Keanehan Farel

1241 Words
Aliya memburu langkahnya, lagi-lagi dosen pembimbingnya berbuat ulah. Dosen pembimbing itu dengan enaknya mengatakan, “Temu saya di cafe jam satu tepat. Jangan telat! ” Dan pesan itu dikirim jam setengah satu. Yap! Tiga puluh menit lagi, sedangkan Aliya belum apa-apa, bahkan belum mandi, karena hari ini hari minggu. Hari di mana seharusnya dia santai menikmati secangkir cokelat hangat ditemani film-film keren yang sudah lama ingin Aliya tonton di bioskop, tapi karena kendala waktu yang selalu menganggungnya, Aliya memilih untuk membeli dvd legal, dan lagi-lagi hal itu harus gagal! “Ya ampun…bapaknya di mana sih? ” Aliya celingak-celinguk melihat ke setiap kursi, mencari keberadaan dosen pembimbingnya itu. Cafe itu terbilang ramai dan Aliya melakukan itu seperti anak bocah kehilangan orang tuanya. Aliya malu. Tapi dia tidak punya pilihan. Aliya melirik jam tangan yang terlilit di pergelangan tangannya. “Udah pukul satu lebih dua menit.” Aliya buru-buru mengambil ponselnya dari dalam tote bag putih miliknya. Dan ada pesan masuk di ponselnya. Nomor dosen pembimbing. ‘Kamu telat, dua menit. Saya sudah pulang.’ Satu menit Aliya melonggong menatapi ponselnya, masih tidak percaya dengan apa yang matanya baca, dengan mudahnya dosen itu mengatakan hal itu? Padahal sejak awal dialah yang menzolimi Aliya. “Aarg! Nyebelin banget…”Aliya nyaris hendak membanting ponselnya. Sekarang Aliya persis orang gila yang tiba-tiba marah. Aliya menjatuhkan dirinya di kursi cafe, memijat kepalanya yang rasanya mendidih. “Misi mbak, mau pesan apa?” tanya pelayan, menghampiri Aliya. “Di sini ada menu baru mbak, cake cokelat dan keju yang dibuat dari telur ayam kampung yang pastinya bakal enak dan juga sehat.” Aliya menghela nafas panjang. “Bagus kalo gitu...” “Jadi mbaknya mau pesan berapa? “ Pelayan itu hendak mencatat. “Saya mau pesan stok sabar lima loyang ya Mbak...” kata Aliya sembari memasang senyum kaku, kayak kanibo. “Gak pa-pa kalo gak pak telur ayam kampung.” Aliya mendesah panjang, lelah. Pelayan itu kurang beruntung, jika saja Aliya tidak sedang dongkol dengan senang hati dia memesan menu varian baru itu. “Eh... “pelayan itu setengah konek. “Kue sabar? “gumamnya pelan. Aliya menenggelamkan kepalanya di kedua tumpukan tangannya. “Saya pesan kopi Amerikano satu,” kata Aliya, sebelum kepalanya benar-benar tenggelam. “Baik, mbak.. pesanan akan di antar dua sampai lima menit lagi, ya, mbak...” Aliya hanya mengangguk pelan. Ia meraih ponselnya. Menekan panggilan telepon, siapa lagi yang bisa Aliya jadikan tempat berkeluh kesah selain sahabat terbaiknya, Khiya. Hanya Khiya yang mengerti bagaimana perasaan Aliya. Kedongkolannya harus segera dikeluarkan. “Assalamualaikum, Khy....,” kata Aliya cepat. “Lo tahu gak Khy, dosen pembimbing gue buat ulah lagi? Beliau dengan santai kirim pesan nyuruh gue datang ke cafe tiga puluh menit sebelum deadline waktunya, terus lo tahu apa yang terjadi? Gue terdampar di cafe ini sendirian kayak orang oon nungguin beliau yang ngambek karena gue telat dua menit. Waktu weekend gue kacau dan gue gak dapat apa-apa....” Nafas Aliya naik-turun, karena sejak tadi dia tidak mengambil jeda sedikit pun. “Gue cape banget, Khy..... “ “Yang sabar ya, Aliya...” Aliya terdiam, mendengar suara yang tidak familiar di telinganya. Itu jelas bukan suara Khiya. Itu suara bariton seorang pria. Aliya melirik layar ponselnya. Dan seketika Aliya membeku. Hari weekend-nya bukan hanya berantakan tapi juga sangat s**l. Aliya menelepon nomor Fauzan. Yap. Fauzan.... “Halo, Aliya... Kamu masih di sana kan?” tanya Fauzan di sebrang sana. Aliya sangat malu! Jika ini bukan tempat ramai, mungkin Aliya sudah merengek sangking malunya. Bisa-bisanya di kondisi seperti ini dia salah menelepon orang. “Aliya....apa perlu saya temanin