Kala itu ....
Suatu saat di malam yang sudah biasa kelam di warung remang-remang, tempat yang penuh hingar bingar kehidupan malam, penuh kepalsuan berbalut kesenangan di mana banyak jalang menawarkan kehangatan pada lelaki kesepian berdompet tebal.
Seorang pria paruh baya berpawakan tambun masuk ke warung Mama, bisa dilihat dari penampilannya dia berasal dari kalangan menengah atas berbeda dari tamu-tamu yang biasa datang. Memakai kaus berkerah dengan merek ternama memakai tas slempang, bergaya ala anak muda meski tetap tidak bisa menyamarkan usianya yang telah senja
Dia melirikku dengan mata jalangnya menyisir tiap inci lekuk tubuhku dengan pandangan penuh ancaman, ancaman untuk meneguk madu yang memabukkan bagi setiap p****************g.
"Siapa namanya cantik?"
Tanyanya sambil mengerlingkan sebelah matanya.
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab dan beralih posisi duduk menjadi di belakang meja tampat Mama berada. Walau telah beberapa kali menjajakan diri tapi aku tetap memilih siapa yang bisa menjamahku, sedang lelaki tua ini? Sungguh tidak nafsu aku melihatnya.
"Ini anak saya, Om namanya Wida."
Mama yang menjawab pertanyaannya.
"Oh anak Mami. pantes masih jinak-jinak merpati."
Katanya sambil terus memandangiku.
"Om mau minum apa? biar saya temenin."
Tawar Mam, seraya merapatkan tubuhnya pada lelaki tambun tersebut.
"Hahaha, saya mau anak kamu yang layani saya. tapi saya tidak biasa main di tempat begini, biar saya bawa dia keluar."
Jawabnya sombong, kalau tidak biasa main di tempat seperti ini kenapa dia kesini!
"Iya, biar saya bujuk, dia memang agak pemalu. tapi dia istimewa, jadi 'ini'nya juga beda."
Ujar Mama sambil menunjukkan jari telunjuk dan ibu jari yang saling bergesakan.
"hahaha ... kamu tenang aja! saya bisa berikan apapun yang anak kamu mau."
Jawabnya sambil tertawa lebar mambuat Mama semakin semangat mendekatiku yang sedari tadi sudah mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku tahu apa maksud Mama berdiri di sampingku, pasti untuk memaksakan kehendak yang akan terasa percuma walau sekuat tenaga aku menolaknya.
"Wid, kamu udah dengar 'kan!"
Bisik Mama di telingaku.
"Males ah Mah, Wida nggak mau ngelayanin kakek-kakek."
Jawabku malas.
"Heh, justru karena kakek-kakek palingan juga cuma bentar."
Mama menekan nada bicaranya.
"Buruan! Dia bisa jadi tambang emas buat kita."
Imbuhnya.
Dengan malas akhirnya kulayani dia, daripada mendengar omelan Mama yang tidak akan berhenti dari malam sampai siang bahkan sampai malam lagi.
.
Itulah kali pertama aku bertemu dengannya sampai akhirnya dia menjadi b***k cintaku atau sebaliknya akulah yang menjadi b***k nafsunya, aku tidak terlalu perduli.
Yang aku tahu dia akan memberikan apapun yang aku mau, berbulan-bulan aku menjadi peliharaannya sampai akhirnya dia meminta aku menjadi istri muda, tidak rela membagi tubuhku dengan lelaki lain alasannya.
Awalnya aku menolak tetapi lagi-lagi Mama yang kembali membuatku mengiyakan ajakannya.
Benar juga apa yang Mama bilang, aku bisa hidup enak sekarang setelah menikah dengannya.
Menurut ceritanya Om Alex adalah seorang pengusaha mebel sukses, cabang perusahaannya ada di mana-mana. Itulah yang memudahkannya meninggalkan sang istri pertama, berdalih mengurus bisnis di luar kota padahal bermalam di rumahku.
Aku tidak perduli walau hanya dijadikan istri siri yang penting aku bisa hidup nyaman, dan terlebih lagi aku bisa terus berpacaran dengan Rian tanpa suamiku ketahui.
Aku dan Rian masih saling mencintai, cinta? apakah seorang p*****r sepertiku masih pantas merasakan cinta?
Entahlah yang aku tahu rasa ini masih rapi tersimpan di sudut hati. Bunga-bunganya akan terus bermekaran karena Rian masih rajin menyiraminya.
.
[Sayang aku kangen]
Pesan yang membuat hatiku berbunga-bunga, tentu saja bukan dari suamiku.
[Iya, Aku juga.]
Balasku secepat kilat.
[Ketemuan di luar yuk.]
Aku tersenyum membacanya, dalam hati ingin sekali mengiyakan.
[Nggak bisa sayang, ada Om Alex.]
balasku mengingat lelaki yang kini tengah meringkuk di tempat tidurnya padahal sudah jam sembilan pagi.
[Yah, padahal pengen banget ketemu kamu]
[Iya, sayang. nanti malem kalo dia udah pulang kamu kesini ya]
[Ya, udah. kabarin aku kalo dia udah pergi ya]
[Iya, sayang.]
Sulit bagiku menyembunyikan senyum bahagia ini dari wajahku, bila hati sedang dimabuk cinta berbalas pesan saja rasanya bahagia.
"Heh, senyum-senyum sendiri kayak orang gila"
Suara Mama yang baru keluar dari kamar mengejutkanku.
"Eh, Mama."
Aku gugup segera mematikan gawai takut Mama melihat pesanku dengan Rian.
"Bahagia banget kamu! dikasih apa sama Om Alex."
Tanya Mama meledekku, belum sempat aku menjawab kami mendengar pintu depan digedor dengan sangat keras. Terdengar juga suara ribut-ribut dari luar.
Aku dan Mama saling melempar pandang sekilas.
"Ada apa sih, Mah?"
Tanya Dina yang baru keluar dari kamar.