“Pak Farel belum mau pulang? “tanya Sania, tiba-tiba.
Farel dan Sania sekarang berada di depan masjid. Setelah makan, terdengar suara azan yang membuat keduanya segera melaksanakan kewajibannya, salat.
Farel malah menghela nafas pelan. Terlihat kecemasan pada wajah kharismatiknya.
“Kenapa pak? Mobilnya mogok? “ tanya Sania, mengartikan wajah bingung Farel.
“Tidak. “
“Terus bapak kenapa? Kayak sedih gitu? “
Farel diam sejenak, ia sebenarnya bingung, di satu sisi tidak tega membiarkan Sania—gadis yang sudah menolongnya dan rela berlari meski kakinya sakit. Tapi di sisi lain, tidak mungkin Farel mengantarnya— maksudnya berdua di mobil dengan Sania. Itu salah.
“Oh saya tahu.... bapak gak bisa pulang karena bapak cemas sama saya ya? Hohohoho....don’t worry, pak... Saya kan cewek strong...gak perlu khawatir.”
“Keadaan kamu....Lebih baik saya antar pulang. Kamu bisa buka semua jendela mobil, kalo kamu tidak nyaman.”
“Eh...gak usah pak...” Sania spontan menggeleng. “Saya nolak bukan karena gak nyaman sama bapak, tapi.....kalo bapak sampai datang ke rumah saya, bapak mau langsung akad? “
“Langsung akad? “
“Papa pernah bilang, kalo ada yang berani nganterin anaknya pulang berarti calon mantu papa.”
Farel kaget, entah kenapa dia teringat pada Khiya.
“Jadi gimana pak? Mau nganterin ?”
“Hahahah.... takut ya, Pak? “ Sania terkekeh. “Tenang pak, biar lebih aman, saya bakal naik angkot aja....”
Setelahnya terjadi keheningan. Sania diam, menatap langit yang sudah teduh berhiasan awan putih di dalam kanvas biru langit.
“Subahanallah, rasanya indah banget ya, pak... Suasana sore emang paling the best buat bikin nyaman,“cicit Sania, matanya fokus menatap ke depan, seolah tidak mau melepas sedikit pun, barang sejenak.
Membuat Farel tergoda untuk ikut menikmati rasa nyaman yang sore tawarkan. Dan dia juga merasakan kenyamanan itu dibawa payung langit.
“Selain suasana sore, saya juga suka suasana malam. Dulu bahkan saya pernah bermimpi buat melakukan perjalanan malam, supaya bisa tiap hari menikmati udara malam.”
“Dulu? Lalu sekarang? “
Sania menoleh, sekilas dan tersenyum kecil. “Tidak lagi, pak.”
“Kenapa? “
“Hem.... Kadang semua emang gak harus sesuai keinginan kitakan, pak? Ada banyak hal yang tidak bisa diprediksi dan hadir begitu saja.”
“Ya kamu benar. Ada banyak hal yang tidak bisa di prediksi dan anehnya itu semua menjadi bagian yang akan tetap dalam hidup kita.”
“Kita?” Sania menoleh tiba-tiba lalu tersenyum. “Pak, boleh saya minta tiga pertanyaan? “
“Kamu pikir saya jin... “
“Boleh ya, pak.. Cuman tiga pertanyaan.”
“Hem... Oke. Mau tanya apa? “
“Apa warna yang bapak suka? “
“Warna? “ Farel pikir itu bukan pertanyaan menarik untuk di jawab. Tapi Sania nampak antusias menunggu jawaban Farel. Seolah pertanyaan itu sangat menarik.
“Putih.”
“Kalo bunga? Bapak suka bunga apa? “
“Dadelion.”
“Bapak seperti n****+ yang pernah saya baca. Kenapa bapak suka bunga yang rapuh itu ? Kenapa gak pilih bunga mawar, atau bunga matahari, setidaknya mereka lebih kuat....”
“Karena tidak selamanya yang rapuh itu lemah. Dan tidak selamanya yang terlihat kokoh benar-benar kuat.”
“Bapak benar.. Rapuh bukan berarti lemah.” Sania mengangguk pelan. “Apa yang senang bapak lakukan kalo waktu luang?”
“Berhenti sedih.”
“Sedih? “
Farel hening.
“Pak, apa bapak dadelion atau bunga mawar? “
“Pertanyaan kamu lebih dari tiga.”
.
.
Senang rasanya, Khiya bisa duduk bersama Farel menikmati pemandangan sore hari ini. Rasanya Khiya tidak ingin waktu bergerak. Ia ingin berlama-lama menatap Farel dan melihatnya tersenyum lebih lama.
Farel terlihat lebih nyaman menyampaikan sesuatu pada Sania. Khiya tidak mengerti, kenapa Farel terus membangun tembok diantarnya. Farel tidak membencinya lalu apa alasan rasa jauh ini? Khiya tidak pernah menemukan jawaban untuk pertanyaannya itu. Tapi itu tidak masalah bagi Khiya, karena sekarang dia bisa dekat dengan Farel sebagai Sania. Itu sudah cukup bagi Khiya.