kamu di sana?” tanya Fauzan lagi. “TIDAK!” jawab Aliya cepat. “Tidak perlu pak dokter. S-saya... saya minta maaf.” Klik. Aliya langsung mematikan panggilan sepihak, tanpa ba-bi-bu. “Aliya....” Aliya menoyor pelan kepalanya sendiri. “Emang gak bisa gitu baca dulu siapa yang Lo telepon!! Dasar ceroboh banget !!” Aliya benar-benar kehilangan mood-nya. Aliya langsung menghabiskan kopi Amerikalato yang rasanya sangat pahit dalam hitungan menit. Bisa-bisanya karena kesal Aliya memesan kopi yang menurutnya mampu mewakili mood nya tapi sayang tidak bisa diterima indra perasanya. Alhasil, Aliya meringgis seperti baru saja meminum obat. Aliya pun akhirnya harus ke mall yang berada di sebrang cafe itu, untuk sekedar membeli sesuatu yang manis guna meredah rasa pahit di mulutnya dan berjalan-jalan, menghibur dirinya. Aliya berpikir untuk bermain satu atau dua permainan di wahana timezone yang ada di lantai paling atas. “Eh...itu Farel bukan sih...?” Aliya menghentikan langkahnya, menajamkan matanya melihat kearah pria yang nampak duduk menunggu seseorang. “Iya deh, gue ingat mukanya.” Aliya mengangguk pasti. Dan berjalan mendekati Farel. “Permisi....” kata Aliya, menyapa. “Farel bukan?” Farel tersenyum kecil. “Saya Aliya. Sahabatnya Khiya.” “Oh Aliya....”Farel bergumam pelan. “Khiya sering sebut nama kamu. Tapi kita baru bertemu sekarang.” “Iya, baru ketemu. Ke sini bareng Khiya, ya? “ “Iya. Tadi beli belanja bulanan yang udah habis.” Farel menunjukkan kantong kresek yang ada di sebelahnya. “Sekarang Khiya nya mana? “ “Khiya tadi lagi ke toilet.” “Oh gitu...” Aliya manggut-manggut. Aliya langsung pamit pada Farel, dan berniat menyusul Khiya di toilet. . . Khiya baru saja keluar dari toilet dan bertepatan dengan ponselnya yang tiba-tiba bergetar. Panggil dari Aliya. “Assalamualaikum, Yak.” “Waalaikumsalam.” “Ada apa, Yak? Sekarang aku lagi gak di rumah, aku lagi di—“ “Biar gue tebak,” sela Aliya di sebrang sana. “Lo ada di mall kan? “ “Eh? Kok...” “Dan kamu lagi pake gamis cream dan jilbab instan warna putih. Ckckckckck ...kurang gereget tahu, Khy. Warna jadi gak nyambung. Itu menurut gue ya...” Khiya terkekeh. “Kamu tahu dari mana? Kamu ada di sini ya? “Khiya mengedarkan pandangnya. “Coba liat searah jarum jam.” Khiya menurut, dan di sana terlihat Aliya sedang melambaikan tangannya dan berjalan menuju Khiya. “Yang tadi bilang pakaian aku gak nyambung ternyata lebih gak nyambung ya, bun. Apa ini...baju hijau, rok merah dan jilbab hitam...” Khiya terkekeh. “Gue mah beda cerita tahu... Gue tadi mau cepat-cepat, biasalah drama perskripsian. Lo gak liat nih ransel gue besar gini, kayak orang mau mudik.” “Eh, emang mau bahas skripsi di mall? Apa gak terlalu berisik? “ Aliya memutar bola matanya. “Udahlah, Khy, gue lagi males bahas itu. Intinya gue gagal bimbingan hari ini, makanya gue mampir ke sini. Gue need hiburan.” “Oh gitu....jadi sekarang kamu mau ke mana? “ “Mau main di lantai atas sih....Lo mau pulang? “ “Iya. Eh, sebelum itu, biar aku kenalin kamu sama Farel. Selama ini kalian gak pernah ketemukan...ayo buruan, Farel ada di sana.” Khiya dengan semangat menarik pelan tangan Aliya, mengikuti langkahnya. “Hubby...” Farel bangkit. “Udah selesai? “ “Oh iya, hubby, kenalin ini sahabat aku...namanya—“ Aliya tertawa pelan, menyela perkataan Khiya. “Sebenarnya tadi seb—“ “Salam kenal. Saya Farel, suami Khiya.” Farel menangkupkan tangannya di depan d**a sebagai pengganti jabat tangan. Tawa Aliya seketika hilang. “Dia sahabat yang sering aku ceritai itu, By. Dia Aliya.” “Oh, Aliya...” Ekspresi wajah Farel mendadak berubah. “Dan Aliya... ini Farel, suami aku,” kata Khiya, tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Aliya menoleh pada Farel. “Tapi lima menit yang lalu....kita ketemu kan? “ ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD