Setelah beberapa hari Haru mengetahui hubungan Sora dan Akane, ia pun memutuskan untuk lebih sering menjauhi Sora, atau juga kadang tidak bicara kepada kakaknya itu.
Haru merasa kecewa atas segala yang terjadi, ia tak bisa menerima semuanya dengan mudah. Ia merasa dikhianati oleh seorang pria, dan ... ahhh ... itu pastilah sangat buruk.
Haru sadar itu kesalahannya, tetapi ia juga tak ingin mengakui hal tersebut. Hari juga sudah mencoba untuk menghindari perasaan dan juga kenyataannya, tetapi Sora terus dan terus menghampirinya.
Haru sudah mencoba jujur kepada Sora, tetapi pria itu sama sekali tak percaya padanya. Pria itu hanya menganggap dirinya mencintai bukan sebagai cinta seorang pria ke wanita, pria itu hanya menganggap ia mencintai sebagai seorang saudara.
Tok ....
Tok ....
Tok ....
Haru yang mendengar suara ketukan pintu hanya bisa diam, matanya sudah terpejam, bersiap menahan rasa sakit karena harus mendengar suara kakaknya.
“Haru ... keluarlah, apa kau tak ingin makan bersama Kakak?”
Haru meremas seprai yang menjadi alas pembaringannya, ia menahan rasa sakitnya dengan baik, dan berusaha untuk tidak menangis.
“Haru ... apa kau masih marah?”
‘Bodoh!’ Haru menjerit di dalam benaknya, memaki sang kakak yang bahkan tidak peka terhadap perasaannya.
“Keluarlah, ayo kita bicara dan makan bersama. Kakak hanya ingin kau selalu dalam keadaan yang baik. Haru ... Kakak menyayangimu.”
Haru yang masih berada dalam keadaan sadar hanya mendengarkan saja, ia sama sekali tidak tertarik untuk menjawab ucapan pria yang ada di balik pintu.
“Baiklah, Kakak harus segera pergi. Keluarlah, mandi dan juga makan. Sampai jumpa, Haru.”
Haru yang mendengar sang kakak akan segera pergi merasa sangat lega, ia kemudian menghela napas, dan mendekat ke arah pintu.
Haru menempelkan telinga kirinya pada daun pintu, mencoba mencuri dengar apa masih ada orang di depan kamarnya atau pun tidak.
Ada suara langkah kaki yang menjauh, dan Haru senang karena kakaknya sudah tak berada di dekat kamarnya. Haru kemudian bersandar pada daun pintu, tubuhnya merosot, dan ia terduduk dengan lemah.
Melelahkan?
Tentu saja!
Apa yang sudah terjadi dalam beberapa hari terakhir sangat melelahkan, di mana harus menahan rasa sakit, menyembunyikan rasa cinta, dan harus berusaha untuk menerima semua kenyataan yang ada.
Drrrttt ...
Drrrttt ...
Drrrttt ...
Haru langsung menatap ke arah meja rias, di sana ponselnya sedang bergetar. Gadis itu kemudian berdiri, dan ia pun segera menatap siapa orang yang menghubunginya.
Sejenak ... Haru memandangi nama yang tertera pada ponselnya. Ia merasa ragu untuk menjawab panggilan itu, dan merasa lebih baik jika hanya mengabaikannya.
Yang menghubunginya adalah sang ayah, dan ia sangat yakin apa yang akan pria itu bahas adalah masalahnya. Sangat tak mungkin jika kakaknya sama sekali tak memberikan kabar tenang dirinya kepada kedua orang tua mereka, dan hasil dari berita yang kakaknya berikan ... sekarang sang ayah sedang meneleponnya, sangat pasti akan membahas hal yang sangat beragam serta panjang.
Haru kembali meletakkan ponselnya, ia kemudian kembali dan memilih berbaring di depan televisi. Dirinya sangat lelah, dan akan lebih baik jika tidur untuk melupakan semua masalah.
...
Seorang pemuda sedang menatap gadis manis yang tengah terlelap, wajah gadis itu terlihat begitu cantik. Sudah sekitar lima belas menit ia ada di kamar itu, dan ini semua juga karena gadis itu memberi kepercayaan padanya untuk memiliki kunci kamar tidur milik sang gadis.
Gadis itu adalah Haru, dan pemuda itu adalah Mugi. Beberapa hari yang lalu mereka melakukan pertukaran barang berharga, dan Mugi mendapatkan kunci kamar Haru dari sang pemilik kamar itu sendiri.
“Haru, apa kau akan terus tidur? Bangunlah ... bukankah kau kesepian? Aku ingin bicara.”
Haru belum membuka mata, dan Mugi hanya bisa pasrah dengan keadaan. Ia juga berharap Sora tidak pulang dengan cepat dari jadwal kuliahnya.
“Haru ... Haru ... H A R U!” Mugi dengan sengaja memanggil nama gadis itu begitu sering, ia merasa bosan karena harus menunggu Haru terbangun sendiri.
Haru yang mendengar sekilas namanya dipanggil segera membuka mata, ia melihat Mugi, dan tetap diam. Haru tidak berniat bicara, ia juga sedang mengumpulkan kesadarannya secara penuh.
“Haru, apa kau ingin mengabaikanku?” tanya Mugi.
Haru menggeleng, ia kemudian mencoba untuk duduk. “Kapan kau tiba? Apa kau bertemu Kakakku tadi?”
“Aku tidak bertemu dengannya, dan aku juga tahu jika Kakak tercintamu itu sedang berada di luar.”
“Hum ... baiklah, aku mengerti. Sekarang ... kenapa kau ada di sini?”
Pletak ...
Mugi menatap Haru dengan tatapan datar.
“Kenapa kau menjitak kepalaku?”
“Apa kau lupa pada ucapanmu beberapa hari lalu?”
Haru mengedipkan matanya beberapa kali, ia masih tidak mengerti dengan apa yang Mugi bicarakan. Sedangkan Mugi ... pemuda itu memilih duduk.
“Kenapa kau kemari?”
“Karena kau yang memintaku untuk datang. Apa kau lupa seseorang yang mengatakan; ‘Jika Kakak tidak berada di rumah, kau bisa datang ke rumah dan langsung masuk ke kamarku. Tapi, jika Kakak ada di rumah, kau tidak boleh langsung masuk ke kamarku. Aku hanya memerlukan seseorang yang bisa ku ajak bicara’, apa kau benar-benar lupa dengan itu?” Mugi mengucapkan semuanya dalam satu kali tarikan napas, ia kemudian menghela napas beberapa kali.
“Haru ... apa kau lupa jika kita sekarang sepasang kekasih? Kau tidak lupa dengan perjanjian kita, bukan?”
Haru tetap menatap, ia mencoba untuk berpikir lebih banyak lagi tentang apa yang Mugi ucapkan.
“Haru!”
“Ada apa lagi? Kau cerewet sekali hari ini.”
Mugi yang tak tahan dengan tingkah Haru segera mendekati Haru, ia tersenyum kala melihat Haru tetap tenang meski wajah mereka begitu dekat. Tak ingin banyak bertingkah, ia mencium bibir Haru.
“Eummm ....” Haru yang menerima ciuman itu memilih diam, perlahan ia membalasnya, dan memeluk Mugi. Dalam khayalannya, Haru membayangkan Mugi adalah Sora, ia ingin melakukan semua yang kini dirinya dan Mugi lakukan bersama Sora.
Setelah beberapa saat, keduanya menghentikan acara ciuman itu. Mereka saling menatap, lalu sama-sama tersenyum.
“Bagaimana? Apa kau berhasil membayangkannya?”
“Ya, aku bisa membayangkannya dengan baik.” Haru menghela napas, ia mengalihkan tatapannya ke arah lain. “Bagaimana denganmu?”
“Ya, aku melakukannya dengan baik.” Mugi tersenyum, ia kemudian mengacak gemas rambut Haru. Pemuda itu menghentikan ulahnya, dan menciumi pipi haru.
Keduanya kemudian diam, mereka baru saja memulai beberapa hal yang mungkin bisa membuat mereka bertahan. Mereka sama-sama membayangkan orang yang mereka cintai, dan mereka juga berusaha menikmatinya.
“Haru ... aku ingin bicara beberapa hal denganmu,” ujar Mugi.
“Apa kau tak mengizinkanku mandi terlebih dahulu?”
Mugi bersedekap. “Baiklah ... baiklah ... mandi dan aku akan menunggumu.”
Haru segera beranjak dari tempatnya duduk, ia kemudian mengambil handuk dan keluar dari kamarnya. Sedangkan Mugi memilih untuk berbaring, lalu memeluk guling milik Haru.
Pemuda itu menghirup wangi tubuh Haru yang tersisa pada bantal itu, ia kemudian tersenyum karena sangat senang. Entahlah ... baginya Haru adalah Akane, dan bagi Haru dia adalah Sora. Hubungan mereka memang mementingkan timbal balik, dan hubungan saling mengisi yang menguntungkan satu dengan yang lain.
Tetapi ... seberapa lama mereka mampu bertahan dengan hubungan yang seperti itu? Entahlah ... hanya mereka yang tahu, dan hanya mereka yang bisa mengakhirinya.