“Pak mau pulang ya? “ Khiya ikut bangkit saat Farel bangkit.
“Kalo saya masih di sini, kamu akan semakin lama pulang. Tidak baik, perempuan pulang terlalu malam.”
Khiya tersenyum.
“Saya pulang, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam hati-hati, pak...” pandangan Khiya tidak lepas dari punggung Farel yang semakin menjauh darinya. Khiya baru berpaling setelah mobil Farel tidak lagi terlihat di pandang matanya.
“Ya Allah, sakit banget...” Khiya memegangi tangannya yang sejak tadi terasa sakit. Tapi dia terus menahannya, tidak ingin Farel tahu.
Khiya mengambil ponselnya mengirim pesan pada Aliya.
Tidak lama, Aliya keluar dari masjid bersembunyi dari Farel. Setelah makan di warteg rasa nyeri di tangan dan kaki Khiya semakin menjadi. Saat selesai salat, Khiya meminta Aliya untuk datang, mengantisipasi jika ternyata sakitnya ini tidak mau di ajak kompromi.
“Lo kenapa sih, Kha! Sakit Lo ini bukan mainan! Lo gak bisa gini! Dari tadi Lo nahan sakit gitu....ckck!”
“Buktinya aku bisa, Yak...”
“Ck! Pokoknya gue gak mau tahu, malam ini Lo harus di rawat semalaman di rumah sakit, titik gak pake koma. No keras kepala, Khy! Dari tadi gue udah nurutin semua omongan Lo, Sekarang giliran Lo juga dengerin gue! Oke! “
Khiya mengangguk pelan. “Iya... Aku pasrah deh...gak bakal membantah lagi! “
“Good girl! “ Aliya tersenyum. “Ayo kita ke rumah sakit. Mobil gue, di parkir di lapangan sana.”
“Bentar, Yak. Aku kirim pesan dulu ke Farel. Aku harus izin ke dia buat nginep.”
“Lo mau bilang ke Farel kalo Lo mau opname di rumah sakit?”
“Gak....aku cuman mau bilang, nginep aja. Dan Farel pasti mikir di rumah kamu, karena cuman kamu sahabat aku.”
“Oh...” Aliya mengangguk pelan.
“Khiya, kalo Lo sakit tiba-tiba jangan diam aja ya. Bilang ke gue,” kata Aliya sebelum menghidupkan mobilnya.
“Iya, Yak,” jawab Khiya pelan.
“Kalo Lo capek, istirahat aja, Khy... entar kalo sudah sampai rumah sakit, gue bangunin kok.” Aliya melirik Khiya yang nampak lelah.
“Gue gak ngantuk tahu, Yak.”
“Tapi mata Lo sayup gitu....”
“Apa mungkin, karena itu ya yak, Farel selalu iba sama aku? “
“Maksud kamu? “
“Iya, mata aku selalu keliatan sayup gini.” Khiya melebarkan matanya, bercermin pada kaca yang tergantung di atas kepalanya.
“Kamu aja jadi iba pas liat mata aku,” kata Khiya pelan.
“Isssh....bukan gitu, Khy. “
“Makanya jangan kayak Farel dong,” protes Khiya, suaranya naik saru oktaf. “Cukup Farel aja, yang cuman jadiin aku objek cemasnya.” Suara Khiya turun nyaris tidak terdengar.
“Yak, kayaknya kamu benar deh, aku harus tidur. Walau gak ngantuk, tapi aku capek banget. Nanti kalo sudah sampai rumah sakit kasih tahu ya....”
“Iya. Lo istirahat aja.”
“Yak, da*da aku sesak banget....”
“Udah istirahat aja...rumah sakit masih jauh dari sini.”
“Yak, maaf ya kalo aku susah di bangunin.”
Setelah sampai di rumah sakit, Khiya tidak kunjung bangun. Aliya mengecek suhu tubuhnya dan ternyata panas tinggi. Aliya panik dan langsung lari ke dalam rumah sakit, meminta pihak rumah sakit membawa Khiya. Khiya pun di masukan ke ruangan UGD dan sejam berikutnya baru lah Khiya di pindahkan di ruangan inap, kondisi Khiya sudah stabil. Tapi Aliya tetap tidak bisa tenang.
“Khiya gak kenapa-napakan? Kenapa tadi dia gak bangun-bangun? Tadi siang dia juga gak minum obat, gak masalah kan? “ Aliya menarik nafas panjang, mengatur dengan cepat nafasnya yang berantakan akibat lari mengejar ranjang jalan Khiya.
“Khiya gak kenapa-napakan? Tadi dia juga ngeluh tangannya nyeri sejak tadi siang? Tapi itu gak bahayakan? Khiya sehatkan? Kenapa pak dokter diam aja? “ desak Aliya, pada Fauzan yang baru saja keluar dari dalam ruangan Khiya.
Fauzan tersenyum.
Senyum yang seketika membuat Aliya merasa sedikit tenang.
“Khiya sekarang dalam keadaan stabil.”
“Tapi kenapa tadi dia bisa pingsan? “
“Kamu sudah makan? “
“Makan? “
“Hem...kamu juga bisa pingsan kalo gak makan.”
“Ha? “
“Kamu sudah makan? Kita bicarakan ini sambil makan aja, gimana? “
.
.
Aliya makan dengan tenang. Dia canggung sekaligus bingung. Keheningan tidak bisa terelakkan. Fauzan juga memilih makan dengan diam. Sampai akhirnya Aliya berusaha mengatakan sesuatu dan layaknya sinetron, keduanya serempak hendak memulai percakapan.
Dan suasana awkward terjadi, lebih tepatnya Aliya. Gadis itu jadi ragu, sedangkan Fauzan ini malah nampak tertawa pelan karena adegan klasik itu.
“Mau aku duluan atau kamu duluan? “tanya Fauzan.
“Pak dokter aja duluan... “ cicit Aliya, gadis itu pura-pura kembali fokus dengan makanannya.
Fauzan kembali terkekeh. “Btw, aku gak gigit kok, kamu gak perlu takut. Dan panggil aja Fauzan jangan pak dokter, kesannya kayak jauh banget.”
“Kamu juga boleh kalo gak nyaman pake ‘aku-kamu', gak masalah pake ‘gue-Lo' “
“Hem...” Aliya bergumam pelan.
“Jadi tadi kamu mau bilang apa? “
“I-itu, soal Khiya... Soal penyakitnya.”
“Oh.... penyakit lupus yang Khiya derita, atau orang sering sebut penyakit seribu wajah. Penyakit ini tergolong penyakit bahaya karena bisa menyerang semua organ vital Khiya, selain itu juga, keberadaan tidak mudah terdekteksi saat sudah kritis baru penyakiti ini akan menampakkan diri dengan banyak wajah, mulai dari pingsan, sakit, nyeri dan banyak lainnya.”
Aliya spontan membuang nafas keras, Aliya terasa sesak mendengar kenyataan pahit sahabatnya itu.
“Dokter, apa harapan hidup Khiya sangat sedikit ?” Mata Aliya berkaca-kaca.
**
“Mama, kenapa papa tidur? Mama kenapa mobil kita berasap? Mama... Kenapa mama tidur di jalan?”
“Mama, badan aku sakit ...”
“Mama... Kenapa mama gak mau bangun...”
“Mama...aku mau ambil boneka aku. Kasihan dia ada di dalam mobil...”
Farel tersadar. Lagi-lagi mimpi itu datang lagi. Farel mengambil boneka beruang berwarna cokelat dari dalam nakasnya. Boneka itu sudah nampak usang, meski Farel menjaganya dengan baik.
Itu bukan boneka miliknya. Itu boneka milik orang lain, Farel menyimpannya untuk suatu saat akan dia kembalikan dan semua luka akan kembali terkuak. Entah apa dan bagaimana reaksinya, Farel tidak bisa membayangkan semua ini.
“Maaf,” gumam Farel pelan.
Apa yang terjadi sebenarnya tidak semudah kata maaf yang Farel ucapkan. Semua teramat berat dan dalam. Kehilangan dan ditinggalkan seseorang merupakan kenyataan pahit yang ada.
Dan Farel penyebab itu semua.
“Nak, jangan lari-lari...”
“Farel bahagia, Ma karena mama kasih Farel brownis kesukaan Farel...”
“Jangan lari-lari, Farel...”
Farel membuang nafas kasar. Semua itu menjadi ingatan terbesar yang terus Farel ingat. Ingatan itu seolah tidak memudar dan membuat ruang yang amat besar di kepalanya.
Farel menatap dirinya di cermin.
“Hukuman ini saja belum sebanding dengan rasa sakit yang ada....” Farel menyentuh matanya. “Aku hanya mengalami ini, tapi kamu harus mengalami semua sendirian. “
“Maafkan aku....”
“Maaf....”
Rasa bersalah itu merambah menjadi tangis. Di balik Farel yang terlihat sempurna, inilah sisi lain dari Farel. Farel serapuh kulit telur. Dia hanya aktor yang hebat, menyembunyikan setiap lukanya menjadi tawa, seolah dia ‘baik-baik saja'. Dan Farel berhasil untuk itu. Ia terlihat seperti lautan yang tenang tanpa orang tahu bahwa ada banyak gelombang di dalamnya.
Ponsel Farel bergetar di atas meja. Alarm ponselnya.
‘Jadwal pemeriksaan'
Noted.
Dan di layarnya Farel melihat, pesan dari Sania dua hari yang lalu, yang memang sengaja tidak buka Farel buka.
‘Pak Farel, pernah jatuh cinta?’
**