat yang tadi ya, Dok...” Fauzan mengangguk. “Tidak masalah jika kamu ingin di panggil sebagai Sania saat bersama Farel.” “Sebenarnya, seperti ini dok, kalo saya berpenampilan seperti ini, tolong panggil saya Sania di depan Farel. Dan saat penampilan saya seperti waktu itu saya check up, tolong panggil saya Khiya, Dok.” Fauzan nampak mencernah perkataan Khiya. “Apa itu ada perbedaannya? “Farel gak mungkin gak kenal kamu hanya karena penampilan yang sedikit berubah, kan? “ Fauzan tertawa pelan, bukan untuk menertawakan Khiya tapi menertawakan pertanyaan sendiri. “Tapi itulah kenyataannya, Dok.” Khiya tersenyum miris. Suami sendiri yang hidup bersama, bagaimana bisa tidak mengenali istrinya sendiri? Ini memang nampak seperti kisah bahagia, tapi nyatanya ini amat menyakitkan. Fauzan langsung menarik rasanya, nampak menyesal telah melakukan itu. “Maafkan saya, Khy. Saya tidak bermaksud membuat kamu sedih.” “Tidak masalah, Dok. Saya sudah terbiasa, Aliya bahkan sudah membuat lima hipotesis mengenai ini.” “Lima? “ “Ya... Dia memang rajin untuk menyahut pautkan segalanya seperti kisah novel.” Fauzan dan Khiya tertawa. Apa ini termasuk kategori gibah? Khiya harus meminta maaf pada Aliya. “Sania....” “Eh, pak Dosen, Galih tidur ya? “ Farel menghampiri Khiya dan Fauzan. “Sebenarnya saya ada urusan dengan dokter Darma, jadi apa bisa kami jagin Galih, sekarang? “ “Iya bisa kok, Pak.” “Farel, saya baru ingat kalo tadi ada pasien yang mencarinya dan besok minta untuk diatur jadwal. Dia juga menitipkan berkasnya di meja saya, tolong bilang dokter Darma untuk mengambilnya.” Farel tersenyum, “Atas nama dokter siapa? “ “Maksud kamu? “ “Nama dokter siapa, ya? Saya tidak tahu.“ “Nama saya Fauzan. Kita sudah bertemu dua kali hari ini.” “Pak Farel lupa sama dokter Fauzan? Padahal kita baru ketemu dokter Fauzan dua menit yang lalu,” sahut Khiya. Ada apa dengan Farel ? Farel nampak gugup dengan pernyataan Khiya barusan. Entah kenapa Khiya merasa Farel kurang nyaman dengan obrolan ini. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD