Haru baru saja menyelesaikan acara mandinya, gadis itu masuk ke dalam kamar, dan melihat Mugi yang sedang tidur dengan nyenyak.
Memang ... ia belum terbiasa dengan kehadiran Mugi. Tetapi jujur saja dengan adanya pemuda itu, dirinya merasa cukup terhibur dan bisa menjalani hidup dengan baik.
Perlahan Haru menghampiri Mugi, ia menatap wajah tenang Mugi yang terlihat tampan. Tangan gadis itu kemudian terulur, lalu ia membelai pipi Mugi.
“Enggg ....” Mugi yang merasa tidurnya terganggu membuka mata, ia menatap Haru yang sedang menatapnya juga.
“Haru, aku kira kau akan mandi lebih lama lagi.”
“Apa kau bodoh? Aku tak ingin mati kedinginan di kamar mandi,” balas Haru dengan wajah kesal.
Mugi segera menarik Haru ke dalam pelukannya, mereka sama-sama berbaring.
“Ada apa?” tanya Haru.
“Aku sedang memikirkan mereka berdua. Apa yang mereka lakukan saat ini? Kenapa mereka sama sekali tak menyadari perasaan kita?”
Haru menghela napas.
“Haru, berapa kali kau mengungkapkan perasaanmu padanya?”
“Baru sekali, tetapi tanggapannya begitu menyakitkan.” Haru melepaskan diri dari pelukan Mugi. “Bagaimana denganmu? Apa kau pernah mencoba untuk jujur?”
Mugi menggeleng. “Aku tak bisa mengatakan apa pun. Kakak selalu memandangku sebagai anak kecil, dan setiap kali aku bicara, maka itu hanya akan dianggap ucapan dari bocah tak tahu apa-apa.”
Mendengar penuturan Mugi, membuat Haru teringat akan dirinya sendiri. Ia juga dianggap sebagai gadis kecil oleh kakaknya, pria itu tak akan pernah menganggap omongannya sesuatu yang penting.
Perasaan yang ia berikan kepada Sora hanya dianggap rasa suka atau juga cinta yang biasa antara adik dan kakak, pria itu ... ahhh ... maksudnya sang kakak tak akan melihat ia sebagai seorang wanita.
“Haru, apa kau tak punya rencana untuk menyerah?”
Haru kembali fokus kepada Mugi, ia kemudian menggeleng.
“Meski kau tahu itu akan sangat menyakitkan?”
“Apa artinya hidup bahagia jika masih ada satu usaha yang belum dicoba?”
Mugi yang mendengar penuturan Haru hanya diam. Ia tak menyangka jika Haru masih punya nyali untuk mengungkapkan rasa, dan dirinya benar-benar kalah dalam hal itu saat ini.
Pemuda malang yang hanya bisa memendam, dan tak bisa jujur kepada orang yang disukainya. Hidup yang miris ... benar-benar sampah!
“Mugi,” ujar Haru pelan.
Mugi yang sedang berpikir cukup kaget saat mengalihkan tatapannya, ia melihat Haru sangat dekat dengannya.
“Bukankah kau merindukan wanita yang kau cintai?”
“Ha-ru ... apa yang kau bicarakan?”
“Kau bisa menganggap aku adalah dia, bukan?” Haru semakin mendekat, dan ia berhasil membuat Mugi terpojok.
Mugi yang tak bisa melawan memilih memejamkan mata, ia kemudian membayangkan jika Haru adalah Akane. Pria itu merasakan benda kenyal menyentuh bibirnya, ia kemudian melumat pelan dan sangat lembut.
Haru melakukan hal yang sama, gadis itu terpejam. Bayangan wajah Sora memenuhi benaknya, membuat Haru merasa bahagia karena bisa melakukannya dengan sang kakak.
Yah ... walau pun Mugi yang menjadi sosok kakak dalam imajinasinya, tegap ia tidak mempermasalahkan hal itu.
Jika ia tak bisa memiliki Sora secara nyata, maka ia bisa memiliki pria itu secara penuh dalam khayalannya. Jika ia memerlukan sentuhan yang benar-benar nyata, maka Mugi akan menjadi Sora untuknya, dan dia menjadi Akane untuk Mugi.
Keduanya terus dan terus berlayar dalam khayalannya, mereka bahkan tak sadar jika ada suara langkah kaki yang mendekati kamar Haru.
Ceklek ...
Pintu kamar terbuka perlahan, dan saat itu pula pria dan wanita yang sedang ada di sana harus terdiam.
Anehnya, Haru dan Mugi sama sekali tak sadar. Mungkin karena mereka begitu menikmati, dan tidak peduli pada beberapa hal yang bisa saja terjadi.
Mereka tenggelam dalam khayalan masing-masing, mereka saling mengisi dengan kebahagiaan yang walau semu tetapi begitu memuaskan.
“Ehem ....”
Mugi segera melepaskan ciumannya dan Haru. Pemuda itu kemudian menyentuh bibirnya Haru dengan ibu jari kanannya, lalu menatap ke arah pintu.
“Jadi, kalian berdua menjalin hubungan?”
Haru kaget saat mendengar suara itu, ia segera menjauhi Mugi, dan menatap sang kakak yang sedang berdiri di depan pintu bersama Akane.
Pria itu bukan terlihat marah, malah sekarang sedang tersenyum. Dan karena hal itu juga, Haru sangat yakin jika kakaknya merasa lega karena dirinya tidak akan lagi mengganggu hubungan sang kakak dengan wanita bernama Akane.
“Baguslah, kalian bisa saling mengisi dan menjalani kisah yang indah. Apa kalian tidak berencana kembali ke sekolah?” Akane yang sejak tadi berusaha menatap hatinya juga ikut bicara, ia senang karena Mugi bisa memiliki hubungan yang baik dengan Haru.
Mugi dan Haru yang mendengar kata sekolah sama-sama menggeleng, mereka tidak berniat untuk kembali ke tempat itu. Tujuan mereka bukan sekolah saat ini, tujuan mereka adalah merebut orang yang masing-masingnya mereka cintai.
Mungkin tidak dengan cara terang-terangan, tetapi mereka bisa melakukannya secara perlahan. Membuat orang yang mereka cintai sadar akan keseriusan mereka, lalu membuat orang itu juga menerima dan ingin menjadikan mereka sebagai pelabuhan terakhir.
Haru yang tak ingin kedua orang yang baru saja tiba terus mengatakan hal-hal bodoh segera menghampiri sang kakak, ia kemudian menarik tangan pria itu.
“Haru, apa yang kau lakukan? Apa kau ingin meninggalkan Mugi sendiri?”
Haru menatap kakaknya tajam. “Mugi juga punya beberapa hal yang harus dibicarakan dengan Nona Akane, jadi ... Kakak juga harus mengerti dan bicara denganku.”
Sora menghela napas, ia kemudian tersenyum saat Akane mengangguk padanya. Kaki pria itu kemudian melangkah, mengikuti Haru yang masih setia menarik tangannya.
Sedangkan Mugi yang melihat hal itu merasa sangat terbantu, ia sadar jika Haru juga secara tak langsung memberikan dirinya waktu bersama kakaknya.
Sepeninggal Sora dan Haru, Mugi memilih berdiri. Pemuda itu menghampiri Akane, lalu tersenyum kecil kepada wanita itu.
“Mugi, ada apa? Kenapa Haru bersikap aneh?”
Mugi yang mendengar pertanyaan itu hanya diam, pemuda itu terus dan terus mendekat ke arah Akane, dan setelah cukup dekat ia berhenti.
Mata Mugi menatap Akane dengan saksama, ia menikmati setiap inci raut cantik dan anggun yang dimiliki wanita itu. Begitu lembut, begitu menenangkan, dan ia sangat menyukai Akane.
Mugi memeluk Akane, ia menghirup aroma manis yang menguar dari tubuh wanita tercintanya. Seakan pikiran Mugi telah hilang, yang ia tahu ... Akane hanya akan menjadi miliknya, dan itu tidak akan pernah berubah sedikit pun.
“Mugi, ada apa ini?” Akane sangat bingung dengan tindakan yang Mugi lakukan padamu.
“Diamlah, Akane. Aku hanya ingin begini dalam beberapa saat,” ujar Mugi.
Akane yang mendengar sang adik memanggil namanya dengan begitu lancar merasa bingung, ia tak tahu harus merespons seperti apa.
“Akane ... apa kau tak merasakannya?”
Lagi dan lagi Akane terkejut, ia merasa orang yang sedang memeluknya bukanlah Mugi.
“Akane, aku mencintaimu.”
Akane langsung mendorong Mugi, ia kemudian menatap adiknya. “Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menggunakan wajah adikku?”
Mugi yang mendapat pertanyaan seperti itu tak bisa bereaksi, ia menghela napas, lalu menatap ke arah lain. Apa yang ia pikirkan memang benar, Akane tak akan pernah mengerti, dan wanita itu tak akan pernah ingin membuka hati untuknya.
Mugi segera duduk, ia kemudian berbaring pada sofa. Pemuda itu tidak memedulikan Akane yang masih menunggu jawaban darinya, ia tidak menjawab karena yakin Akane tidak akan pernah percaya padanya.
“Kau bukan Mugi yang kukenal, kau benar-benar aneh! Kembalikan Mugi, jangan buat adikku seperti ini.”
“Kakak, aku memang sengaja memanggilmu menggunakan namamu. Aku juga sangat serius dengan ucapanku. Aku ... aku sangat mencintaimu!”
Akane tertawa, ia merasa agak geli. “Sudahlah, Kakak tak ingin bercanda lagi. Mugi, ceritakan saja hubunganmu dan juga Haru.”
Mugi menatap lekat. ‘Dia memang tak akan pernah percaya. Sekuat dan sebesar apa pun cinta dan pengorbananku, baginya ... itu bukan hal yang penting.’