BAB 3

1072 Words
Setelah pulang dari membeli buku, sore itu Haru langsung mengurung dirinya di kamar. Ia memutuskan untuk menikmati bacaannya, dan mencoba untuk tenggelam dalam kisah yang diberikan sang penulis kepada para pembaca. Gadis itu mulai berimajinasi, setiap adegan ... setiap kata ... setiap suasana ... semuanya ... berhasil ia rangkai dalam khayalan. Haru tersenyum tanpa sadar saat membayangkan peran utama pria itu adalah sang kakak, ia bahkan tanpa sadar mengubah nama peran utama pria menjadi nama kakaknya. Sial ... ia benar-benar terjebak di dalam imajinasi yang sang penulis rangkai. Ia menikmatinya, dan mengubah dunia itu menjadi miliknya. Tok ... Tok ... Tok ... Haru yang sedang berkonsentrasi membaca novelnya segera teralihkan, ia kemudian menandai buku bacaannya, dan menuju ke arah pintu. Gadis itu dengan cepat membuka pintu, ia langsung saja memeluk orang yang ada di depan pintunya, dan menjinjingkan kakinya. Haru langsung melumat bibirnya, dan ia menghentikannya beberapa detik kemudian. “HUAAAA ... SIAPA KAU?” Haru langsung mundur, ia kaget bukan kakaknya yang mengetuk pintu. Tap ... Tap ... Tap ... Haru langsung mengalihkan tatapannya, ia terdiam saat melihat sang kakak bersama seorang wanita. “Haru, apa yang terjadi?” Sora terlihat khawatir. “Kakak ....” Haru langsung melangkah, mendekati kakaknya, dan langsung memeluknya. “Huaaaa ... aku takut! Ada orang asing mengetuk pintu kamarku. Aku kira itu Kakak, dan ... dan ... aku ...a-” Sora yang melihat tingkah sang adik tersenyum, ia kemudian mengacak gemas rambut sang adik. “Maafkan, Kakak. Sebenarnya, dia adik teman wanita Kakak.” Haru diam, ia kemudian mengalihkan tatapannya pada wanita yang berada di dekatnya dan sang kakak. Cantik ... Hanya itu yang bisa Haru simpulkan dengan cepat. “Haru, kenalkan. Dia Akane, dan adiknya Mugi.” “Ha?” Haru merasa sedikit bingung, ia kira kakaknya akan mengatakan hal lain. Seperti ... ‘Apa yang kau lakukan dengannya?’ atau ‘Kenapa kau bisa menganggap orang asing sebagai Kakak?’ “Salam kenal, Haru.” Haru menatap ke arah wanita yang baru saja menyapanya, ia kemudian menatap kakaknya kembali. “Ada apa?” tanya Sora. Pria itu sedikit bingung karena pertanyaan adiknya. “Apa Kakak menyukai wanita itu?” Haru menatap kakaknya lekat, ia ingin tahu jawabannya. Selama ia tinggal bersama sang kakak, baru sekarang sang kakak repot-repot mengenalkan orang yang datang kepadanya. Sora terdiam, dan Akane juga melakukan hal yang sama. Mereka saling menatap, mencoba berdiskusi tentang jawaban yang harus diberikan kepada Haru. “Ha ... bukankah sudah jelas? Kakakku dan Kakakmu sudah lama menjadi pasangan.” Mugi yang tak tahu jika selama ini Sora dan kakaknya menyembunyikan kenyataan dari Haru menjelaskan semuanya dengan singkat. Akane tahu jika Haru tak pernah mengizinkan siapa pun menyentuh apalagi memiliki Sora, dan ia paham jika Haru tak ingin kehilangan Sora. Oleh sebab itu, ia memutuskan agar Sora merahasiakan hubungan mereka dari Haru. Semula ... pertemuan ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Haru, dan menjadi bagian dari gadis itu. Tapi ... sekarang rasanya Mugi sudah menghancurkan pendekatan yang Akane dan Sora coba lakukan. Haru sedikit kaget dengan kenyataan itu, ia kemudian tertawa dengan paksa, dan malah terdengar sangat aneh. Mugi yang melihat Haru bertingkah aneh segera menghampiri Haru. “Ayo, aku rasa kita tak harus mengganggu mereka.” Haru menatap Mugi, ia melirik kakaknya yang pucat karena dirinya akhirnya tahu sebuah rahasia. ‘Kakak terlihat sangat menyukainya.’ Haru segera tersenyum, ia kemudian menjauh dari sisi kakaknya. Mungkin ... ia harus mencoba menahan diri. Tidak mungkin sang kakak bisa menganggap dirinya lebih dari sekedar seorang adik, kakaknya bukan orang yang akan memberikan dirinya harapan palsu. “Ha-ru ... Kakak bisa menjelaskannya.” “Ya ... Haru, kami akan menjelaskannya.” Haru berhenti melangkah, ia kemudian menatap ke arah kakaknya dan juga Akane. “Ahhh ... kenapa kalian terlalu tegang. Aku akan bicara dengannya,” ujar Haru sambil menunjuk ke arah Mugi. “Haru ....” Sora terlihat khawatir dengan reaksi adiknya. “Kakak ... jika Kakak menyukainya, aku juga akan menyukainya.” Haru kembali melangkah, ia kemudian menghampiri Mugi. Sedangkan Akane dan Sora entah merasa lega, atau khawatir dengan keadaan Haru. Mereka ... sudah ketahuan! “Namamu ... Mugi, bukan?” Haru memasang wajah datar. Mugi menatap Akane dan Sora, kemudian ia menatap Haru. “Hu’um ... salam kenal, Haru.” Haru yang sudah cukup dengan basa-basi segera meraih tangan Mugi, walau pun ia sebenarnya gugup bercampur kecewa, tetapi ... ia tak ingin menghancurkan hubungan kakaknya hanya karena sebuah keegoisan. Sora yang melihat hal tersebut menghela napas. “Maaf, sepertinya Mugi membuat segalanya kacau.” Akane terlihat agak tak enak hati. “Tidak ... ini bukan salahmu, atau salah siapa pun. Mungkin memang Haru harus mengetahuinya. Aku agak sedikit kecewa karena membohonginya selama ini,” balas Sora. Akane hanya bisa diam, ia juga merasa salah jika terus berbohong. Tapi entah kenapa ... sekilas ia melihat sorot kebencian dari mata Haru, dan ia yakin jika gadis itu tak akan menerima semuanya dengan mudah. “Jadi ... apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Sora. Akane yang sempat melamun sadar. “A-ahhh ... sepertinya berbelanja adalah hal yang tepat. Kulkasmu sudah kosong, dan aku khawatir jika Haru kau ajak makan di luar.” “Ya ... aku hanya bisa menurut. Kau sangat benci makanan luar, dan aku paham kau ingin yang terbaik bagiku.” Setelah pembicaraan itu, Sora dan Akane berangkat. Mereka sepertinya sudah jauh lebih baik dari beberapa saat lalu, mereka mencoba untuk yakin jika semuanya akan baik-baik saja. Sementara itu ... di bagian rooftop ... Haru dan Mugi sedang duduk. Haru yang menjadi pendiam, dan Mugi yang tak begitu peduli dengan keadaan Haru. Mereka menatap langit, dan menikmati angin. Bersandar pada pagar besi, lalu sesekali menghela napas. Keduanya terlihat lelah, mungkin juga mereka sedang memendam masalah masing-masing. Entahlah ... hanya mereka dan Tuhan yang tahu, orang biasa tak akan pernah bisa menebak atau mencampurinya. “Kau tak pandai berbohong,” ujar Mugi secara tiba-tiba. Haru yang mendengar hal tersebut menatap. “Apa maksudmu?” “Saat kau langsung memeluk dan menciumku, bukankah karena kau mengira aku adalah kakakmu?” Haru yang ingat akan kejadian itu terlihat malu, ia menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan. Sial ... belum lama ia bertemu dengan Mugi, dan perasaannya kepada sang kakak sudah bisa ditebak. “Kau tak perlu merasa malu.” “Bagaimana aku bisa menahannya. Kau ... baru saja membuatku ingat dengan kebodohanku!” “Kau ... kenapa berhenti bersekolah?” tanya Mugi. Bugh ... Mugi memegang bagian pipi kirinya, ia kemudian menatap Haru yang masih mempertahankan kepalan tangannya. “Kenapa kau memukul wajahku?” “Kau menyebalkan! Kau dua kali membuatku malu! Kau membaca hatiku dengan mudah! Ka-” “Aku tidak membaca hatimu, aku tahu karena kita sama.” “Ha?” Haru bingung. “Aku ... menyukai saudaraku sendiri. Aku ... sama sepertimu.” Haru yang mendengar hal itu merasa langit sudah runtuh, ia kemudian tertawa keras. “Hahahahaha ....” “Kenapa kau tertawa?” “Karena aku memang ingin melakukannya.” “Hei ... Haru,” tegur Mugi. “Apa?” tanya Haru. “Bisakah kita saling mengisi?” “Maksudmu?” “Aku mengobatimu, dan kau mengobatiku. Bukankah rasanya kita sudah gila? Mencintai saudara sendiri, dan itu bukan cuma sekedar perasaan cinta antar keluarga.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD