PoV Suli. Lahirnya Dina

1163 Words
Sejak kepergian Mbak Wida, baru hari ini aku merasa benar-benar bahagia. Berjalan setengah berlari, seolah langkahku ringan bagai di atas awan disinari cahaya matahari yang menghangatkan. "Mama ... Mah, aku lulus." Setengah berteriak saat kudapati Mama duduk bersila di depan pintu kontrakan sambil memotong-motong wortel untuk sayur sup kesukaanku. "Oh, bagus deh." Jawab Mama tanpa menghentikan kegiatannya. Aku duduk di sebelahnya berniat menunjukkan surat keterangan hasil ulangan yang semuanya bernilai di atas rata-rata. "Lihat sini deh, Mah. Nilaiku semuanya bagus-bagus." Pintaku sambil menunjukan kertas yang kupegang. "Alah, Mama nggak ngerti! udah sana ganti baju terus bantuin Mama masak." Aku menghela nafas, pendidikanku bukanlah hal yang berarti buat Mama. "Mah, aku mau lanjutin sekolah lagi ya?" Dengan ragu kuucapkan keinginan terpendamku walaupun aku tahu pasti sangat sulit mendapatkan izin Mama. "Apa? sekolah, kamu pikir sekolah kagak bayar Dina?" Benar saja dugaanku, Mama melotot dan mengomel dengan kecepatan tinggi. "Kamu tau 'kan sejak si Wida kabur ama pacarnya yang miskin itu. hidup kita jadi susah, penghasilan Mama cuma cukup buat makan sama bayar kontrakan doang. Eh ini malah banyak gaya mau sekolah segala!" Imbuh Mama, tidak ia perdulikan tetangga yang ikut mendengarkan omelannya. "Tapi, Mah. Kata Bu Indah, nilaiku bagus aku bisa masuk sekolah negri. nggak bayar, Mah." Aku berusaha meyakinkan Mama. "Lagian ya Din, buat apa kamu sekolah. nanti juga kamu bakalan kerja kaya Mama. nggak perlu sekolah udah bisa cari duit!" Ujar Mama kesal, kini tangannya berganti menyambar cabai yang akan ia bersihkan. Aku tertegun mendengar kata Mama, dengan cepat menggeleng. "Nggak, Mah. Dina nggak mau kerja kayak Mama. kata Bu Guru itu pekerjaan nggak baik." Ucapanku sedikit tertahan tetapi masih bisa Mama dengar dengan baik. "Ini nih, yang Mama nggak suka kalo kamu sekolah. jadi pinter ngelawan ama orang tua kamu, ya!" Mama naik pitam membuat nyaliku seketika raib dan airmata mengalir tidak tertahan. "Kalo Guru kamu bilang kerjaan Mama nggak baik! sana kamu minta makan sama dia aja!" bentak Mama. "Maafin Dina, Mah." Ucapku di sela isakan. Tidak ada jawaban yang kudengar, Mama memalingkan pandangan dariku menyalakan sebatang rokok yang terselip di kedua jari mengesap lalu membuang asapnya dengan kasar seketika asap itu membumbung tinggi ke udara lalu hilang tak berjejak sesuai dengan harapan dan cita-citaku. . Kuhisap dalam-dalam benda putih kecil dengan bara api di ujungnya yang terselip dibibirku yang mulai menghitam tanpa polesan lipstik di siang hari. Seketika asap yang orang bilang racun memenuhi rongga paru-paru, tetapi bisa memberi sedikit ketenangan untuk jiwaku yang akhir-akhir ini terasa gersang. Kupejamkan mata, seketika ingatan melesat kembali pada masa silam, masa di mana diriku masih seorang dara belia di sebuah desa di jawa barat. Namaku Sulinah, anak keempat dari delapan bersaudara. bisa dibilang sedari lahir hidupku sudah menderita, lahir dalam keluarga miskin. Sejak kecil aku terbiasa banting tulang membantu Ibuku mencari rejeki, mulai dari menjadi  buruh di ladang atau sawah tetangga hingga menjadi pembantu rumah tangga yang hanya diberi upah beberapa takar beras untuk adik-adikku makan. Aku tidak pernah merasakan menjadi seorang murid di sekolah, kemampuan baca dan tulis aku peroleh dari anak majikan yang kebetulan seusia denganku dan berbaik hati mengajakku belajar bersama saat aku sudah menyeselaikan pekerjaan rumah. Di usia lima belas tahun, aku dinikahkan dengan tetanggaku yang seorang duda beranak dua, anak sulungnya bahkan tiga tahun lebih tua dariku. Penolakanku tidak ada artinya bagi orang tuaku, yang penting beban ekonomi mereka bisa berkurang. Syukur-syukur, suamiku bisa mengangkat derajat keluarga karena dia adalah orang yang lumayan kaya, mandor proyek pekerjaannya. Namun, untung tidak dapat diraih malang tidak dapat ditolak. Pernikahanku hanya bertahan satu tahun, aku tidak tahan dengan perlakuan suamiku yang kerap kali berlaku kasar. Puncaknya adalah ketika dia menikah lagi dan aku menolak dimadu, aku juga tidak tahan dengan sikap kedua anak tiri yang tidak pernah bisa menerimaku.  Aku kembali kerumah orang tua beberapa minggu setelah melahirkan Wida, saat itu Ibu telah menjadi janda kerena Bapak meninggal beberapa bulan sebelumnya. Jelas perekonomian kami semakin sulit walaupun mantan suamiku masih sering memberi anaknya uang setelah kami bercerai tapi uang itu tidak cukup untuk menghidupi kami.  Akhirnya aku putuskan merantau, mengadu nasib di kota besar saat usia Wida sudah satu tahun. Menitipkannya pada Ibuku, dengan janji akan mengirim uang setiap bulannya. Tetapi lagi-lagi keberuntungan tidak berpihak padaku, penyalur jasa pembantu rumah tangga yang membawaku ternyata palsu, mereka bukan menyalurkan aku sebagai pembantu rumah tangga tapi sebagai pekerja seks komersial. Kekerasan fisik kerap kali kami terima jika tidak menuruti melayani tamu apalagi kalau kami berusaha kabur, hidupku lebih menderita dari seorang pesakitan saat itu. Setiap malam tidak kurang dari lima lelaki yang kulayani tapi uang yang kuterima tidak seberapa, dua tahun aku berada dalam lingkaran setan itu, kerja rodi menjadi b***k nafsu tanpa bayaran yang menjadi hakku. Aku tidak pernah bisa mengirim uang untuk anak dan Ibuku, karena untuk keluar dari tempat bak penjara ini begitu sulit, sampai suatu ketika ada seorang pelangganku yang baik hati. pura-pura membokingku dan membawaku lari dari kota itu. Tetapi bagai lari dari kandang macan masuk ke kandang harimau, di sinilah aku sekarang tetap menjadi kupu-kupu malam di komplek warung remang-remang yang ditunjukkan pelanggan yang telah menolongku itu. Bukan aku tidak punya pilihan lain, tapi dari begitu sedikitnya pilihan inilah yang terbaik bagiku, setidaknya di sini semua penghasilan adalah milikku. Hingga aku bisa membahagiakan Ibu, anak dan adik-adikku. Aku bisa membuatkan Ibu rumah, membesarkan anak dan adikku tanpa bantuan siapapun Ayah kandung Wida pindah dari kampung ini, saat usia Wida baru lima tahun dan sejak saat itu tidak pernah lagi memberi nafkah pada anaknya. Aku adalah tulang punggung, karena ketiga kakakku sudah menikah dan tidak mau ngurus Ibu dan adik-adik kami. Tulang punggungku harus kuat, karena bukan hanya beban ekonomi yang harus kupikul tapi juga beban mental, menjadi seorang p*****r bukanlah hal yang mudah, memang mudah mendapatkan uang tapi mudah juga mendapatkan luka di hati, karena berbagai macam hujatan, hinaan, cemoohan dan selalu dipandang sebelah mata. Bukankah seorang p*****r juga punya hati yang bisa terluka. Tapi sekarang hatiku sudah kebal, mungkin mati karena sudah terlalu sering terluka dan sekarat. Mati dan kukubur dalam-dalam demi kebahagiaan orang yang kusayang, karena hanya aku yang bisa membahagiakan mereka. Segalanya berubah saat kudengar kabar Ibuku meninggal dunia, pukulan berat kembali kurasa saat Ibu meninggalkan aku yang tengah berjuang untuk membahagiakannya. Tidak ada pilihan lain selain membawa Wida bersamaku, karena tidak ada yang bersedia merawatnya di kampung meskipun uang bulanan menjadi imbalannya, aku malah mendapat cercaan, kini halal atau haramnya dipertanyakan. Aku tidak dapat menjawab bila hal itu yang telah dipersoalkan, lebih baik diam daripada mendapat lebih banyak derita. Bagaimanapun Wida anakku, hanya aku yang dia miliki sekarang maka aku yang harus menjaganya. . Baru beberapa hari membawa Wida ke sini, aku merasakan hal yang aneh pada diriku. Tidak kuhiraukan, aku terlalu sibuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Tapi semakin lama tanda-tanda itu semakin terasa, sampai pulang dari klinik kesehatan dan mendapati kenyataan itu, aku hamil. entah benih siapa yang tertanam. Menyusahkan. Aku tidak menginginkannya tapi berbagai cara yang kulakukan untuk membuangnya, mencegahnya terlahir kedunia ini berakhir percuma. Hingga lahirlah dia ... Andina Amilli. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD